19. Egois

125 7 0
                                        

Selamat membaca


Author POV

Ternyata tak seburuk itu pergi dengan Nabil. Cowok itu sangat baik, dengan mentraktirnya beberapa novel yang ia inginkan. Sepanjang perjalanan, senyum Zarel tak juga luntur. Bahagianya seorang Zarel itu sederhana bukan?

Sesampainya di rumah Zarel dengan tidak sabar mengeluarkan tiga buah buku fiksi dari paper bag di tangannya. Nabil menggeleng heran, tersenyum kecil. Ia tidak sama sekali protes dengan Zarel yang duduk diam, sementara dirinya sibuk menata bahan dapur. Karena bahagianya Zarel bahagianya juga sekarang.

Tapi Zarel cukup sadar diri, sepuluh menit kemudian daksa gadis itu menghampiri Nabil.

"Makasih buat traktirannya, lain kali traktir lagi ya."

Sudut bibir Nabil tertarik dengan sendirinya tanpa membalas ucapan gadis itu.

"Abil."

"Gue boleh panggil lo Abil aja nggak sih? Kalau Nabil kayaknya terlalu formal," ucapannya tiba-tiba.

Zarel tidak tau itu ide dari mana. Tapi dia memang sedikit canggung saat memanggil lelaki ini dengan sebutan Nabil, rasanya tidak terlalu akrab. Dan Zarel sudah memutuskan untuk menerima takdir, membiarkan arus hidupnya berjalan dengan sendirinya. Tidak akan lagi membantah, karena itu percuma, semua sudah terjadi tanpa bisa ia tahan lagi.

"Senyamannya lo aja," balas cowok itu. Selesai sudah mereka menata bahan dapur tersebut. Tidak ada kegiatan, membuat Zarel mendesah pelan.

Untuk Novel, Zarel memutuskan membacanya nanti saja. Hingga sebuah ide membuat kedua sudut bibirnya tertarik. "Abil, jujur aja nih ya gue nggak terlalu pinter masak. Tapi pengen belajar, lo bisa bantuin gue nggak?" tanya Zarel penuh harap.

"Boleh, mau masak apa?"

Zarel mengetukkan jari telunjuk di dagu. Memilih masakan apa yang cocok untuk seorang sepertinya. Ia suka memasak, itu benar. Selama tinggal di rumahnya dulu, Zarel kerap membantu bi Sari menyiapkan sarapan. Tapi hanya membantu, ia tidak benar-benar mahir melakukannya.

"Lo bisa nya apa?" Zarel sedikit penasaran.

"Apa aja."

Zarel menjentikkan jarinya, "Oke, cireng kuah yang pedes, lo bisa kan?" katanya antusias.

Zarel bergerak cepat, menyiapkan bahan yang di sebutkan Nabil, karena hanya dia yang tahu cara pembuatannya. Sudah dibilang kalau gadis itu tidak mahir memasak. Terlihat jelas, kalau Nabil lebih menguasainya dibanding Zarel.

Seketika matanya tertuju pada seorang di sampingnya. Ia tersenyum, lucu juga melihat Nabil yang tampak serius dengan urusannya. Ya, meskipun setiap hari ekspresi nya selalu serius sih.

"Bisa gosong kalau lo nya nggak fokus."

Gadis terkesiap, segera mengangkat cireng yang dirasa sudah matang. Sial, Nabil memergokinya.

Entah keberapa kali sudut bibir Nabil tertarik, membentuk lengkungan tipis yang sangat manis saat dipandang.

"Kenapa senyam-senyum?" Zarel melirik galak, merasa Nabil menertawakan nya.

Ia menggeleng, "nggak boleh?"

"Ngetawain gue kan lo?" tuduhnya tak meleset barang sedikitpun.

"Udah tuh, matiin kompornya," titah Nabil tanpa mengindahkan ucapan sebelumnya.

Sempat mendelik tajam sebelum melakukan perintah cowok itu. Saat makanan disajikan, aroma harum menguat memenuhi indra penciuman Zarel.

Setelah lama berkutat dengan dapur, akhirnya cireng kuah pedas yang dia maksud tersaji didepannya.Ia meletakkan hasil karyanya -meski lebih ke karya Nabil- di atas meja makan. Mencicipi sedikit.

Azharel (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang