"Kamu mau sampai kapan meluk aku kayak gini?"
"Selamanya" lirih pria itu yang malah semakin mengeratkan pelukannya. "Gue takut... begitu gue lepas pelukannya, lo bakal ninggalin gue lagi"
"Aku nggak ninggalin kamu, Yasa... aku selalu di sini, nungguin kamu. Nggak pergi kemana-mana"
"Yaudah, sekarang gue udah dateng. Jadi lo nggak perlu nunggu-nunggu lagi dan kita bisa bareng terus"
"Enggak bisa, Yasa... kamu harus kembali. Ini belum saatnya"
"Nggak, Hilda. Gue nggak mau kembali. Gue mau di sini aja. Bareng lo" Yasa tak mau melepaskan pelukannya pada Hilda.
Hilda menggelengkan kepalanya pelan, melepaskan pelukan Yasa, mengambil sedikit jarak dari pria itu untuk menatap wajahnya.
"Kita akan bertemu lagi. Dan saat itu tiba, kita bisa kembali bersama. Tapi bukan sekarang, Yasa... tapi nanti. Sekarang kamu kembali ya... ini belum waktunya. Jadi, kembalilah... mereka sudah menunggu kamu di sana"
Yasa menggelengkan kepalanya ribut. "Nggak! Gue nggak mau! Mereka jahat Hilda. Mereka udah buat lo pergi dari gue. Gara-gara mereka, lo di sini sendirian. Jadi, jangan usir gue. Please... gue mau di sini aja nemenin lo" Yasa tak kuasa menahan air matanya. Pria itu mulai menangis.
Hilda membantu mengusap air mata di pipi Yasa, menyunggingkan senyum manisnya seraya berkata, "Mereka nggak jahat, Yasa. Jangan membenci mereka. Terlebih Hara. Dia adik kamu. Di sini dia tidak bersalah sedikit pun. Tolong, jangan membencinya ya"
Yasa tidak menjawab malah semakin sesenggukan.
"Gunakan kesempatan ini untuk hidup yang lebih baik ya, Yasa... dan berjanjilah padaku, setelah ini kamu harus hidup dengan bahagia. Jangan sesali apa pun yang sudah terjadi. Kamu tidak memiliki salah apa pun padaku. Jadi, berhentilah menyalahkan diri. Aku pergi bukan karena salah mereka, atau pun kamu. Takdir. Ini sudah takdirku, Yasa. Mengerti?" Hilda mengusap puncak kepala Yasa seraya tersenyum manis.
Yasa hanya bisa menganggukkan kepalanya seperti anak kecil.
"Sekarang, ikutilah cahaya di depan sana. Jangan menengok ke belakang dan teruslah berjalan. Oke?"
Yasa menangis lagi, memeluk Hilda sekali lagi. "Gue cinta sama lo, Hilda... gue sayang sama lo"
"Hiduplah dengan baik Yasa. Kamu pantas bahagia. Aku juga mencintaimu"
.
.
.
Perlahan Yasa membuka matanya. Secercah cahaya mulai menghampiri indera penglihatannya.
"Bang Yasa"
Bahkan Yasa mendengar samar suara seseorang memanggil namanya. Namun tubuhnya masih terasa lemas, menggerakkan jemarinya saja seakan tidak bertenaga. Yang hanya bisa Yasa lakukan hanya membuka matanya, dan atap putih di ruangan itu adalah hal pertama yang Yasa lihat.
Belum sempat mencerna situasi yang terjadi, Yasa mendengar suara lain... seperti langkah kaki yang terdengar terburu-buru. Kemudian datang seorang pria berjas putih dengan beberapa orang lainnya dan melakukan serangkaian pemeriksaan pada tubuhnya.
"Terimakasih, Bang... terimakasih sudah mau kembali"
Lagi-lagi Yasa mendengar suara dari orang yang sama. Belum sempat melihat wajahnya dengan jelas, kedua mata Yasa terasa berat dan perlahan kembali menutup.
°°°°°°
Kurang lebih tiga bulan Yasa menjalani terapi pemulihan setelah terbangun dari koma tiga tahun lamanya. Menjalani berbagai terapi seperti fisioterapi juga psikoterapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flower of Aster[END]
Teen FictionSaat mengetahui kembarannya dirundung, Jeha memutuskan untuk bertukar posisi dengan Jihan. Menggantikan posisi Jihan yang dirundung di sekolah sekaligus membereskan para perundung itu. Warning! Area remaja: mengandung bahasa kasar dan sikap labil y...