Hari ini Angga mendapat libur kerja karena restoran tempat kerjanya sedang direnovasi sehingga tutup sementara. Pria itu seperti biasa, mengantarkan si kembar berangkat. Dan rencananya akan menjemput mereka ketika waktu pulang sudah tiba.
Sebelum itu, selesai membersihkan rumah, Angga melatih kemampuan bermain sahamnya. Kemampuannya yang awalnya sudah menginjak leval 2 awal kini sudah level 2 akhir. Semakin naik level, maka kesulitannya juga akan naik. Karena itu dia membutuhkan banyak waktu untuk belajar.
"Wah, sudah waktunya menjemput anak-anak." Gumam Angga ketika melihat ke arah jam dinding.
Angga bangkit dari kursinya. Bersiap menjemput anak-anak sambil membeli bahan makanan. Kalau ada uang, Angga lebih memilih menggunakan uang tersebut dari pada membeli melalui poin. Lagipula, lewat poin itu mahal!
Langkah kaki panjang Angga cukup cepat sehingga tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di sekolah. Angga melihat sudah cukup banyak orang yang tiba untuk menjemput anaknya. Mungkin beberapa adalah pembantu yang menjemput anak majikan.
"Itu Papa!"
Angga mendengar teriakan itu. Dia melihat triplets bersama sang protagonis a.k.a Vin. Tampak berkerumun menunggunya.
"Anak-anak, maaf ya papa membuat kalian menunggu lama," ucap Anga ketika mendekati mereka.
Lio menggeleng. "Tidak lama kok, Pa!"
Pernyataan ini diangguki Nio dan Lia.
"Baiklah!" Angga kemudian melihat ke arah Vin, "Vin masih menunggu tantenya ya?"
Vin mengangguk pelan. "Iya om... Tapi tumben tante lama sekali belum jemput Vin."
"Hmm, begitu!" Angga mengangguk paham kemudian menoleh ke arah triplets. "Anak-anak, kalian ingin menemani Vin disini dulu atau kita pulang saja?"
"Bagaimana alo menunggu Kakak baik dijemput tantenya?" tanya Lia pelan.
"Ya, Pa?" timpal Nio, sedang Lio hanya mengangguk setuju.
Angga menghela nafas. "Baiklah, kita tunggu dulu sampai Vin dijemput."
"Ayo kita duduk dulu disana." Lanjut Angga sembari menunjuk salah satu bangku panjang di pinggir jalan.
Setelah menunggu cukup lama, tante Vin belum juga muncul. Angga khawatir triplets sudah kelaparan. Mana dia hanya membawa sedikit uang keperluan belanja sayur saja, karena niatnya sebelumnya hanya menjemput triplets lalu pulang memasak di rumah.
"Anak-anak, apakah kalian sudah lapar?" tanya Angga dilanjutkan, "Bagaimana kalau Vin ikut ke rumah kita dulu, sambil menunggu tante Vin nanti."
Triplets belum menjawab, tetapi raut mereka tampak mengiyakan kalau mereka sudah lapar. Sedangkan Vin terlihat berpikir apakah harus mengikuti triplets ke rumahnya atau menunggu tantenya disini.
"Oh ya, apa Vin hapal nomor telepon tantenya?" tambah Angga.
"Nanti Om bisa menelpon atau mengirim pesan untuk memberitahu tante Vin kalau misal Vin mau ikut ke rumah triplets." tambahnya lagi.
Vin akhirnya mengangguk setelah berpikir panjang. "Baik Om, kalau begitu."
Dan akhirnya Vin ikut Angga dan triplets berjalan kaki menuju rumah mereka. Vin sedikit terkejut. Dia kira setidaknya triplets family akan naik kendaraan entah itu motor atau kendaraan umum untuk pulang. Ternyata mereka hanya berjalan kaki.
Bagi Vin yang termasuk anak kalangan atas, berjalan cukup jauh —yang memakan waktu sekitar lima belas menitan— itu cukup baru dan mengejutkan baginya yang terbiasa naik mobil mewah. Tetapi dia sama sekali tak memiliki perasaan mengeluh atau lelah karena ada teman yang berjalan bersamanya. Mereka mengobrol dengan riang, entah membahas apa.
"Anak-anak, kalian pulang dulu bersama Vin. Papa akan membeli sayuran dulu."
"Baik, Pa!" Triplets menggangguk lalu mengajak Vin pulang dulu.
Sesampainya di rumah triplets, Vin memandang rumah kecil itu dengan sedikit kejutan di mata jernihnya. Dia tak menyangka kalau rumah triplets sekecil itu bahkan secara keseluruhan mungkin hanya sebesar ruang tamunya. Kehidupan mereka jelas sangat berbeda. Namun, meski begitu Vin tak mengomentarinya secara langsung. Takut menyinggung perasaan triplets. Walau masih kecil, dia sudah agak mengerti tentang hal ini.
"Kalian ganti baju dulu." Lio memberi tahu Vin memerintahkan kedua adiknya ke kemar duluan. Sedangkan dirinya menemani Vin.
"Maaf ya lumah kami sekecil ini, mungkin tak sebagus lumah Vin." Lio berkata dengan sedikit rendah diri. Pria kecil itu tahu kalau Vin adalah orang kaya, yang kehidupannya tentu berbeda dengan mereka. Walau tak terlalu mengerti banyak, Lio masih sedikit mengerti.
"Tidak apa-apa. Ini sudah bagus kok, Lio."
Vin kembali memandang rumah kecil yang bersih namun tampak hangat itu. Memang, setelah Angga datang ke dunia ini, dia menata rumah serapi dan sehangat mungkin agar membuat triplets nyaman.
Sangat berbeda dengan rumahnya walau besar namun tampak dingin, batin Vin helaan nafasnya.
Nio dan Lia sudah selesai berganti pakaian. Kini mereka yang menemani Vin. Mereka awalnya bingung hendak membicarakan apa dengan Vin, Lia akhirnya yang duluan memulai.
"Kakak baik, biacanya apa yang kakak lakukan cepulang cekolah?" tanya Lia penasaran.
"Lia, panggil aku Vin saja, okay?" Sebelum menjawab, Vin mengingatkan gadis kecil itu. Lagipula, panggilan kakak baik terdengar berlebihan baginya. Dia merasa agak malu mendengarnya. Bukan malu dalam artian buruk ya tapi.
"Baiklah, kakak baik eh—kak Vin. Alo begitu Lia panggil Kak Vin caja!" putus Lia tanpa bantahan.
Vin menghela nafas pasrah. "Huft, terserah Lia saja. Untuk pertanyaan Lia tadi, sepulang sekolah biasanya aku belajar, terkadang juga bermain game."
"Kalau hali libul?" Nio ikut bertanya, penasaran.
"Aku ada les musik dan les pelajaran sekolah."
"Wah, tapi apa itu leš, Kak Vin? Lia balu dengel ini." Lia kagum walau tak mengerti. Gadis kecil itu hanya mengerti pelajaran sekolah. Nio pun demikian, ingin tahu apa arti kata itu.
"Les itu semacam pelajaran tambahan."
"Jadi belajal lebih banyak ya... cangat membocankan!" keluh Lia mendengarnya. Biasalah, kalau bersangkutan dengan yang namanya 'pelajaran' Lia merasa sangat pusing. Apalagi pelajaran tambahan!
Vin tak menjawab, karena les itu sudah menjadi kewajiban baginya. Entah dia merasa bosan atau tidak, dia tetap harus menjalaninya.
Tak lama kemudian, Angga tiba di rumah. Dia melihat triplets berbincang cukup akrab dengan Vin membuat Angga merasa lega.
"Vin, coba kamu hubungi tante kamu dulu menggunakan ponsel om." Angga memberikan ponselnya pada Vin.
"Baik, om." Vin dengan patuh mengambil ponsel Angga lalu mengingat-ingat nomor tante Vita-nya. Kemudian lelaki kecil itu mengetiknya di ponsel, tampak akrab dengan hal itu.
Berbeda dengan triplets yang sama sekali belum pernah bersentuhan debgan ponsel, batin Angga dengan helaan nafasnya.
Bip! Biip!
Sayang sekali, tidak terhubung. Jadi Angga menyarankan Vin mengirim pesan saja. Mungkin tantenya Vin memang sibuk.
"Baiklah, kalau begitu papa akan memasak dulu. Kalian pasti sudah laparkan?" Sebelum sempat dijawab Angga melanjutkan, "Kalian main dulu dengan Vin ya..."
"Baik, Pa!"
Angga segera memasak. Sedangkan triplets mengajak Vin bermain dengan puzzle yang baru dibelikan papa mereka. Walau Vin membatin dalam hati kalau sudah bosan dengan mainan puzzle, tapi dia tak bisa mengatakannya. Apalagi melihat wajah riang gembira triplets saat bermain puzzle dan dia juga mendengar kalau ini adalah mainan pertama mereka. Sungguh... Triplets sangat menyedihkan!
****
Tbc.
Don't forget to vote and comment:)

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Awesome Papa [END]
FantastikAnggara Prasetya, seorang lelaki yatim piatu yang menghidupi ketiga adiknya tiba-tiba mengalami kecelakaan setelah berhasil mengantarkan kesuksesan ketiga adiknya. Tapi dia tak menyangka, setelah mengalami kecelakaan, dia tak mati. Melainkan nyasar...