26

179 10 0
                                    

26

Di sebuah hutan yang didominasi oleh pohon pinus setinggi belasan kaki.

Kakiku mulai lembab karena sisa hujan dari pucuk rumpun tanaman pakis. Aku terus berjalan ke arah barat. Di mana matahari mulai serong dan bersiap tenggelam.

Sebentar lagi hari akan gelap. Dan aku masih belum tahu ke mana hutan ini akan berujung. Di balik semak-semak di ujung sana, tepat di belakang sebuah pohon yang baru saja tumbang karena petir menyambar, sebias cahaya anomali berwarna ungu transparan bergerak-gerak. Menarik perhatianku.

Mungkin itu tanda untuk pulang.

Di depannya aku melihat bayangan seorang perempuan kurus dengan rambut sebahu, matanya berkilat. Ia berdiri di tengahnya, tapi hanya memandangiku. Aku mendekat. Kalau ia juga tersesat, aku tak akan setakut ini.

"Adriana," sapanya. Tidak jelas suara itu datang dari mana. Suaranya bergema di antara pohon-pohon yang mulai tua. Begitu dekat...

Sosoknya berbalik, menghindariku dan tenggelam begitu saja dalam cahaya anomali itu. Aku mengejarnya. Tidak ingin sendirian lagi.

Aku ingin memanggilnya, tapi aku bahkan tak bisa mendengar suaraku sendiri. Tubuhku kaku, secara tiba-tiba sarafku menolak bergerak. Sementara cahaya tadi membentuk gelembung besar. Ia sudah menelan perempuan itu. Kini, ia akan menelanku juga. Aku ingin lari. Pergi ke mana pun tempat bersembunyi.

Tapi cahaya itu begitu kuat menarikku, membuat seluruh tubuhku terasa ngilu dan perih. Aku menahan rasa sakitnya, mungkin tak akan lama. Rasanya seperti terbakar, benda itu masuk ke dalam pori-poriku seperti jarum-jarum tipis. Begitu silau dan menyesakkan.

Aku megap-megap. Siapa yang bisa menolongku sekarang? Tidak ada yang bisa kulakukan selain menghirup nafas dengan rakus. Aku belum ingin mati sekarang.

"Adriana..."

Aku semakin takut. Suara itu begitu parau, kematiankah itu?

"Adriana, Adriana..." Karma muncul tiba-tiba, dengan sebuah pisau menggores leherku hingga ke dada. Darahku muncrat ke mana-mana. Rasa sakitnya menjalar turun seperti sebuah kereta luncur. Begitu cepat dan menakutkan.

"Adriana!"

Seseorang menekan jantungku. Aku membuka mataku dengan cepat. Bernafas dengan serakah, seolah detik lain akan menghilang lagi. Membiarkan aku mati tersiksa sendiri.

"Adriana!" Diandra muncul pertama kali. Terbungkuk di sampingku. Matanya basah, hidungnya merah muda. Kali pertama aku melihatnya membuka mulut untuk tersenyum. Bahkan sebelum aku melucu.

Aku menoleh ke sekitaran. Berusaha menjawab sendiri pertanyaan tentang ruang dan waktu. Di mana aku? Sejak kapan?

"Aku kira kamu akan mati," katanya seperti seorang yang baru saja dilegakan oleh segelas soda gembira.

"Ini di kamarku, 'kan?" Aku berusaha mengenali setiap sudut kamar. Bertanya hanya untuk meyakinkan.

"Seperti yang kamu lihat. Ini kamar kita." Diandra ikut memandang ke sekitar sebelum bertanya lagi, "Bagaimana perasaanmu?"

"Aku baik," kataku. Mengenali rasa ngilu yang muncul pelan-pelan. "Sepertinya." Aku mengangkat kedua tanganku. Membolak balik untuk memastikan, kalau ini bukan mimpi di dalam mimpi.

"Tentu kamu baik. Kamu belum mati," katanya. Basa-basi.

"Ke mana saja kamu seminggu ini?" tanyaku. Ingin tahu.

"Satu minggu 2 hari lebih tepatnya." Diandra merapikan rambutnya. Duduk bersila di sebelah tempat tidurku.

Tentu, artinya ia belum selesai bicara. "Setelah dari kamar Karika waktu itu, Ibu Margot memanggilku untuk tugas. Jadi karena harus cepat pergi, aku bahkan belum pamit. Aku, tidak enak karena—waktu itu..."

Aku mengangguk, mengintervensi penjelasan yang tidak masuk akal itu. "Lalu waktu itu ke mana Karika?"

"Dia tetap di sana. Di kamarnya." Diandra diam sebentar. "Tunggu, apa yang sebenarnya sudah kulewatkan?"

"Tidakkah Karika menceritakan sesuatu padamu? Apa kalian sudah sempat bertemu?" Aku sudah menduga. Karika itu tidak tahu caranya berkomunikasi selain menyampaikan kebohongan.

Dengan wajah lugu Diandra menggeleng. "Kamu tidak sadar selama 4 hari. Aku sudah menunggui 2 hari ini. Dan sejauh ini Karika tidak membahas apa pun. Sebenarnya kenapa?"

"Lupakan saja." Aku tidak sedang ingin membahasnya. Tidak sebelum Karika memunculkan wajahnya di depanku. Kalau ia masih berani. Aku menggeser tubuhku, rasa ngilu menjalar dari perutku. Aku meringis, menarik bajuku sampai ulu hati untuk melihat bekas tusukan itu.

Selembar perban berbentuk persegi menempel di sana. Warnanya merah. Rasanya basah.

"Iya, ini, tidak terlalu buruk. Di sebelah lambung sedikit, di antara usus, tidak sedalam itu untuk membuatmu kehilangan ginjal." Diandra menjelaskan. "Siapa yang melakukannya?"

Lalu Karika memasuki kamar kami. Dengan sekotak alat medis. "Syukurnya aku pernah dapat pelatihan dasar penanganan kecelakaan."

Aku memandang Karika, begitu juga dia. Kemudian dokter itu berhenti di tempat. Kedua matanya melebar. Disertai ekspresi kaget. Terlalu takut menyapa, dipikirnya aku masih belum sadar.

"Coba kamu jelaskan apa yang membuat aku tidak sadar selama 4 hari," tanyaku. Karena aku tahu lukaku tidak separah itu hingga membuatku pingsan selama itu.

Karika diam sebentar, menaruh semua benda yang ia bawa di atas meja kemudian mendatangiku. Tapi tetap berjarak pada Diandra.

Dengan wajah yang ragu ia menjawab, "Morfin."

Diandra, cuping hidungnya mengembang. Sebentar lagi ia akan meledak.

"Kenapa?" Ia akan berdiri, menghadapi Karika. Karika mundur dengan refleks. Aku melihatnya melirik pada tangan Diandra, sudah pasti di sana ada sebilah pisau. Selalu.

"Supaya dia tidak merasa terlalu sakit," kata Karika takut.

"Apa kamu melakukannya pada Karma juga waktu itu?" Diandra semakin histeris.

Karika mengangguk lemah. Pasrah.

"Sudahlah Diandra," kataku. Malas.

Sepertinya, di sini tak ada yang bisa menghadapi masalah tanpa menjadi ancaman satu sama lain.

Sambil melipat pisaunya Diandra kembali ke sebelahku. Menatapku, masih dengan ekspresi kesal. "Jadi, kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang melakukannya?"

Dengan sengaja Karika menjatuhkan isi kotak medisnya ke lantai. Aku menoleh, Diandra berdiri dengan malas, membantunya memunguti benda-benda yang seharusnya tetap steril itu. Karika tak ingin aku mengatakan apa pun. Tapi, aku sudah muak berbelit-belit. Aku tidak ingin seperti mereka, yang melindungi satu sama lain dari kejujuran. Pada akhirnya kebohongan membuat kami kena masalah yang lebih besar.

"Hei, kamu akan menjawab pertanyaanku atau tidak?" Diandra bertanya lagi meski tangannya masih sibuk memunguti alat-alat Karika. Diandra konsisten dengan rasa ingin tahunya.

"Aku." Karma muncul dari pintu.

Aku menghela nafas panjang. Panjang sekali karena tak habis pikir kenapa kebetulan sekali kedatangannya akan membuat Diandra semakin mengamuk.

"Kamu gila. Aku tidak percaya." Diandra duduk dan bersandar pada kedua tangannya. Menoleh pada Karma. Sebegitu ia percaya pada Karma. Aku jadi tak tega.

"Aku tidak bercanda. Liat wajahku." Karma menghampiri kami. Menunjukkan bibirnya yang sobek.

"Jadi, kalian melakukannya untuk bersenang-senang atau bagaimana?" Diandra bercanda, tapi senyumnya berhenti ketika Karma melirik pada Karika yang sudah akan melarikan diri dari kamar.

"Coba tanya padanya."


7. Sembilan Belas GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang