29
"Kita menunggu Diandra datang dulu," kataku pada Karma.
Sejak Karika meninggalkan kamar, aku didesaknya terus, untuk membantu sebisaku, meski sambil berbaring.
"Tidak, aku mau alat itu keluar dari badanku sekarang juga," katanya bersikeras. Entah sejak kapan dan kenapa ia begitu terobsesi pada benda itu. Mulai mengkhawatirkan.
"Kamu keras kepala sekali. Lihat keadaanku! Aku bahkan tidak bisa kencing tanpa bantuan. Yang kamu pikirkan, selalu dirimu sendiri." Aku gemas. Merasa sikapnya terlalu kekanakan.
"Aku akan membantumu duduk. Tunggu saja," kata Karma masih sibuk dengan jahitannya.
"Diandra tidak akan menyukai ini Karma. Dia sudah sangat marah karena luka tusukan yang kamu buat di badanku," kataku pada Karma. "Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan dan membuatmu..."
Karma yang sedang menjahit sendiri kulit bahunya menoleh padaku. Begitu bengis hingga aku tersentak. Belum pernah aku melihat ekspresi setertekan itu. Depresi.
"Kamu menyalahkanku?" Karma bertanya dengan sengit.
Aku berkilah, "Bukan begitu yang kumaksud."
"Tapi itu yang kudengar." Karma mendekat, matanya merah, juga pipi, juga ujung hidungnya. "Benda ini. Kalau bukan karena benda ini, kamu tidak akan berbaring di sini sekarang. Aku mencoba melindungimu. Dan katamu aku keras kepala. Kamu pikir aku hanya mementingkan diriku?" Karma memotong ujung benang yang telah tersimpul di pundaknya.
"Karma..."
Aku tidak mengerti kenapa di saat seperti ini, kemarahannya terdengar begitu seksi buatku. Aku tiba-tiba berharap ia akan menyakitiku seperti dulu.
"Aku tahu, kamu merasa iba padaku saat kamu tahu kalau aku objek nomer 19. Tapi kalau bukan aku yang mengaburkan data itu, kamulah si objek nomer 19. Kenapa? Karena kamu seorang masokis! Kamu tergila-gila pada rasa sakit. Kamu tidak menyerah meski dicambuki di hari pertamamu. Kamu bahkan tidak perduli siapa yang menyakitimu. Termasuk kakakmu sendiri. Kamu adalah tikus gemuk dalam eksperimen sialan ini. Mungkin alasan itu tidak masuk akal. Kamu dan rasa ingin tahumu akan terus bertanya kenapa kamu yang terpilih. Itu semua karena kamu berhasil mengalahkanku bahkan sebelum latihan pertamamu di sini, pada saat kamu mencoba menjadi pahlawan di depan semua anggota balai pelatihan. Kamu memindahkan makananku ke piringmu. Membuat kita harus saling berhadapan di atas arena pertarungan bebas. Dan kamu menang! Dengan cara yang curang! Dengan memanipulasiku! Dengan mematahkan hatiku!" Karma melemah. Ia belajar menguasai dirinya. "Tapi kamu tidak pernah tanya kenapa aku melakukannya untukmu."
Aku tidak pernah tahu kalau penjelasan itu ada. Dan sekarang aku tidak bisa mengatakan apa pun. Tidak juga permintaan maaf.
"Aku tidak pernah kalah Adriana, cuma padamu. Tapi kini semua hal yang kulakukan sejak awal tidak ada gunanya. Toh, kamu sudah menyerahkan diri untuk eksperimen itu. Eksperimen yang kamu pikir berhasil padaku." Karma terengah-engah.
Aku terkesiap melihat otot-otot di tubuh Karma mengembung.
"Karma, tubuhmu."
Karma memperhatikan tubuhnya. Kemudian dalam hitungan detik otot-otot itu kempes lagi. Karma menegarkan nafas. Tapi ia masih memandangku seperti musuh.
Aku merasa tak enak, kini aku tahu mengapa mereka bertiga selalu membuatku terasingkan. Mengapa mereka menyembunyikan banyak hal dariku. Diandra tahu, maka ia mendukung Karma. Meski ia menyukaiku, ia mungkin dapat berkorban seperti Karma. Tapi Diandra tentu menghormati Karma seperti saudaranya. Dengan bantuan Karika.
Ah, kini aku sudah memporak-porandakan rencana mereka.
"Aku tidak butuh dilindungi begini. Aku bukan anak kecil lagi," kataku, karena tak tahu harus minta maaf dengan cara apa. Aku justru terdengar defensif.

KAMU SEDANG MEMBACA
7. Sembilan Belas GXG (END)
Romansa18+ Siapa pun yang ada di sini, jika sedang sial, ketika tiba akan ditempatkan sekamar dengan seorang perempuan yang diduga, telah membunuh neneknya sendiri. Atau seorang kleptomaniak, atau seorang sosiopat yang terobsesi pada pisau, atau sesederhan...