28

190 10 0
                                    

28

"Kamu sudah bangun?" Dia menyapaku dengan senyum. Bias merah berpendar di pipinya.

Aku membalas senyum Diandra. Pandanganku menyapu setiap pori di wajahnya, dan apa yang ada di sana. Kulit pucatnya, hidung yang mungil, alis—yang baru kusadari tidak sepekat rambut hitamnya, dua bola mata yang tak sama warna. Lalu, bibirnya...

Ia masih di sebelahku. Kulit kami bersentuhan. Terbungkus dalam selembar selimut. Lengannya melintang di atas dadaku. Ujung jarinya mengelus bahuku dengan lembut.

Ini kali pertama, seseorang bertahan di sampingku semalaman. Tidak ada episode. Tidak ada lebam karena persetubuhan.

Rasanya... Aneh namun melegakan.

Aku ingin membalas sapaannya, atau sekedar berterimakasih atas apa yang ia lakukan padaku. Aku jauh dari rasa kesepian. Tapi, ia mendahului niatku.

"Aku tahu, kita tidak perlu terbebani dengan apa yang terjadi semalam. Di antara kita." Diandra mundur dengan pasti.

Aku menggeleng, merasa tidak enak karena membuatnya canggung. "Diandra, tidak apa-apa. Aku bukan ingin mendorongmu menjauh. Aku..."

"Ini yang aku selalu hindari darimu. Setiap kali kamu mulai bicara, pasti ada seseorang yang merasa akan kehilangan nyawa." Diandra membalasku.

Kini rasa canggung itu ia lempar kembali padaku. Menghantuiku.

Aku maunya melarikan diri dengan tertawa. Tapi rasa nyeri di perut membuatku berhenti. "Apa aku sekejam itu buatmu?"

"Apa yang bisa kita harapkan dari Balai Pelatihan Santa Carla?" Diandra tersenyum. Ia beranikan diri mencium rahang bawahku. Ia pandangi mataku sebentar, memastikan kalau aku cukup tenang dan tidak akan menolaknya. Kemudian ia menciumku lagi.

Lagi.

Bibirnya menyusur di leherku. Mengulang kejadian semalam. Ia ingin aku tahu, kalau ini ia lakukan bukan untuk menyenangkan dirinya sendiri.

Rambutnya yang lurus sebahu tersangkut di antara jari-jari tanganku. Aku menariknya, kemudian mendorongnya lebih dalam ke lipatan vertikal di antara kedua pahaku. Sungguh-sungguh aku menahan diri agar tak bergerak terlalu banyak, agar tak berteriak terlalu keras.

Selain suara burung dan langkah kaki penghuni balai yang mulai beraktifitas, hanya ada nafasku dan Diandra. Saling mengejar.

.

.

"Oh, hei Karika." Diandra memberi salam pada Karika. "Terimakasih sudah datang tepat waktu."

Karika masuk ke kamar kami. Ia pandangi Diandra dengan wajah curiga. "Kalau sepagi ini kamu bicara baik-baik, pasti kamu akan memanfaatkanku. Apa yang kamu inginkan dariku?"

Diandra memutar matanya. Dengan cepat memakai lensa kontak, kemudian memakai bajunya. Sehabis mandi, ia langsung bersiap-siap untuk pergi.

"Ide bagus. Aku mau minta tolong padamu untuk menjaganya. Aku sedang dalam tugas." Diandra tidak memperhatikan lagi ekspresi Karika yang terlihat malas bercampur kesal.

Karika mencuci tangannya dengan cairan alkohol sebelum meronggoh tasnya. "Kamu pikir dokter sepertiku tidak punya pekerjaan lain? Buka mulutmu." Sambil mengomel Karika menyalakan pen light-nya dan menujukan benda itu ke mulutku.

Dokter Karika mengecek pupil mata dan mulutku. Dengan cermat ia memeriksa kalau-kalau lukaku infeksi dan menyebabkan demam atau radang.

"Aku akan baik-baik saja Diandra. Tak usah memaksa orang untuk menjagaku. Pergilah," kataku.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang