Bab 5

1.4K 166 17
                                    


"Woi!"

Ali sedang menyesap kopinya nyaris tersedak saat seorang pria tiba-tiba datang dan memukul punggungnya dengan lumayan keras. "Gila lo! Balik ke Indo nggak ngabarin gue, teman apaan lo?" Suara keras pria itu tidak hanya membuat telinga Ali sakit tetapi juga berhasil menarik perhatian pengunjung yang lain.

Dia Samuel Albert, sahabat Ali sejak kecil namun mereka terpaksa berpisah beberapa tahun karena Ali memilih melanjutkan pendidikannya keluar negeri sementara Samuel memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Indonesia.

"Lo apa kabar Al?" Samuel kembali menepuk bahu Ali dengan lumayan keras namun Ali diam saja, ia hanya melirik sahabatnya tidak berminat. Sejak dulu Samuel memang memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Ali namun begitu persahabatan mereka tetap awet sampai sekarang.

"Baik." Jawab Ali singkat setelah beberapa saat terdiam.

Samuel tampak mengangukkan kepalanya beberapa kali. "Lo balik karena perusahaan keluarga lo mau bangkrut ya?" Selain berisik Samuel juga memiliki tingkat kekepoan yang diatas rata-rata.

Ali kembali memberikan lirikan mematikan dan kali ini Samuel seketika bungkam. "Gue udah dengar kabar ini makanya gue mau pastiin sendiri sama lo benar apa nggak." Kilahnya membela diri.

Ali hanya diam, ia tidak berminat membicarakan perihal perusahaan disaat dirinya sedang menenangkan diri seperti ini. Sejak kejadian saat makan malam itu Ali tidak pernah lagi bertemu dengan pria yang sudah menyakiti Ibunya namun tetap saja perasaan benci yang disebabkan pria itu terus membuat suasana hatinya memburuk.

"Jadi apa rencana lo setelah kembali?" Samuel baru saja selesai memesan minuman juga makanan untuk dirinya. Pria itu kembali bertanya karena penasaran dengan apa yang akan Ali lakukan.

Ali kembali meraih gelasnya lalu menyesap kopi miliknya dengan begitu tenang dan santai. "Lo enggak ada rencana kerja?" Kembali Samuel bertanya dan lagi-lagi Ali mengabaikan dirinya.

Suasana sore ini benar-benar cerah dan Ali selalu menyukai langit negaranya. Tatapan pria itu terlihat tenang namun sendu saat melihat langit yang begitu indah di matanya.

Helaan nafas Samuel terdengar, sudahlah ia menyerah saja tidak akan lagi ia bertanya pada sahabatnya ini.

Prang!

Tiba-tiba seluruh penghuni cafe terkejut dengan suara pecahan kaca yang cukup memekkan telinga. Samuel dan Ali ikut menoleh secara bersamaan saat seorang gadis yang tiba-tiba datang dan menghancurkan gelas di kepala seorang pria.

Semua jelas terkejut dengan kejadian itu hanya Ali yang tampak diam memperhatikan gerak gerik gadis itu yang begitu berani melawan pria yang ingin menampar dirinya.

"Bajingan sialan! Lo pikir lo hebat karena berhasil nyakitin gue?!" Teriak gadis itu sambil menunjuk kearah muka si pria yang sudah basah kuyup dengan air yang bercampur darah akibat pukulan yang gadis itu berikan tadi.

"LO PIKIR LO HEBAT HAH?!"

"Gila berani banget tuh cewek!" Seru Samuel yang ikut terpacu adrenalinnya saat si wanita menahan tangan si pria yang ingin memukul dirinya.

"Keren!" Seru sahabat Ali itu sambil bertepuk tangan. Ali hanya diam dan memperhatikan bagaimana tangan kecil itu begitu lincah memelintir tangan berotot dari pria yang kuat dugaan kekasihnya yang berselingkuh.

"Lepas! Lepas! Lepasin pacar gue jalang!" Si wanita yang tadi duduk bersama si pria mulai bangkit dan berusaha memukuli si wanita mungil yang terus menekan tangan si pria hingga si empunya tangan menjerit kesakitan.

Karena merasa tidak kuat melawan si wanita yang memelintir tangan pacarnya, dia mulai meraih gelas dan berniat memukul kepala si wanita seperti yang dilakukan pada kekasihnya tadi.

"Awa---s!" Suara keras Samuel tertelan saat melihat sahabatnya tiba-tiba sudah berada di sebelah wanita itu dan menggunakan lengannya untuk melindungi si wanita bar-bar yang membuat kehebohan di cafe ini.

Mulut Samuel terbuka lebar terlebih saat ia menyadari jika ini adalah kali pertama Ali mencampuri urusan orang lain bahkan orang yang dia tolong sama sekali tidak di kenali.

***

"Jadi kamu harus pergi sore ini?"

Ferdi yang sedang mengenakan kemejanya mengangukkan kepalanya. "Maaf ya Sayang, lain kali kita atur lagi waktu ketemuan kita." Jawab Ferdi dengan senyuman lembutnya.

Prilly hanya bisa menghela nafas saat melihat Ferdi yang begitu terburu-buru mengganti pakaiannya setelah menerima panggilan telepon tadi.

"Emang Bos kamu yang nelpon tadi?" Ferdi mengangukkan kepalanya. "Kalau bukan Bos aku ngapain aku buru-buru sampai tega ninggalin kamu Sayang." Tangan pria itu terulur mengusap lembut pipi pacarnya.

Lagi-lagi Prilly hanya bisa menghembuskan nafasnya. "Padahal aku pikir dengan ketemu kamu kegelisahan aku sedikit berkurang." Keluhnya yang membuat Ferdi menghentikan gerakan tangannya yang sedang merapikan rambutnya.

"Memangnya ada apa Sayang?" Tanya pria itu meletakkan sisirnya lalu beranjak mendekati Prilly yang duduk di sofa yang ada di kamarnya.

"Aku mengundurkan diri dari pekerjaan aku." Ucap Prilly gamblang tanpa bertele-tele. "Jadi sekarang kamu pengangguran?" Tanya Ferdi dengan ekspresi wajah yang sedikit terkejut.

Dengan polosnya Prilly mengangukkan kepalanya. "Eum ya sekarang aku pengangguran."

Ferdi mengusap lembut kepala kekasihnya. "Enggak apa-apa, masih ada aku yang bisa nafkahin kamu. Jadi kamu tenang aja nggak perlu takut."

Senyuman Prilly mengembang lebar, ia benar-benar bahagia mendengar perkataan pacarnya. "Kamu perduli aja aku udah senang." Jawab Prilly sebelum melemparkan diri ke dalam pelukan kekasihnya.

Keduanya berpelukan erat sampai akhirnya suara deringan ponsel Ferdi terdengar membuat mereka terpaksa menjauhkan diri satu sama lain. Wajah Prilly terlihat cemberut namun ia berusaha untuk mengerti posisi kekasihnya.

"Aku antar kamu pulang ya?" Tawar Ferdi yang dijawab gelengan kepala oleh Prilly. "Aku mau tidur disini dulu boleh? Aku bangun kepagian tadi jadi ngantuk." Prilly menguar lebar didepan pacarnya membuat Ferdi tertawa dan menutup mulut Prilly dengan punggung tangannya.

"Boleh Sayang. Aku usahain pulang cepat ya." Prilly mengangukkan kepalanya. Setelah itu mereka berpisah.

Prilly kembali ke ranjang setelah mengantarkan Ferdi pergi, matanya mulai berat meskipun sedikit kecewa karena gagal melewati malam panas bersama Ferdi namun ia merasa lega setelah menceritakan kegelisahannya pada Ferdi.

Prilly bersyukur Ferdi menerima kondisinya saat ini meskipun pria itu bersedia menafkahi dirinya namun Prilly tetap tidak akan bertopang dagu mengharap uang dari Ferdi. Ia akan kembali berkerja karena baginya uang dari hasil kerja kerasnya jauh lebih berharga dari pada pemberian Ferdi yang notabene hanya pacar bukan suaminya.

"Nyamannya!" Desah gadis itu saat membaui aroma khas Ferdi yang tertinggal di bantal yang ia pakai. "Kamu wangi aku suka." Suara gadis itu mulai terdengar lirih sampai akhirnya Prilly benar-benar terlelap dengan senyuman yang terukir di bibir manisnya.

*****

My LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang