28. Dissociative Identity Disorder

76 2 0
                                    

Selamat membaca


Author POV

Dua hari berlalu sejak pemakaman ibu Bella, gadis itu tak menunjukan batang hidungnya. Maka, malam ini, disertai guyuran hujan juga petir yang saling bersautan, keempat orang yang menjalin ikatan sahabat tengah melakukan panggilan Vidio.

Ide yang muncul mendadak dengan alasan khawatir itu datang dari Fasha. Namun sejak tadi, yang Bella lakukan hanya membalas sekenanya. Walau sesekali menampakan senyum manis, tetap saja tidak bisa menutupi sorot yang masih terlihat sendu.

Katanya, besok gadis itu baru akan sekolah yang membuat Hazel menggebu-gebu mendiktekan tugas yang sudah seperti gunung.

"Cerpennya tema bebas, buat yang paling bagus nanti di kasih reward." Kalimat itu datang dari Fasha yang mengakhiri perbincangan soal tugas-menugas.

Bella tampak manggut-manggut tanda mengerti. Ia sudah selesai menuliskan tugas yang siap dikerjakan. Sepertinya malam yang sangat sayang jika tidak diisi dengan tidur harus ia kesampingkan untuk maraton tugas ini.

Karena malam semakin larut dan beberapa dari mereka harus menyelesaikan tugas. Mereka kompak menutup panggilan di jam sepuluh lebih dua puluh menit.

Zarel yang semula tengkurap berganti posisi menjadi duduk dengan memangku bantal. Ia masih terjaga di jam ini.

"Tidur sana. Udah malam." Gadis yang menyandarkan punggungnya, perlahan membuka mata yang semula terpejam.

Zarel melirik ke bawah, ada Nabil yang memilih duduk lesehan dengan menyandar pada sofa yang ia tempati. Cowok itu sedang menatap laptop, mengerjakan beberapa pekerjaan kantor.

"Belum ngantuk, nanti aja."

Pikiran Zarel lalu berkelana, memikirkan hal yang menyita sebagian kesadaran. Untuk Darren, banyak hal yang ingin ia dengar langsung dari sang ayah. Tentang mamanya, tentang keluarga Drizal, tentang semua yang terjadi, juga tentang bagaimana perlakuan Darren terhadapnya.

Entah kenapa, ada sedikit rasa ganjal menyangkut papanya. Apalagi sejak datangnya Daniel, Zarel lebih merasa ada banyak yang disembunyikan darinya. Karena terlalu lama diam tanpa ada pergerakan, perlahan mata gadis itu tertutup tanpa disadari.

Nabil menggeleng pelan melihat gadis itu tertidur dengan posisi masih bersandar. "Tadi bilangnya belum ngantuk."

Cowok itu menyimpan laptop yang Zarel gunakan di meja, mengangkat tubuhnya ala brydel style untuk pindah ke kamar. Menaruhnya hati-hati, tidak ingin membuat gadis itu terbangun. Zarel sedikit melenguh karena terganggu.

Nabil merebahkan dirinya di samping gadis itu, menyelimuti keduanya. Tangannya tergerak merapikan rambut yang menutupi wajah Zarel, hingga senyum kecil terbit di bilah bibirnya.

Cantik. Satu kata yang bisa ia deklarasikan. Ini yang Nabil suka, menikmati pahatan indah di depannya tanpa ada penolakan dari sang pemilik wajah.

"Secandu itu gue sama lo rel."

Nabil laki-laki normal, ia sudah berulang kali menahan diri untuk tidak menyentuh Zarel lebih. Oleh karena itu, dia memutuskan segera tidur sebelum pikirannya berkelana kemana-mana.

Di ruang berbeda dengan waktu yang bersamaan. Laki-laki dengan kaos oblong hitam yang melekat di tubuhnya, tertidur setelah menuliskan sepenggal kalimat di belakang buku tugasnya.

"Pules banget tidurnya." Tidak tega jika harus membangunkan Reyhan, Nadin memilih menyelimuti tubuh adiknya.

Saat ingin kembali ke kamarnya, tanpa sengaja sudut matanya menangkap buku yang masih terbuka dengan kalimat yang membuatnya terpaku sesaat.

Azharel (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang