12

293 13 2
                                    

12

"Aku hanya pergi semalam. Dan lihat apa yang sudah terjadi padamu." Suara itu terdengar hampir menyerupai gema di ambang mimpi dan kesadaranku. Sampai Diandra melemparkan tas ranselnya tepat di kepalaku. Aku melonjak bangun, masih dalam keadaan telanjang karena terlalu malas memakai pakaian setelah apa yang terjadi semalam.

"Maaf," gumamku. Masih dalam keadaan setengah sadar. Diandra duduk di sebelahku. Memandangku dengan tatapan yang serius namun dangkal. Aku yakin dia hanya penasaran. Bukannya perhatian.

"Siapa yang membuatmu lebam-lebam begini? Apa kamu baru saja melewati sebuah episode dan pingsan karena alat pengukur detak jantung?"

Aku hendak tertawa mengingat apa yang telah terjadi padaku dan Karma. Juga karena sikap Diandra yang sudah berubah. Selama sebulan ini kami lebih sering mengobrol. Tapi melihat mahluk dingin ini dengan wajah cemas yang dibuat-buat, sungguh bukan ekspektasiku. Terlebih, dia hanya absen dari kamar ini semalam saja.

"Apa kamu baik-baik saja, Diandra?" balasku.

Diandra sempat memperlihatkan kedua lengannya, lalu mengangguk. Tapi ia belum melepaskan tatapannya padaku. Aku memberanikan diri untuk memandang balik padanya, kali ini merasa ada hal yang janggal pada wajahnya.

"Matamu." Aku menyela sambil menyipitkan mata. Diandra mengangkat kedua alisnya. Kemudian dengan hati-hati menarik kontak lens berwarna biru dari matanya. Membuangnya seperti seekor kutu ke lantai.

"Hanya untuk penyamaran."

"Jadi tadi malam kamu berakting sebagai seorang mata-mata?" tanyaku antusias.

"Iya, aku berakting seorang mata-mata." katanya mulai dengan nada malas yang biasa. "Sambil menyingkirkan nyawa orang."

Ia mengambil sebotol air dalam tasnya, dan menuangnya dari sudut mata. Ia mengerjap beberapa kali, lalu mengusap matanya dengan punggung tangan.

"Tapi, kamu datang dengan selamat. Artinya semua berjalan baik." kataku lega.

Diandra tersenyum. "Ya, ada setumpuk uang dalam tasku. Kamu boleh ambil kalau kamu mau." Aku turut senang karena Diandra sudah tahu caranya berbagi.

"Aku tidak bisa disuap dengan uang," kataku bercanda. "Apa gunanya uang itu di dalam asrama ini.

Diandra mendengarku, wajahnya semakin serius. "Benar, uang ini tak ada gunanya jika kita ada di dalam sini. Tapi..."

"Apa maksudmu?" Aku jadi penasaran.

Tapi Diandra seperti tersadar akan sesuatu dan langsung menggeleng. "Jadi, kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang membuatmu babak belur begini? Apa mereka menghukummu? Atau penghuni yang lain mengeroyokmu saat aku tak ada?"

Aku menunduk malu. Tak tahu harus bersikap seperti apa. Aku memijat jari-jari tanganku untuk mengalihkan perhatian. "Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan."

"Aku selalu tahu, jangan coba-coba menyembunyikan apa pun dariku. Karena aku akan segera tahu."

Aku bisa mendengar bagaimana rahangnya beradu satu sama lain. Diandra mulai marah. Atau gemas padaku, lebih tepatnya.

"Karma datang ke sini semalam."

"Baiklah. Kamu menyukainya? Atau tidak?" Diandra langsung menuju inti permasalahan.

"Apa maksudmu?" Aku tersipu. Apa akan terdengar memalukan kalau mengakuinya?

"Sudah kubilang jangan mencoba berbohong." Diandra mendekatiku. Ekspresinya terlalu mengintimidasi.

Aku membuang muka, tak sengaja melirik tangan kirinya. Lalu aku mencoba mengalihkan pembicaraannya lagi. "Mana alat pengukur detak jantungmu?"

Diandra meronggoh kantongnya, kemudian dengan cepat memakai alat itu. Lalu, tanpa membuang waktu ia melanjutkan investigasinya padaku. "Dia memaksamu? Atau kamu menyukainya?"

7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang