Hari Sabtu. Libur sekolah. Namun...
Meski libur sekolah, Jeha tidak bisa bersantai karena ia harus bekerja di rumah makan Pak Jay. Sebenarnya Jeha bisa saja cuti, tapi dia sengaja berangkat karena dengan begitu selain mendapat uang lebih juga mendapat bonus tambahan.
"Pak Jay, jangan lupa... besok, hari Minggu jam 8. Harus tepat waktu!"
Pak Jay menghembuskan napas lelah. Soalnya sejak pagi Jeha terus mengingatkannya soal itu, mungkin sudah ratusan kali kalau Pak Jay niat menghitungnya. "Iya Jeha, harus berapa kali Pak Jay jawab?"
"Pak Jay kan orangnya pelupa. Pikun. Alzheimer. Jadi Jeha harus antisipasi"
"Astaghfirulloh, Jeha~sampai hati kamu ngatain Pak Jay begitu? Kalau nggak ingat kamu pegawai andalan Pak Jay, udah Pak Jay slepet dari tadi!"
"HAHAHA"
Bima yang sedari tari menyaksikan adegan itu hanya bisa terbahak.
"Udah lah slepet sekarang aja, Pak Jay. Jeha tuh nggak bakalan mingkem sampai balik"
"Iya nih, Bim... kepala Pak Jay sampai mumet. Beliin bodrex sana, Bim" Pak Jay ngasih uang goceng ke Bima.
"Lah? Ongkirnya, Pak Jay?"
"Hadeh... keluar depan aja harus ongkir nih?"
"Iya lah, Pak Jay. Ke depan juga butuh tenaga"
"Gini amat punya anak buah yang akhlakless" gerutu Pak Jay seraya mengambil uang sepuluh ribu di kantung clemeknya dan menyerahkannya ke Bima.
"Dah sono buruan!"
"Siap, Pak Jay" Bima jalan ke depan, otw beli bodrex.
"Istirahat dulu, Jeha... dari tadi Pak Jay lihat bersihin meja mulu"
"Sengaja biar Pak Jay lihat. Biar Jeha dikasih bonus tambahan. Ehehehe"
Pak Jay memegang kepalanya yang tambah mumet. Punya dua anak buah part time tapi kelakuannya kayak dakjal semua.
Di jam istirahatnya, Jeha mengambil duduk di pojokan, kebetulan rumah makan sedang lenggang, belum ada pelanggan lagi setelah tadi siang super ramai.
Jeha mengambil ponselnya, mencari nama kontak untuk menghubunginya. Panggilan suara.
"Halo... Jeha?"
"Ibu..."
"Iya Jeha ini Ibu" Ibunya berucap antusias, akhirnya putri bungsunya itu menghubunginya. Karena sejak dirinya memutuskan pergi ke Hongkong, Jeha tidak pernah menghubungi Ibunya, bahkan tidak mau bicara lewat telepon saat Jihan tengah melakukan panggilan suara mau pun video dengan Ibunya itu. Jeha hanya sesekali membalas chat ibunya saja, tidak pernah mau berbicara dengannya. Dan sekarang...
"Ibu apa kabar?"
"Alhamdulillah baik. Ibu sehat kok di sini. Kamu sama Jihan gimana? Sehat, kan? Oh iya, besok kamu sama Jihan ulang tahun, kan? Mau Ibu kirimin apa nanti? Biar sekalian Ibu masukin ke paket yang mau dikirim bulan depan" tutur Ibunya bersemangat.
Jeha malah terdiam. Tidak menjawab membuat Ibunya sampai memanggilnya beberapa kali, memastikan panggilan masih tersambung.
"Ibu" panggil Jeha setelah diam beberapa saat.
"Ya, Jeha?"
"Boleh nggak kalau Jeha minta Ibu pulang aja?"
Kini giliran Ibunya yang terdiam.
"Jeha kangen..." bisik Jeha seraya mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh membasahi pipinya.
Terdengar isakan tangis di seberang telepon. Dapat dipastikan kalau Ibunya juga ikut menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower of Aster[END]
Teen FictionSaat mengetahui kembarannya dirundung, Jeha memutuskan untuk bertukar posisi dengan Jihan. Menggantikan posisi Jihan yang dirundung di sekolah sekaligus membereskan para perundung itu. Warning! Area remaja: mengandung bahasa kasar dan sikap labil y...