6

562 12 0
                                        

6

Aku buru-buru membuka mata karena silaunya sinar matahari yang tembus langsung dari kaca jendela kamar. Tepat di hadapanku, Diandra berbaring di tempat tidurnya, menghadap ke atas—ke langit-langit kamar. Kakinya tertekuk membentuk sudut mengarah ke atas, satu kakinya ia tumpangkan di atas paha kirinya yang tertekuk juga, menumpu di sana. Seperti salah satu pose yoga. Di ujung lain tempat tidurnya, seorang perempuan duduk, Karma. Ia sedang sibuk menyisiri rambut berombaknya dengan jari.

Dibiarkan tergeletak dengan posisi ini (mungkin semalaman) membuat otot pinggangku ngilu. Terlungkup dengan tangan kiri tertindih tubuh, kepala menoleh ke kanan, kaki kanan dan tangan kanan tergantung di sisi tempat tidur. Aku membenarkan posisiku pelan-pelan, mengeluh dengan suara parau. Membuat dua penghuni di kamar ini menoleh secepat mungkin.

"Akhirnya." Diandra berkomentar.

Aku langsung duduk, tahu kalau aku tidak akan diijinkan melanjutkan tidur. Aku menghadapi mereka sambil memijat-mijat leher yang ngilu sekali rasanya.

"Bagaimana? Bisa dinikmati rasa sakitnya?" Karma mendekatiku, duduk di sisi ranjang dengan mata yang melebar, antusias luar biasa. "Kamu seharusnya tidak keluar di hari pertama," katanya. Tidak dengan rasa iba. Karma memandangku seperti seorang anak yang mendapatkan mainan baru di hari natal.

"Sudah kubilang, tapi dia memaksa." Diandra menjawab. Ia menurunkan kedua kakinya di tepi ranjang. Menggaruk-garuk kepalanya sebentar, lalu merapikan rambutnya.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau kalian berteman?" tanyaku pada teman sekamarku.

Diandra mengangkat bahu, bibirnya mengerucut. "Tidak ada yang bertanya soal itu..."

"Lagipula kami tidak berteman." Karma kemudian berdiri. Tanpa menoleh ia berjalan ke pintu. "Sampai ketemu kapan pun kita bertemu."

Diandra melambai padanya. Sesudah perempuan itu meninggalkan pintu, Diandra merenggangkan badan, lalu menguap. "Ayo sarapan dulu."

Diingatkan soal makan, aku baru sadar kalau sejak kemarin perutku belum terisi sama sekali karena tidak sadarkan diri 3 kali. Terimakasih untuk alat pengukur detak jantung.

Aku segera berdiri, menunggunya di belakang pintu. "Ayo..."

Tapi Diandra belum beranjak dari tempatnya. "Ganti bajumu dulu, bekas hukuman itu, menjijikkan. Kamu harus mandi dan membersihkannya. Jangan sampai penghuni lain tahu kalau semalam kamu kena hukuman. Jangan biarkan mereka tahu kalau kamu sedang lemah."

Aku menoleh ke belakang. Memperhatikan sebelah punggungku yang kotor, bajuku berwarna coklat dan penuh dengan bekas tanah yang sudah mengering, pastilah mereka menyeretku saat membawaku ke sini.

Aku menanggalkan seragam pelan-pelan, meringis karena kainnya lengket di lukaku. Ada sekurangnya 6 bekas sayatan yang mulai berdarah lagi di sana. Sebenarnya aku sudah tidak memikirkannya. Meski aku tak yakin apa nanti bekasnya bisa hilang, toh, sudah terjadi.

Kalau memang aku ingin sekali bersikap seolah menyesalinya, paling, hanya karena aku tak melihat hukuman ini sampai akhir. Alat pengukur detak jantung ini membuatku melewatkan semua adegan penting yang terjadi di sekitarku.

Aku dengan malas melempar baju seragam kotor itu ke dalam ember cucian, merendamnya dengan air sabun mandi, selalu seperti yang kulakukan pada bekas darah di celana dalamku saat sedang menstruasi. Kadang deterjen tidak sehebat itu membersihkan noda. Tapi iklannya sudah berlebihan sekali.

Sehabis berganti baju, Diandra sudah menungguku di pintu, hendak menunjukkan jalan ke ruang makan.

Katanya setelah makan aku akan mengikuti pelatihan pertama. "Pastikan kamu makan apa pun yang disajikan. Apa pun menunya. Pelatihan pertama tak pernah lebih mudah untuk siapa pun."

"Aku pernah belajar menjahit dulu," kataku meremehkan. Masih yakin kalau balai pelatihan ini hanyalah balai pelatihan perempuan di film-film.

Diandra berhenti tiba-tiba sehingga aku hampir menabrak punggungnya. "Aku ingin sekali menempeleng kepalamu sejak kemarin." Ia berkacak pinggang. "Ya sudahlah." Ia merubah sikap seketika. Merasa percuma bicara baik-baik padaku.

Aku yang masih penasaran dengan tujuan Karma datang ke kamar kami, bertanya pada Diandra. "Omong-omong, apa yang membawa Karma ke kamarku?"

Diandra hanya menoleh, tapi tak menjawab. Ia berjalan dengan tenang di lorong balai pelatihan.

Perlahan, aroma berbagai masakan menerobos masuk ke dalam lubang hidungku. Semakin dekat dengan ruang makan, kubayangkan semua makanan akan berjajar dengan sistem buffet, dan kami para penghuni balai ini akan dengan leluasa memakan apa pun yang kami mau. Sebab kami membayar untuk ada di sini.

Yang dalam khayalan, sepertinya harus tetap dalam khayalan. Tidak ada buffet. Omong kosong.

Kami diwajibkan membuat barisan panjang, mengantri untuk diambilkan makanan sesuai porsinya. Dan bau makanan yang kucium dari luar itu, sama sekali tidak terlihat mirip dengan apa yang sekarang tersaji di depanku.

Aku mencari-cari letak salahnya, mungkin salah ruangan, atau salah meja hidangan. Mereka menyajikan setumpuk nasi lembek (peralihan nasi menjadi bubur), tumisan labu jepang yang juga lembek. Semua hal lembek, kecuali sebiji perkedel jagung yang kenyalnya melebihi sandal jepit. Sambil terus memandangi makan siangku yang sulit dipercaya, aku berjalan, mencari tempat duduk yang masih kosong. Di mana pun aku tak masalah. Sebab selain Diandra aku belum mengenal siapa pun di sini. Dan, Karma, aku belum juga melihatnya.

Aku mengedarkan pandangan ke penjuru ruang makan. Siapa tahu, ada seseorang yang kukenal—yang mungkin juga dibuang oleh keluarganya. Atau, siapa pun, wajah yang kelihatan cukup bersahabat untuk membiarkanku duduk semeja dengannya, dan teman-temannya. Kalau ada.

Seorang perempuan sipit, berambut hitam sebahu melihatku, kami berpandangan, tapi saat aku melempar senyum, ia langsung saja membuang muka. Aku menghela nafas, membayangkan jika semua orang akan bersikap sama menyebalkannya dengan itu, aku yakin tak akan punya teman selain Diandra. Kalau ia menganggapku teman juga. Aku tidak terlalu yakin, ia bahkan sudah menghilang sejak kami masuk ke ruang makan. Dengan sebanyak ini perempuan yang berseragam sama warnanya, aku tidak akan menemukan sosoknya semudah itu.

Aku memutuskan untuk duduk di pojok belakang dekat tong sampah. Tak ada orang di sini, dan yang paling penting, aku merasa aman.

"Makan!" Seseorang berteriak, sedetik sebelum aku memasukkan benda menjijikkan ini ke dalam mulut. Sebentarnya aku dengar tepukan tangan komando. Kemudian teriakan lagi. Di sekelilingku, semua mata tertuju pada satu arah pandang. Aku mengikuti ke mana mata mereka beralih. Seorang petugas berbaju hijau gelap berdiri di sebelah seorang peserta balai latihan santa Carla. Satu tangannya dengan kasar mendorong kepala itu hingga menempel pada meja. Di depannya, sepotong potato gratin, dan sepertinya belum tersentuh sama sekali.

Lagi-lagi Karma. Ia tidak pernah berhenti mencari perhatian, pikirku.

Tapi, melihat Karma diperlakukan dengan kasar seperti itu membuatku merasa iba seketika. Sambil mengumpulkan keberanian aku berdiri dari tempatku, ingin mendekati petugas balai pelatihan itu. Sayangnya, di tengah aksi heroikku yang belum mencapai tujuan, Diandra menarikku duduk di sebelahnya. Mata flip flop itu melotot padaku agar tidak melakukan sesuatu yang mungkin akan menimbulkan masalah.

Aku masih fokus memandangi Karma, wajahnya memerah dan masih menempel di meja. Petugas tersebut melepaskan tangannya, lalu meninggalkan meja. "Ketika saya datang, makanan ini sudah habis." Ia memindai seluruh ruang makan, seolah peringatan itu ditujukan pada semua orang di sini. Aku mengamati langkah petugas yang menjauh, menunggu waktu yang tepat untuk menghampiri Karma di mejanya.

"Jangan!" Diandra menahanku, entah sudah yang keberapa kalinya sejak aku datang. Tapi kutepis tangannya. Aku mendekati Karma, menuang semua yang ada di piringnya ke dalam piringku. Meski aku tak yakin bisa menghabiskannya sendirian, potato gratin jauh lebih enak dari yang ada di piringku sekarang. Dan aku hanya ingin membantunya.

Tanpa rasa terimakasih Karma bangun dan mendorongku, sehingga semua hal di piringku jatuh ke lantai. Petugas yang mendengar kekacauan itu, menghampiri kami. Kini tak sendiri, seorang lagi mengikutinya. Menarikku dan Karma keluar dari ruang makan.

Terakhir kali, aku melihat Diandra, ia sedang menutup hidungnya. Sebuah kode ketika ia ingin aku, menahan nafas. Agar tak melewatkan apa pun lagi.


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang