Bab 2

1.7K 174 10
                                    


Suasana di ruang rapat terasa begitu tegang terlebih saat pimpinan mulai menemukan kejanggalan pada laporan bulanan dari bagian keuangan.

"Siapa yang membuat laporan ini?" Suara berat pria paruh baya terdengar membuat suasana semakin tegang.

"Saya Pak!" Prilly bersuara ditengah keheningan ruang rapat. "Setiap bulan saya yang bertugas membuat laporan keuangan perusahaan."

Seluruh mata kini tertuju pada Prilly, diam-diam Prilly melihat seringaian kecil yang terbit dari bibir Pak Rahmat. "Kenapa banyak sekali pengeluaran bulan ini?"

"Saya hanya bertugas membuat laporan Pak selebihnya menjadi urusan Pak Rahmat selaku atasan saya." Prilly menjawab dengan tenang, ekspresi wajahnya juga terlihat biasa saja.

Pimpinan mulai beralih pada Pak Rahmat yang dengan santainya membalas tatapan atasannya. "Laporan itu sengaja dimanipulasi oleh bawahan saya ini Pak." Jawaban Pak Rahmat jelas membuat mereka yang ada disana terkejut kali ini mereka mulai menatap Prilly dengan berbagai pandangan bahkan mereka mulai menggosipkan Prilly secara terang-terangan.

"Maksud Anda bagaimana Pak Rahmat?"

"Saya sengaja menguji karyawan saya ini Pak dengan mempercayakan seluruh uang perusahaan padanya tetapi siapa yang menyangka jika karyawan saya ini justru tidak tahu diri dengan memanipulasi laporan keuangan perusahaan kita." Urai Pak Rahmat begitu lancar. Pria itu tampak puas setelah memojokkan bawahan yang sudah berani melawan dirinya.

'Rasakan kamu Prilly!'

"Benar apa yang dikatakan atasan Anda ini?"

"Kalau saya katakan jika Pak Rahmat yang berbohong apakah Bapak akan percaya?" Prilly justru balik bertanya. Suasana di ruang rapat sedikit riuh beberapa karyawan dari devisi yang sama dengan Prilly kembali mencela Prilly dengan lebih berani.

"Apa yang kamu katakan Jal--?"

"Ekhem!" Deheman pimpinan membuat Pak Rahmat bungkam dan suasana kembali hening dan mencekam.

"Bagaimana saya bisa percaya jika Anda tidak memperlihatkan bukti pada saya." Suara tenang pria paruh baya itu membuat Prilly tersenyum kecil. "Saya tentu tidak akan berani bertanya pada Bapak jika saya tidak memiliki bukti."

Prilly beranjak dari kursinya sambil membawa sebuah map berwarna coklat lalu ia serahkan pada pimpinan. "Disini semua bukti yang Bapak pertanyakan dan rasanya Bapak sudah bisa mencari manager keuangan yang lain sebelum perusahaan Bapak benar-benar gulung tikar." Ucap Prilly dengan tatapan yang terhunus tajam kearah Pak Rahmat selaku manager dan atasan yang berusaha menjebak dirinya.

"Lalu ini?" Pimpinan memperlihatkan sebuah amplop kecil lainnya yang dibawa oleh Prilly ke hadapannya.

"Itu surat pengunduran diri saya Pak!" Sahut Prilly cukup keras. Kembali mereka dibuat terkejut dengan pernyataan Prilly yang sungguh diluar pemikiran mereka.

Prilly sudah membulatkan tekadnya, ia tidak bisa selamanya bertahan dalam lingkungan pekerjaan yang semakin tidak sehat ini. "Kamu yakin mengundurkan diri?"

"Sangat yakin Pak. Saya tidak pernah ragu dalam mengambil keputusan dalam hidup saya." Tegas Prilly yang sontak membuat pimpinan perusahaan berdecak kagum.

"Bagaimana kalau kamu pindah ke devisi lain saja?" Prilly menolak dengan halus tawaran atasannya itu. "Saya tetap pada keputusan saya Pak. Permisi!" Dan akhirnya Prilly beranjak meninggalkan ruang rapat dengan langkahnya yang begitu santai serta ekspresi wajahnya yang angkuh seperti biasanya.

"Jalang sialan!" Umpat Pak Rahmat yang ternyata masih didengar oleh Prilly, menghentikan langkahnya Prilly berbalik menghampiri Pak Rahmat yang sedikit terkejut dengan keberanian bawahannya ini.

Byur!!

Prilly menumpahkan minuman yang ada diatas meja tepat ke kepala Pak Rahmat. "Ingat umur Pak jangan suka ngomong kotor, malaikat maut datang kita nggak pernah tahu." Kata Prilly dengan seringaian kecilnya. Semua jelas terpana dengan keberanian gadis itu bahkan pimpinan perusahaan tidak bisa melepaskan pandangannya dari punggung kecil Prilly yang menghilang di balik pintu ruangan.

"Gadis pemberani seperti ini sangat cocok di perusahaan ini namun sayang dia memilih mengundurkan diri." Desah pimpinan perusahaan yang membuat Pak Rahmat tidak senang. Jelas saja dia tidak senang lihat bagaimana penampilan dirinya sekarang dan semua itu gara-gara perempuan sialan itu.

"Pak Rahmat, Anda bisa menjelaskan keterkaitan Anda dengan bukti-bukti ini?" Suara berat pimpinan bak lonceng kematian untuk Pak Rahmat.

Sekarang siapa lagi yang bisa ia tumbalkan?

***

Tok!

Tok!

"Sebentar!" Suara keras seorang gadis terdengar dari dalam rumah. Sedangkan didepan pintu rumah sudah ada Prilly yang terus mengetuk pintu rumah dengan kepala bersandar sepenuhnya pada daun pintu.

Tidak memperdulikan teriakan dari pemilik rumah, Prilly terus mengetuk bahkan memukuli daun pintu tanpa menghiraukan telapak tangannya yang perih.

Pintu terbuka dan hampir saja gadis itu terjungkal ke dalam rumah. "Astaga Prilly!" Pekik si pemilik rumah yang tidak lain adalah sahabat dekatnya Prilly.

Gadis manis itu bernama Fiona. Mereka sama-sama gadis perantau dan takdir mempertemukan mereka di ibukota sampai akhirnya mereka menjadi sahabat dekat layaknya saudara kandung.

"Fio sepertinya hari ini adalah hari terakhir lo ngeliat gue!" Dengan gaya lebaynya Prilly meracau membuat Fiona memutar matanya malas. "Jangan ngedrama di depan pintu rumah gue! Masuk!" Bentak Fiona yang sama sekali tidak membuat Prilly takut.

Dengan serampangan Prilly memasuki kediaman minimalis milik Fiona, gadis itu membuka sepatunya lalu melempar ke sembarang arah. Dengan sabar Fiona mengambil sepatu milik Prilly lalu ia tempatkan pada tempatnya. Memasuki ruang tamu mungil milik sahabatnya Prilly kembali melempar tasnya diikuti dengan blazer hitam yang ia kenakan.

"Mimpi gue menjadi gembel di Jakarta akhirnya terwujud tapi kenapa mimpi buruk harus terwujud dalam waktu secepat ini Tuhanku?" Racau Prilly dengan wajah nelangsa.

"Ya Tuhan, kenapa hidup yang engkau takdirkan untukku begini banget sih? Salahku apa Tuhan?" Prilly terus meracau memperlihatkan betapa menderitanya ia saat ini.

"Banyak! Salah lo banyak banget." Jawab Fiona sambil mengambil tas yang dilemparkan Prilly tadi.

Prilly merebahkan tubuh lemahnya diatas ambal berbulu tebal yang dibentangkan Fiona di ruang tamu rumahnya. Kedua mata Prilly terpejam namun mulutnya terus meracau. "Fi lo mau nggak nampung gue dirumah lo yang indah dan nyaman ini?"

Terdengar helaan nafas Fiona. "Mending sekarang lo cerita sama gue daripada lo menggila kayak gini yang ada gue ikutan gila!"

Kedua mata Prilly kembali terpejam mengingat dirinya yang begitu berani di ruang rapat tadi bahkan dengan angkuhnya ia menyerahkan surat pengunduran dirinya, mulutnya mulai menceritakan alasan dibalik kegilaannya ini sampai akhirnya raungannya kembali terdengar membuat Fiona memejamkan matanya.

"SIALAN! KENAPA NASIB GUE SEBURUK INI?!"

"Diam Prilly! Kuping gue sakit denger suara lo!" Protes Fiona yang sama sekali tidak dihiraukan oleh temannya itu.

Setelah puas berteriak kembali Prilly menghempaskan tubuhnya ke ambal lalu kembali meratapi nasib sialnya. "Kenapa gue harus totalitas banget dalam kemiskinan ini Fiona? Kenapa gue?!"

Helaan nafas panjang Fiona terdengar, gadis itu memilih beranjak meninggalkan Prilly yang terus meracau tak jelas. "Nasib jadi orang jujur." Desahnya sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur.

*****

My LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang