Ali baru tiba di kediamannya saat pintu apartemennya tiba-tiba diketuk dari luar. Masih menggunakan kemejanya Ali berjalan menuju pintu apartemennya. Ia sudah melepaskan jas yang nyaris setengah hari ini melekat di tubuhnya.Pintu terbuka dan seketika ekspresi wajah Ali berubah menjadi tidak bersahabat saat melihat Ibu tirinya sudah berdiri tepat didepan pintu apartemennya dengan senyuman manis yang membuat Ali muak.
"Ada apa?" Tanya Ali tanpa basa-basi.
"Mama dari rumah Eyang kamu Nak, ini Mama bawakan kamu makan siang." Siska memperlihatkan rantang kecil yang sengaja ia bawa untuk putra tirinya.
"Enggak perlu. Silahkan Anda pulang!" Ali berniat untuk menutup kembali pintu apartemennya namun Siska dengan berani menahan pintu menggunakan kakinya. Wanita itu meringis kesakitan namun Ali tidak perduli dengan sengaja pria itu menekan pintu apartemennya sampai ringisan Siska berubah menjadi teriakan kesakitan.
Ali masih punya hati jadi beberapa saat setelahnya ia merenggangkan sedikit pintu apartemennya supaya kaki Siska bisa terlepas. Siska meletakkan rantang yang ia bawa di lantai lalu membungkuk memeriksa kakinya yang nyaris terputus akibat perbuatan putra tirinya.
"Mau sampai kapan kamu bersikap seperti ini sama Mama nak?!" Siska mulai menangis. "Mama selalu berusaha menjadi ibu yang baik untuk kamu tetapi kenapa kamu setega ini sama Mama?" Siska menangis terisak-isak berharap Ali sedikit kasihan padanya.
Ali berbalik memasuki apartemennya meninggalkan Siska yang terduduk di depan pintu. Kedua tangan Siska tampak mengepal saat Ali meninggalkan dirinya seperti ini padahal ia sudah rela jauh-jauh datang demi putra tiri -sialannya- itu.
Tak berapa lama Ali kembali masih dengan ekspresi wajahnya yang datar. "Anda bisa pulang karena sampai kapan Anda tidak akan pernah saya terima di dalam hidup saya!" Tekan Ali tanpa merubah ekspresi wajahnya sedikitpun. "Pembunuh!" Desisnya dengan rahang yang mengetat membuat Siska refleks memundurkan tubuhnya.
"Mama sangat menyayangi Ibu kandung kamu Al, bukan salah Mama kalau Ibu kamu mati--"
Belum sempat Siska menyelesaikan perkataannya Ali sudah maju dan mencekik lehernya. Tubuh Siska bergerak dengan sendirinya karena cengkraman Ali yang begitu kuat di lehernya, bahkan ia sudah lupa dengan kakinya yang sakit.
"Jangan memaksaku untuk berbuat kejam wanita sialan!" Gigi Ali terdengar bergemeletuk, urat-urat besar mulai terlihat diwajahnya menandakan jika pria itu benar-benar sedang diamuk oleh amarahnya saat ini. "Aku bisa membunuhmu dalam sekejap seperti kau membunuh Ibuku dulu." Bisik Ali tanpa memperdulikan wajah Siska yang sudah memerah karena kesulitan bernafas.
Kedua kaki Siska tidak lagi menginjak tanah bahkan mata wanita itu mulai memutih karena tak kuat menahan cengkraman di lehernya. Ali melepaskan wanita itu ketika Siska merasa kematiannya sudah di ambang pintu.
Bruk!
"Uhuk! Uhuk!" Siska terbatuk-batuk sambil memegang lehernya yang terasa patah akibat cekikan putra tirinya.
"Selamat siang Pak. Ada yang bisa kami bantu." Dua orang satpam datang menghadap Ali. "Bawa wanita ini keluar!" Perintah Ali yang segera dilaksakan oleh dua satpam itu.
Siska tidak bisa mengeluarkan suaranya untuk protes jadi ia hanya bisa pasrah ketika dua satpam ini membawanya pergi dari apartemen putra tirinya.
Ali kembali memasuki apartemennya, menutup pintu dengan kasar lalu melepaskan dasinya dengan cepat. Ia membuka seluruh pakaiannya lalu beranjak menuju kamar mandi. Ia butuh air dingin untuk menjernihkan pikirannya. Hampir saja ia membunuh wanita sialan itu!
Ali tidak akan membiarkan Siska mati dengan mudah, ia akan membalas kematian Ibunya dengan cara yang paling menyakitkan.
***
"Lo yakin nggak mau nginap di rumah gue malam ini?" Prilly sedang bersiap-siap keluar dari rumah Fiona kembali menghentikan langkahnya. "Enggak Fi. Gue butuh waktu buat menyendiri." Ujarnya dengan wajah nelangsa.
Fiona bergerak maju memeluk sahabatnya. "Baru aja lo bahagia karena dapat kerjaan baru eh malam datang masalah yang lebih berat." Prilly mengangukkan kepalanya membenarkan perkataan Fiona.
"Hidup gue memang jauh dari kata tenang Fi." Sahutnya lesu. Fiona mengeratkan pelukannya ia tahu sahabatnya sedang kesusahan tapi ia yakin cepat atau lambat Prilly akan menemukan jalan keluar.
"Yakin aja pasti ada jalan keluar buat lo."
"Doain ya Fi."
"Selalu gue doain lo. Elo juga jangan lupa doain gue." Balas Fiona setelahnya pelukan mereka lepas sebelum Prilly benar-benar pergi dari rumah sahabatnya ia sempat berbisik. "Akhirnya lo bisa undang cowok kenalan lo malam ini. Ingat kalau main jangan lupa pakai pengaman, jangan sampe lo bunting Fi!"
"Sialan lo!" Maki Fiona yang dibalas tawa membahana oleh sahabatnya. "Gue pulang! Dadah Fio!" Prilly melambaikan tangannya dengan heboh yang dibalas Fiona tak kalah heboh.
"Ingat Fi jangan sampai bunting!" Teriak Prilly sebelum menaiki taksi yang sudah dipesannya.
Fiona hanya bisa geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya.Di dalam taksi ekspresi ceria diwajah Prilly sontak berubah. Helaan nafas panjangnya terdengar dengan tatapan kosong ia menatap keluar jendela. Jalanan masih begitu padat meskipun sudah nyaris tengah malam. Taksi yang ditumpangi Prilly berhenti karena terjebak kemacetan.
"Macet Pak ya?"
"Iya Neng. Lumayan padat juga jalanan di depan." Kata supir taksi pada Prilly.
"Ya udah saya turun disini aja deh Pak." Prilly kembali memakai tasnya dan bersiap turun dari taksi. "Ini Pak ongkosnya."
"Wah ini kebanyakan Neng." Supir taksi itu terkejut saat melihat lembaran uang yang Prilly kasih padanya. "Enggak apa-apa Pak. Makasih Pak ya."
Prilly keluar dari mobil menuju trotoar, perjalanan menuju kosnya masih lumayan jauh tapi ia memutuskan untuk jalan kaki saja. Ia masih mengenakan pakaian tadi siang. Sepanjang perjalanannya pulang, Prilly mulai mengurut rangkaian kejadian yang terjadi dalam hidupnya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan.
Kehilangan pekerjaan, lalu pacarnya berselingkuh dan sekarang Ibunya mendesak dirinya untuk pulang dengan membawa kekasihnya. Prilly nyaris gila memikirkan hal itu.
"Capek juga jalan kaki." Keluhnya yang baru berjalan beberapa ratus meter. Prilly melihat sebuah taman yang letaknya begitu dekat dengan sungai, pemandangannya lumayan cantik.
Prilly berjalan menuju area taman yang berbatasan langsung dengan sungai itu. Prilly baru menyadari jika di taman masih lumayan ramai orang yang berlalu lalang bahkan ada yang masih berolahraga.
Prilly begitu fokus menatap kearah sungai sehingga ia tidak sadar jika seorang pria sedang menatap dalam dirinya. Punggung kecilnya seolah sudah familiar di mata pria itu.
"Ya Tuhan kenapa hidupku begini banget takdirnya!" Tiba-tiba Prilly berteriak dengan kedua tangan terbuka lebar. "Aku memang banyak dosa tapi tolong Tuhan untuk kali ini bantu aku! Aku mau ketemu jodohku kalau bisa yang sempurna kayak Pak Ali biar Ibu senang punya menantu ganteng setengah mampus kayak Pak Ali!" Oceh Prilly dengan begitu nyaring tanpa sadar jika ocehan itu terdengar sampai ke telinga si pemilik nama.
Prilly terlihat tidak perduli dengan pandangan orang-orang yang lewat yang memperhatikan dirinya, mungkin mereka mengira Prilly sudah terganggu mentalnya tapi siapa yang perduli gadis itu saja masih terus mengoceh berteriak tidak jelas sementara si pemilik nama yang sejak tadi disebut oleh Prilly masih membeku ditempatnya. Sepertinya Ali sangat betah melihat kegilaan gadis yang ia tolong itu.
Setelah puas berteriak Prilly mulai melanjutkan kembali perjalanannya menyusuri jalanan setapak yang berbatasan langsung dengan sungai. Prilly terus berjalan tanpa menyadari jika dibelakangnya ada pria yang terus ia sebutkan namanya ketika meminta pertolongan pada Tuhannya.
Sepertinya doa-doa orang teraniaya memang segera dikabulkan oleh Tuhan.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
My Light
ChickLitStory terbaru kali ini alur ceritanya sengaja aku buat sedikit lebih 'ehem' dari story-ku yang lain. Aku jamin seru, jangan lupa baca juga vote dan komennya yaaa♥️