18

207 10 2
                                    

18

"Ceritamu itu konyol," komentarku pada Karika setelah membayangkan setiap plot yang ia jelaskan. Tentang perempuan bernama Maya itu.

"Lucu?" Karika menelengkan kepala karena bimbang. Ia menarik kacamata dari atas hidungnya, melipatnya lalu menaruhnya dengan sangat presisi di sudut kanan atas meja yang kosong. Berkali-kali menggeser-geser sisi kiri dan kanan kaca mata, sangat hati-hati. Setelah cukup, menghela nafas.

"Iya. Sangat konyol dan lucu. Masa Dokter tidak sadar di mana letak lucunya?" Aku berusaha membuatnya paham atas apa yang tidak kujelaskan.

"Panggil Karika saja, tadi kamu melakukannya di saat seharusnya kamu memanggil saya dengan subjek profesi. Tapi di kamar ini, saya bukan lagi seorang dokter, kamu malah memanggil saya sebagai subjek berprofesi," katanya. Ia berusaha membenarkan ucapanku dengan kalimat yang rumit.

Aku mengangguk. "Oke, Karika." Semakin dilakukan dengan kesadaran, memanggil namanya saja terasa aneh bagiku.

"Saya jadi penasaran, di mana letak lucunya." Karika menekuk alisnya hingga dua ulat tebal itu seperti hampir bersalaman. Tapi bibirnya—yang berwarna merah muda dan berkilat—tersenyum sedikit.

Aku terbatuk, memberi gimik mengejek sebentar sambil bicara, "Kamu seorang dokter yang jatuh cinta pada seorang pasien—rumah sakit jiwa—"

"Itu rumah rehabilitasi. Bukan rumah sakit jiwa. Kasar sekali," potongnya.

"Rumah rehabilitasi—yang singkat cerita, cintamu direbut oleh seorang mahasiswa yang juga pelacur." Aku tertawa. "Purasabha memang kota yang indah."

Karika ikut tertawa. "Itu cerita yang epik dan heroik. Seharusnya."

"Jika tak ada pelacur di sana? Mungkin." Aku mengejek lagi. Kali ini Karika mengangguk-angguk.

"Sial sekali. Padahal saya yang paling berusaha membuatnya keluar dari panti rehabilitasi itu. Kenapa sepertinya semua orang tidak menghargai keberadaan saya?" Ia kemudian mengasihani dirinya sendiri.

"Sudah beberapa tahun berlalu. Sekarang kamu sudah di sini, tidakkah ada satu orang saja yang menarik perhatianmu? " tanyaku iseng. Sudah lupa dengan tujuan awalku. Atau tujuannya memanggilku kemari.

"Memangnya kenapa?" Karika merasa aku sedang menggodanya, kini ia menanggapi dengan serius.

"Tidak ada, hanya iseng bertanya." Aku mengangkat bahu, sebenarnya tak pernah bersungguh-sungguh bertanya. "Soalnya, kamu 'kan punya selera yang aneh."

"Kamu tidak berpikir kalau saya sedang menyukai Karma, 'kan?" Karika memberiku senyum yang ringan. Berusaha menjaga perasaanku mungkin. Siapa yang tak tertarik pada Karma?

"Kuberi tahu sesuatu..." Karika berdiri dan mendekatiku. "Karma milikmu, tapi saya tak mau janji. Karena saya juga tidak sesulit itu."

Meski merasa agak terancam, aku malah memilih untuk mendekat padanya. "Oh, ya?"

Karika tertawa. Tapi dengan gerakan yang tidak dapat kuhitung, ia telah membekukku. Ia mengalungkan lengannya di leherku dan membuatku merinding. Aku berusaha membebaskan diri, tapi sulit.

"Adriana, aku tahu kamu pintar. Tapi aku tidak mudah dibujuk. Aku ingin sekali tahu, apa maksudmu datang, dan mendekatiku." Karika berbisik di telingaku, membuat tulang belakangku menjadi dingin seketika. Dengan demikian, tidak ada saya dan kamu lagi di sini, ia telah memulai kata 'aku'nya yang pertama.

"Aku tidak mengerti Karika, kenapa kamu tiba-tiba menyerangku?" Aku tidak lagi melawan. Kemudian perasaan itu muncul lagi dari dalam diriku. Aku menunggu ia menyakitiku lebih dulu. Tapi, Karika mengendurkan lengannya.

"Aku tak yakin..." Ia melepaskanku begitu saja. Seolah menyesali apa yang barusan ia lakukan. Ia bicara dengan lembut, "Aku tidak yakin Adriana." Dan demi apa pun, aku benar-benar melihat perubahan ekspresi yang dratis darinya. Tak terduga dan berbahaya. Tapi aku tidak lupa, sisi lain yang tenang, bersahabat. Ada apa sebenarnya? Apa yang sebenarnya ia sembunyikan?

Aku tidak yakin apakah posisiku tepat, selain merasa terancam, aku juga merasa nyaman. Aku tidak ingin ia tahu, kalau aku menguping pembicaraannya dengan ibu Margot. Apa pun perjanjian mereka, seseorang seperti Dokter Karika sampai pindah tugas kemari, adalah hal yang aneh. Ia bahkan tak terlalu terkejut ketika tahu balai pelatihan Santa Carla bukanlah balai pelatihan khusus perempuan yang biasa.

Eksperimen itu, objek nomor 19. Aku semakin ingin menggali informasi dan memuaskan rasa ingin tahuku.

Sekali lagi ia memandangiku. Ia tak menjauh sama sekali. "Apa yang kamu inginkan dariku?"

Nafasnya yang hangat membelai wajahku.

Aku mendesau pelan, berusaha mengontrol apa pun yang sedang merangkak naik ke punggungku. "Aku hanya ingin berteman denganmu, Karika."

"Di sini? Tidak ada pertemanan di Santa Carla, Adriana." Karika melepaskanku. Ia berjalan cepat ke dekat lemari. Lantas meronggoh kantong salah satu jas yang tergantung di lemari. Menelan sebuah benda putih bulat kecil, mungkin tablet. Tapi aku tak tahu apa gunanya.

"Selama tidak ada kebohongan, pertemanan akan ada," kataku.

"Aku berharap begitu..." Karika memandangku dari tempatnya. Lalu berangsur mendekat lagi dan menuntunku menuju pintu. "Semoga harimu menyenangkan." Karika membukakanku pintu.

"Kamu sedang mengusirku?" tanyaku bingung.

"Tidak, aku tidak mengusirmu. Aku hanya bersikap sopan padamu. Sudah terlalu malam, kembalilah ke kamarmu." Karika menjawab dengan dingin.

Aku dengan langkah pelan mendekati pintu. Di ambang, kami berdua saling bertatapan. "Kamu lebih baik dari ini, Karika. Aku tahu kamu orang yang berbeda."

Karika membuang pandangannya ke arah lorong. "Aku tidak bisa melakukan ini padamu Adriana, cepatlah pergi."

"Melakukan apa?"

Karika mendesah. Untuk beberapa detik kami saling pandang. Berdua kami sama-sama tahu kalau hanya ada dua pilihan. Dan tanpa menunggu, kami merapatkan bibir dan berciuman.

Namun aku merasa ini bukanlah hal yang benar untuk dilakukan. Seperti aku menyadari bahwa mungkin aku melakukannya karena aku sangat menginginkan Karma dan kesepian. Aku tahu kalau Karika melakukan hal yang sama. Dan, melarikan diri seperti ini bukanlah hal yang benar-benar kami mau. Jadi kami berakhir dengan saling mendorong. Ini tidak bisa terjadi. Tidak di antara kami.

"Kapan waktu yang tepat untuk berteman?" tanyaku. Mengulur waktu dan menyembunyikan rasa malu.

"Kamu sudah punya teman, Adriana. Sebaiknya kamu menjaga mereka baik-baik." Karika bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.

Bibirku mengerucut. "Apa sebenarnya yang kamu tutupi?"

Mata Karika melebar mendengarku. Sekarang ia pasti tahu kalau aku menguping pembicaraannya.

"Aku tidak mengerti, pertanyaan jenis apa itu?" Ia mengelak.

"Kamu tidak pandai berbohong. Sampai kamu tahu kalau aku sudah tahu, kamu punya sedikit waktu untuk menjelaskan." Aku memincingkan mata. "Kamu tahu aku bicara tentang apa."

Sebelum aku melangkah pergi, aku menyentuh pipi kirinya. Karika nyaris mundur. Tapi ia berusaha sekuat tenaga menumpu badannya agar tetap seimbang dan tidak ke mana-mana. Aku berjinjit untuk mengecup pipi kanannya.

Ia menghela nafas lega. Aku menggigit bibir bawahku, memperhatikan wajahnya yang bersemu merah.

"Aku akan pergi sekarang, selamat malam."

Di ujung lorong, aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Karika masih berdiri tepat di tempat yang sama saat aku berlalu. Aku memandangnya sekali lagi. Barangkali ia berubah pikiran. Tapi ia tak bergerak. Jadi kuputuskan untuk kembali ke kamar.


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang