Bab 8

1.3K 164 13
                                    


Keesokan harinya, Ali mulai menyiapkan beberapa file yang sejak kemarin ia pelajari. Dari beberapa file yang ia dapatkan itu Ali dapat menyebutkan jika perusahaan keluarganya yang sedang dalam krisis bahkan dikabarkan hampir gulung tikar dikarenakan para pemegang saham juga pemimpin yang melakukan korupsi secara besar-besaran.

Wajah tampannya terlihat begitu serius ketika mengecek satu persatu laporan terutama bagian keuangan yang dikirimkan oleh Samuel ke email-nya. Ali merekrut Samuel untuk bekerja di perusahaannya, saat ini hanya Samuel yang bisa ia percayai menolong perusahannya.

Agung masih terlalu muda dan belum terlalu memahami seluk beluk perusahaan keluarga mereka, jadi satu-satunya orang yang bisa membantu dirinya hanyalah Samuel.
Ali bekerja di apartemennya, ia sama sekali belum mengunjungi kediaman keluarganya semenjak makan malam itu.

Ali hanya berkomunikasi dengan Sintia dan Arina lewat sambungan telepon sementara Agung dan Abimana sempat menemuinya beberapa hari yang lalu. Ali belum ingin bertemu kembali dengan Ayah kandungnya, lebih baik ia menyendiri disini daripada harus melihat wajah pria yang sudah menyakiti dirinya juga almarhumah Ibunya dulu.

Seluruh keluarganya tahu bagaimana kejamnya pria itu dulu namun mereka berusaha memaafkan dan melupakan semuanya namun tidak bagi Ali sampai kapanpun ia tidak akan melupakan bagaimana sakitnya Ibunya meregang nyawa setelah melahirkan dirinya namun saat itu Ayahnya justru menikahi wanita lain yang notabene masih sahabat dekat Ibunya.

Sampai mati Ali tidak akan pernah menerima wanita itu sebagai Ibu tirinya. Satu-satunya wanita yang ia panggil Ibu di dunia ini hanyalah Sintia.

Drrtt...drtt..

Ali meraih ponselnya saat melihat panggilan dari Sintia, Ibunya.

"Halo."

"Halo Nak. Kamu dimana?"

"Apartemen Bun. Kenapa?" Ali mengapit ponselnya di bahu kirinya sementara tangannya kembali membuka lembaran kertas yang ada didepannya sambil ia cocokkan dengan file yang ada di laptop miliknya.

"Bunda cuma rindu kamu Nak." Suara halus Sintia mampu membuat Ali menghentikan gerak tangannya. "Al juga rindu." Jawabnya manis.

Terdengar tawa merdu Ibunya di seberang sana hingga tanpa sadar Ali ikut menarik sudut bibirnya membentuk senyuman kecil namun sangat tulus.

"Nanti malam kita makan malam bersama ya?"

"Baik tapi Bunda pilih restoran yang jauh dari kediaman Eyang." Ali berkata tanpa basa-basi.

Sementara di seberang sana Sintia sudah paham maksud dari permintaan putranya ini, meskipun ia ingin Ali tidak menjaga jarak dengan Ayah kandungnya namun ia tidak bisa memaksa karena ia sadar jika apa yang dilakukan oleh Abang iparnya bukanlah hal sepele.

"Baik Sayang. Nanti Bunda minta Agung sama Arina buat booking tempat yang nyaman untuk kita."

"Baik Bunda."

Ali terlihat perbincangan beberapa saat dengan Ibunya sebelum panggilan terputus dan Ali kembali melanjutkan pekerjaannya.

***

Keluarga Ali sudah berkumpul ketika pria itu datang. Ekspresi wajah Ali tetap datar seperti biasanya namun sejak menginjakkan kakinya di restoran tak satupun dari wanita yang ada disana luput memperhatikan pria itu. Tubuh tinggi dengan bahu lebarnya serta aura yang menguar darinya benar-benar berhasil menarik perhatian orang-orang yang ada disana.

Ali terus berjalan tanpa menolehkan kepalanya ke kiri atau kanan, langkah tegapnya terayun santai namun penuh perhitungan.

"Mas Al!" Teriak Arina heboh dari kursinya begitu melihat Kakak sepupunya. Ali tersenyum kecil melihat kehebohan Adiknya dan senyuman itu berhasil membuat para gadis yang ada disana memekik tak kalah heboh terpesona dengan ketampanan pria tinggi ini.

My LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang