31
Dua hari terlewatkan sejak Karma keluar dari kamarku dan belum kembali.
Diandra dan aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Di sela-sela itu. Tiap pagi dan sore, Karika datang untuk melihat keadaanku. Termasuk mencatat semua efek yang mungkin terlihat pasca tindakan biovitamin.
Diam-diam aku dan Diandra mencari panel di tubuh kami, tanpa sepengetahuan Karika. Bukannya kami tidak percaya padanya, hanya khawatir kalau sebenarnya kami pun sudah kecolongan.
Karika memang sudah menjelaskan alasannya. Aku dan Diandra juga memakluminya. Semua ia lakukan karena terpaksa.
Karika juga bilang sampai injeksi biovitamin selanjutnya, aku masih punya waktu 3 sampai 4 minggu untuk istirahat dan menyembuhkan luka-lukaku. Dengan kata lain, kalau memang ada kesempatan untuk kabur dari sini, kami masih punya waktu dan akan melakukannya. Sementara kami akan melihat celah yang mungkin dilakukan untuk menghindari injeksi kedua.
Kata Diandra, ia tak ingin mengganggu Karma dulu. Ia mengenal Karma, dan membujuknya di saat ia sedang marah begini adalah tindakan yang sia-sia. Diandra akan memberinya waktu sehari dua hari lagi. Atau sampai Karma muncul sendiri ke kamar kami setelah emosinya mereda.
"Apa kamu perduli kalau Ibu Margot mati?" tanyaku.
Diandra yang sedang berbaring di sebelahku mengencangkan pelukannya. "Kalau begitu mudah membunuhnya, pasti sudah ada yang melakukannya dari dulu. Harus ada sesuatu yang benar-benar membuatku terpaksa melakukannya dan rela mengorbankan apa pun untuk melihatnya mati. Tapi, sekarang ini, aku tidak yakin."
Aku mengangguk. Sebenarnya ingin tahu kenapa. Sebelum pertanyaan itu sempat kuucapkan, Diandra mulai lagi, "Aku tahu, di tempat ini siapa pun bisa saja mati. Kapan pun. Percuma atau tidak."
"Kamu tidak akan membiarkan Karma mati." Aku memberi pernyataan. "'Kan?" Lalu tanda tanya kububuhi hanya sebagai pelengkap.
"Tidak dengan konyol." Diandra mencium pipiku. "Aku berjanji."
Aku tidak yakin maksudnya, tapi kata-kata itu membuatku lega."Terimakasih."
"Tapi, bagaimana kalau aku yang mati?" tanya Diandra.
Aku tidak siap dengan pertanyaan semacam ini. Setelah semua yang terjadi belakangan ini.
"Aku," kataku, "aku tidak akan membiarkanmu mati. Karika dan Karma tidak akan membiarkanmu mati."
Aku tidak habis pikir kenapa sulit sekali mengatakannya?
"Apa kamu berjanji?" tanya Diandra dengan suara yang sengaja diringan-ringankan agar tak terkesan terlalu menyedihkan.
"Ya," kataku.
"Adriana." Diandra menggeser posisinya agar lebih nyaman memelukku. "Aku tinggal di sini sejak umurku 8 tahun. Ibuku meninggalkanku di sini karena dia percaya aku anak iblis yang meminjam rahimnya untuk terlahir di dunia. Pada waktu itu, tak ada satu pun gadis di sini yang seumurku, tak ada yang mengajakku bicara."
Kecuali Karika, aku bicara dalam hati.
"Kupikir mati atau tidak, percuma atau tidak, bukan jadi masalah. Karena aku tidak tahu caranya punya teman. Dan Ibu Margot sangat pemurah. Setidaknya selama ini ia bersikap lebih baik dari ibu kandungku."
Aku mencium pelipisnya. Diandra tersenyum, dibelainya tulang selangkaku dengan ujung jarinya.
"Tapi, sekarang lain ceritanya. Aku punya Karma. Dia temanku satu-satunya."
Juga Karika.
Diandra mendecak, aku bisa merasakan kesedihan yang ia sembunyikan.
"Aku tahu kamu perduli padanya, Adriana. Karena aku juga. Entah apa yang membuatmu memilihku pada akhirnya. Bukan masalah besar. Jadi, kamu tidak perlu berpura-pura merasakan hal yang sama denganku. Aku bisa memahami itu." Diandra dapat membuatku merasa bersalah tanpa harus berusaha banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
7. Sembilan Belas GXG (END)
Romance18+ Siapa pun yang ada di sini, jika sedang sial, ketika tiba akan ditempatkan sekamar dengan seorang perempuan yang diduga, telah membunuh neneknya sendiri. Atau seorang kleptomaniak, atau seorang sosiopat yang terobsesi pada pisau, atau sesederhan...