Sebulan kemudian.
Tangan yang biasa menggenggamnya erat, beberapa waktu ini dingin terasa, suara yang biasa memelas bantuannya sekarang diam seribu bahasa, tubuh yang tidak bisa tanpanya sekarang terlihat jauh lebih mandiri.
Becky mungkin tidak berubah untuk apapun, yang orang tau, wanita itu akan tetap seperti itu, tapi Freen kehilangan sisinya yang ceria dan ramah, kehilangan Mereka yang lalu.
"Babe. "
"Hmm?"
"Aku mau shooting ke puncak. "
"Oke. "
Biasanya, akan ada banyak pertanyaan setelahnya, yang berujung dengan Freen memutuskan untuk membawa Becky bersamanya, namun kali ini, bahkan puncak sudah ada 3 kali dalam satu bulan ini, namun respon Becky terlalu datar.
"Kamu mau Aku masakin apa Babe?"
"Apa aja. "
Ia tidak marah, tidak menghindarinya, tidak terlihat membencinya, namun Freen jauh lebih takut jika Becky seperti ini kepadanya, membenci dalam paras yang terlihat santai itu adalah pembunuh sebuah hubungan dengan cepat.
"Kamu ada kelas hari ini Babe?"
"Ada. "
"Mau Aku anter?"
"Boleh. "
"Nanti pulangnya sama Irin ya. "
"Oke. "
"Kamu makan buah yang banyak ya Babe, Kamu pucet banget, Aku udah siapin vitamin ya sama obat penambah darah, akhir-akhir ini Kamu sering mual, Aku juga siapin obat, "
"Oke. "
"Sekalian, nanti kalau ke Ayah, Aku juga udah siapin pakaiannya. "
"Aku di rumah. "
"Kenapa? biasanya kalau Kamu gak bisa ikut sama Aku, Kamu ke Ayah. "
"Gak, sebulan ini di rumah kok. "
"Maaf, "
Becky berlalu, selalu, setelah kata maaf itu sekali lagi membuatnya muak, Ia sudah memaafkan, tapi bukan berarti melupakan, Becky masih sangat sulit hidup baik-baik saja setelah malam itu.
Diam, Ia meremas rambutnya lagi, menangis dalam diam, Freen bahkan sudah kehilangan banyak sekali rambutnya karena hal yang selalu Ia lakukan ini, bahkan bibirnya sudah sering sekali pecah karena gigitannya, Becky tidak pernah menyadari itu, karena melihat wajah Freen mulai menjadi ketakutan untuknya, Ia belum sembuh, Ia ingin tanpa tatapan menyeramkan itu lagi, hanya ingin lupa, itu saja.
Membenturkan apapun kepada kepalanya, namun kali ini isi kepalanya menariknya untuk melakukan itu, meremas gelas kaca itu mengan keras, pecahan yang perlahan melukai tangannya, membuat darah itu mengalir begitu hebatnya.
Sensasi rasa sakit dari sebuah luka mulai Ia sukai, mulai terbiasa melukai dirinya, menjadi candu untuk perih hang tercipta, sial Becky tidak tau apapun tentang itu.
Wajahnya tenang, tangisnya berhenti saat melihat darah itu mengalir bersamaan dengan genggaman yang semakin kuat, pikirannya kosong, hanya terfokus kepada apa yang Ia lakukan saat ini.
Freen pernah melakukan ini sebelumnya, saat sang Ibu meninggal dunia, rasa hancurnya juga sama, namun kali itu ada Becky yang menenangkannya, kali ini, Becky adalah alasannya.
"Freen, Aku berangkat du... Freenky. " Teriakan itu tidak merubah apapun, Freen tetap terdiam dengan tatapan kosongnya, air mata yang mengalir tanpa henti, berkedip pun Ia enggan.
"Freen, freenky, hey, sadar, Freen, oh god jangan lagi, jangan kayak gini lagi, Freen, sadar Freen. "
Pelukan itu, pelukan yang sama seperti yang Ia berikan ketika hubungan Mereka baik-baik saja, perlahan serpihan gelas yang Freen genggam terjatuh ke lantai, mulai mendapatkan kesadarannya lagi, menyadari apa yang baru saja Ia dapatkan, Ia menangis dengan keras, meluapkan semua perasaan yang ada.
"Jangan gini Freen, jangan lukain diri Kamu sendiri lagi, cukup sekali aja. "
"Babe. "
"Jangan, "
"Jangan tinggalin Aku. "
"Gak ada yang tinggalin Kamu, Kamu janji sembuh buat Aku, kenapa Kamu gini lagi?"
"Aku sayang Kamu Bec. "
"Freen sadar. "
"Aku sayang banget. "
"Freen minum obat ya. "
"Aku cinta mati. "
"Freen, hey sadar. "
"Aku mau sama Kamu terus. "
"Freenky. " Becky berteriak saat tubuh itu melemah seketika.
Depresi, terlihat baik-baik saja walaupun dibalut dengan kehancuran, Freen terlalu kuat untuk semua luka yang Ia tanggung sendirian, namun Becky juga tidak selamanya baik-baik saja, Ia memiliki perasaan yang sama, rasa sabar yang tidak akan selalu bisa memaafkan.
Menghubungi siapapun, Ia tidak tau harus bagaimana lagi, beruntung Billy akan selalu menjadi penyelamat, laki-laki itu tidak peduli sesibuk apapun dirinya, jika menyangkut sahabatnya, Ia akan tinggalkan.
"Freen, bangun, bangun Freen. "
Semarah apapun, kenyataannya Ia akan tetap seperti itu, mencintainya, bahkan dengan sangat, Becky tidak tau bagaimana cara untuk menjelaskannya, yang Ia mau hanya Freen baik-baik saja, walaupun dirinya terluka.
Gerbang itu terbuka, Becky mendengar dengan jelas bagaimana sahabat sekaligus sepupu Freen itu berteriak dari sana, tidak ada yang bisa Becky lakukan lagi selain menunggu dan menangis.
"Bec, Bec, ayok. "
Mungkin tidak ada yang tau, bagaimana mentalnya menghancurkan segalanya, walaupun terkadang Ia juga ingin simengerti, ingin dianggap ada, ingin dilibatkan dalam segala hal yang terjadi dalam hubungan Mereka, tapi jika itu dengan Freen, Ia hanya bisa diam dan menerima.
"Billy cepat. "
"Iya. "
Mata yang tadi tertutup, sedikit terbuka, pandangannya sayu terlihat, genggamannya erat, Becky menfokuskan dirinya kepada Freen, Ia menangis, karena nyatanya, kemanapun Ia membuang perasaan itu, akan kalah dengan maaf yang terucap.
"Maaf, Aku cinta Kamu, jangan kemana-mana. " Ucapan yang lemah terdengar, tapi Becky tau itu yang paling tulus dari hatinya.
If I'm real, I deserve less
If I was you, I wouldn't take me back,I pretend when I'm with a man, it's you
And I know that it's too late,I don't wanna lose what's left of you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi untuk Freenky (Freenbecky)
Short Story(Misgendering⚠️) Bumi itu luas, Ia tidak akan membuatmu kesepian.