Setelah mendapat penghasilan pertama dari skill pemrogramannya, Angga terus mengasah skill-nya dengan melakukan banyak tugas kecil dan mudah di berbagai website yang menyediakan jasa tersebut di waktu luangnya. Angga juga sempat berpikir apakah dirinya harus membuka jasa sendiri lalu menyebarkannya melalui media sosial.
Sepertinya ide itu cukup bagus.
Dengan kumpulan uang yang dihasilkan, walau hanya sedikit-sedikit tapi lama-lama menjadi bukit, Angga akhirnya memutuskan resign dari pekerjaannya. Sebelum itu Angga juga telah melunasi hutang kepada sang bos. Untung saja bosnya baik, walaupun berhutang bos tidak memberinya bunga tambahan ketika pembayaran.
Bosnya juga sempat khawatir ketika dia resign, Angga ditanya apakah sudah memiliki pekerjaan yang cocok atau mungkin lebih baik. Angga hanya bisa mengiyakan karena pekerjaannya yang sekarang lebih mudah dan santai. Walau harus lebih ekstra dalam menggunakan otaknya.
"Jadi, papa cudah tidak bekelja lagi di leštolan itu?" tanya Lia mendengar papanya berbicara pada mereka bertiga soal keluar dari pekerjaannya.
Angga mengangguk dengan senyuman. "Iya, mulai sekarang papa akan lebih sering di rumah."
"Papa juga sesekali akan mengantar kalian." tambah Angga.
"Wah, aciik! Diantal papa belangkatnya!" seru Lia girang.
Angga juga berpikir untuk membeli sepeda motor. Dia ingin menggunakannya untuk menjemput anak-anak, sedangkan kalau mengantar mereka cukup berjalan kaki karena menjaga kesehatan mereka. Selain itu, kalau mempunyai motor mudah untuk pergi kemana saja. Tidak harus naik ojek, angkot, ataupun bus.
Angga juga ingin membeli mobil. Lagipula dia bisa menyetir karena pekerjaan di kehidupannya dulu. Tetapi untuk saat ini, uangnya belum mencukupi. Jadi itu tidak diprioritaskan. Prioritas Angga saat ini adalah membeli rumah atau mungkin menyewa yang lebih bagus. Tetapi kalau bisa membelinya, selain untuk aset juga tidak khawatir akan diusir tiba-tiba. Banyak bukan kejadian semacam itu.
Sesuai janjinya, Angga akan mengantar anak-anak ke sekolah. Karena Angga tidak bisa menaiki sepeda mini milik triplets, jadi dia mengantar mereka dengan berjalan kaki.
Angga dan ketiganya berjalan dengan harmonis sambil mengobrol kecil, walau obrolan tersebut didonimasi oleh si kecil Lia dan Nio. Lio hanya sesekali menimpali.
Sampai di depan sekolah, Angga berpesan pada mereka untuk belajar dengan baik dan menjaga diri. Namun, tiba-tiba mereka mendengar sebuah suara memanggil.
"Triplets! Om Angga!"
Itu adalah Vin.
Di belakangnya juga ada Jovita yang memakai setelan bisnisnya, jas hitam dan rok selutut. Tampak ramping dan cantik. Wanita itu sungguh cocok dengan definisi wanita binis yang cantik dan cerdas.
"Hai, Mas Angga!" Setelah menyapa Angga, Jovita beralih ke tiga anak kecil di depannya. "Halo, triplets!"
"Eh, halo Mbak Vita!" sapa balik Angga dengan sedikit kecanggungan. Dia merasa lebih rendah dibandingkan dengan wanita di depannya.
"Halo, tante Vita!" Triplets juga menyapa balik dengan sikap ceria.
"Ya sudah kalian masuk dulu agar tidak terlambat." Walau masih beberaa menit sebelum masuk, Angga memerintahkan mereka masuk dulu. Hal ini agar tercipta budaya disiplindan tepat waktu di benak mereka.
"Baik, Pa!"
Melihat triplets bersama Vin masuk, Angga menghela nafas lega.
"Mas Angga tumbenan nganterin anak-anak?" tanya Jovita begitu anak-amak sudah tidak terlihat.
Angga tersenyum canggung. Tak menyembunyikan sama sekali. "Saya resign dari pekerjaan saya jadi ada waktu mengantar anak-anak."
Jovita tampak terkejut. "Ah, resign?"
"Apa pekerjaan sebelumnya kuran cocok? Atau lingkungannya kurang baik?" lanjut wanita itu bertanya dengan beruntun.
Angga menggeleng. " Tidak juga, kok. Saya baru-baru ini mendapat pekerjaan yang lebih mudah. Bisa dikerjakan melalui online."
"Ah, begitu. Jika tidak nyaman dengan pekerjaan baru itu, mas Angga bisa menghubungi saya, siapa tahu saya bisa bantu mencarikan." Jovita mengira pekerjaan Angga hanya reseller online atau freelance.
Mendengar itu, Angga hanya bisa berterima kasih. "Ah, terima kasih. Mungkin lain kali jika saya memang membutuhkan."
Anga mengalihkan pembicaraan, "Oh ya, Mbak Vita sudah mau berangkat kerja?"
"Iya sih ini. Akan ada rapat nanti jadi saya langsung ke lokasi."
"Begitu."
Ringg! ... Ringg!
Dering nyaring terdengar keras. Ternyata suara tersebut dari ponsel Jovita. Dia melihat itu dari sekretarisnya. Jovita pun tersenyum maklum pada Angga lalu sedikit menjauh menerima panggilan itu.
"...."
"Apa?! Diserang?!"
"...."
"Kalau begitu kamu hubungi teknisi jaringan sekarang, biar mereka mengurusnya."
"...."
"Hah, mereka saja kesulitan? Kalau begitu, hubungi ahli lain kenalan kita secepatnya. Saya akan segera kesana dan melihat-lihat juga apakah bisa mencari bantuan."
Setelah menutup telepon dengan muka masam, Jovita menghampiri Angga hendak berpamitan. Sebelum itu, Angga menghentikannya.
"Apakah ada masalah? Maaf, saya tadi mendengar kata 'diserang' dari panggilan Anda." tanya Angga dengan nada khawatirnya.
Jovita mengangguk dan tampak terburu-buru. "Iya, sistem jaringan kami diserang oleh musuh. Tampaknya mereka ingin mendapatkan data untuk meeting nanti. Karena data itu benar-benar penting terkait kerja sama perusahaan kami dan jika berhasil dimenangkan, maka perusahaan kami pasti dapat semakin berkembang."
Jovita tidak menyembunyikan masalahnya dari Angga, entah kenapa, tampaknya dia sangat percaya pada Angga. Apakah karena Angga telah menolongnya sebelumnya?
Setelah itu, Jovita langsung berpamitan hendak pergi. "Kalau begitu, saya pamit dulu ya Mas Angga."
Tanpa banyak berpikir, Angga menghentikannya lagi. "Tunggu, Mbak Vita!"
"Saya mungkin bisa membantu!" lanjutnya sungguh-sungguh.
Jovita mengernyit, tak berpikir kalau Angga yang akan membantu. Mungkin dia punya kenalan yang pandai masalah keamanan jaringan. "Apakah Mas Angga mempunyai kenalan yang dapat membantu saya?"
"Tidak! Saya sendiri yang akan membantu."
Jovita tampak terkejut mendengarnya. "Apakah Mas Angga bisa masalah beginian?"
Bukannya tak percaya. Hanya saja Jovita terlalu terkejut Angga memiliki keahlian di bidang itu. Karena dia tak pernah menunjukannya selama ini. Atau, dari tampangnya, tidak pernah terlihat sama sekali kalau dia menguasai keahlian di bidang IT itu.
Angga tersenyum tipis, tak heran atas pertanyaannya. "Ya, tapi saya harus melihat dulu masalahnya baru mengambil kesimpulan apakah bisa atau tidak."
Awalnya Angga bingung apakah harus membongkar identitasnya atau tidak. Dia bisa saja berpura-pura mengenal seorang ahli --padahal dirinya sendiri-- kemudian mengenalkannya pada Jovita. Tentu saja cara ini melalui online.
Namun, Angga mengurungkan niat itu, memutuskan untuk memberitahukan saja identitasnya. Mungkin, sebagian alasan karena kepercayaan Jovita sebelumnya yang menceritakan masalah perusahaan padanya, padahal kan itu seharusnya cukup rahasia.
Kembali pada Jovita yang berpikir lebih banyak ahli lebih baik. Siapa tahu pria di depannya ini memang bisa mengatasi masalah perusahaannya?
Jovita akhirnya memutuskan membawa Angga.
*****
Tbc.
Don't forget to vote and comment :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Awesome Papa [END]
FantasyAnggara Prasetya, seorang lelaki yatim piatu yang menghidupi ketiga adiknya tiba-tiba mengalami kecelakaan setelah berhasil mengantarkan kesuksesan ketiga adiknya. Tapi dia tak menyangka, setelah mengalami kecelakaan, dia tak mati. Melainkan nyasar...