25

175 8 0
                                    

25

Di ambang kesadaran, aku merasa seseorang dengan sengaja menancapkan benda itu masuk ke dalam kulitku. Sesuatu yang kental dan menyakitkan. Cairan itu didorongkan secara paksa ke dalam kulit bahuku. Sensasinya begitu aneh. Dingin dan perih. Terlalu dingin hingga memunculkan efek terbakar yang mengalir ke seluruh tubuhku. Pelan dan menyiksa.

Benda asing itu meliuk seperti seekor cacing yang bergerak pelan di pembuluh darahku. Begitu sesak. Cacing-cacing tak kasat mata itu sedang berebut tempat kosong, menggeliat sambil menggerogoti isi tubuhku. Aku ingin segera bangun, menghentikan rasa sakit ini dengan cara apa pun. Tapi mereka mengikat tanganku, juga kaki dan pinggangku.

"Karika, tolong aku! Hentikan ini!" Aku berteriak histeris. Sambil mencoba melepaskan diri, yang mustahil dilakukan hanya dengan menggunakan tenaga.

Ia berdiri, hanya 2 langkah dariku. Karika ada di sana, ia melihatku tapi tak bergerak. Ia tidak melakukan apa pun. Botol kosong itu masih ia pegang. Juga jarum suntik dengan sisa cairan biru.

Aku mengenal mata itu. Juga iblis yang tinggal di dalamnya, meski kemanusiaan berupa air mata berusaha membersihkannya.

Karika melihat badanku mengejang. Ia memperhatikanku. Tapi ia tak bergerak sama sekali.

"Aku mohon, Karika... Lepaskan aku... Bawa aku pergi dari sini... Aku mohon," isakku. Memohon-mohon padanya.

Bibirnya. Setelah detik-detik yang terasa lama, ini kali pertama ia benar-benar memandang mataku. Ia begumam, 'Maaf, Adriana' yang tak bersuara. Aku tahu dia tak akan menolongku.

Lalu rasa sakit itu bergerak ke dadaku. Membuat paru-paruku mengkerut. Sesak.

Aku mau berteriak. Tapi nyeri itu menjalar ke tenggorokanku. Lalu mataku, seolah ada sesuatu mendorong mataku keluar dari cangkangnya.

Telingaku penuh. Aku tidak bisa mendengar apa pun.

.

.

Suatu ketika—aku terbangun karena suara 'buk' dan rasa ngilu. Mereka melemparku ke atas panggung pertarungan bebas. Terasa familiar, seperti yang kubayangkan saat mereka menceritakan apa yang terjadi pada Karma.

Tahap 2. Uji coba. Objek nomor 20. Aku.

Hanya satu lampu yang biasnya bundar di atas ring. Di sekelilingnya gelap, sulit memastikan sedang berada di ruang latihan yang mana. Tapi, satu hal yang pasti, tentu seseorang akan naik dan menghajarku.

Aku tidak bicara masalah rasa takut di saat-saat seperti ini. Gelap tidak pernah jadi masalah. Juga ketakutan untuk mati. Yang menjadi masalah—selalu, siapa yang akan muncul sebagai lawanku.

Karma.

Atau Diandra?

Sebuah asumsi muncul di kepalaku. Memang tidak bijaksana melakukan praduga, di saat seperti ini. Tapi, memasangkanku dengan Karma atau Diandra, dalam uji coba eksperimen biovitaman bukanlah sebuah insiden. Aku tentu tidak kaget. Aku sudah menduga, Ibu Margot pasti punya rencana lain untuk kami.

Sampai detik ini, eksperimen biovitamin belum menemukan titik terang. Sikap Karika yang kontradiktif, menyembunyikan Karma dengan alasan sakit dengan bantuan Diandra.

Meski aku tak tahu apa-apa, aku pasti akan dikait-kaitkan. Dan orang seperti Ibu Margot tidak mungkin sembarangan menentukan siapa yang boleh mati dalam eksperimen ini.

Di luar mungkin hanya aku yang tahu, bahwa eksperimen ini berhasil padanya, paling tidak membuat diriku terpaut masalah besar sekarang ini bukanlah hal yang terlalu buruk. Setidaknya aku tahu Karma masih hidup. Karika masih hidup, meski pun mengenaskan. Dan sebentar lagi, Diandra. Aku tidak punya intensi lain kecuali harapan kalau mereka belum terbunuh.

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang