22. Dia yang dahulu

77 8 0
                                    

Selamat membaca


"Tumben rokok."

Reyhan menoleh sejenak sebelum kembali fokus dengan kegiatannya, tidak terlalu peduli dengan Sean sudah berdiri disebelahnya. Rooftop  memang tempat paling nyaman disekolah, selain tempat yang rawan digunakan untuk membolos.

Tempat disekitarnya sudah sepi lantaran jam pulang sudah terlewat beberapa menit yang lalu. Pelajaran terakhir tadi mereka memilih bolos bersama-sama termasuk Arkan, entah kesambet apa mantan ketua OSIS itu mendadak mau-mau saja diajak membolos.

"Lo nggak ada niatan pulang gituh? Yang lain udah pulang, tinggal kita," ujar Sean kembali bersuara.

"Kalau mau pulang duluan aja," balas Reyhan, kemudian mengepulkan asap dari nikotin yang membuatnya candu akhir-akhir ini.

"Kak Nadin chat gue, dia tanyain lo katanya cepet pulang."

Reyhan mematikan rokoknya yang sudah sepertiga. Dia masih enggan pulang. Soal Nadin, sebelum berangkat sekolah kakaknya sudah mewanti-wanti dirinya agar langsung pulang dengan membawa titipan darinya.

"Sekolah udah sepi Reyhan, mau jadi kuncen lo?"

Reyhan berdecak, "bawel banget sih, iya nanti gue pulangnya bentaran lagi."

"Masih mikirin Zarel?"

"Nggak ada yang mikirin dia," dengus Reyhan jujur, ia membuang puntung rokok ke sembarang arah.

"Trus?"

Reyhan berbalik, menyandarkan punggungnya di pembatas rooftop kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. "Sampai saat ini gue belum nemuin lagi jejak Rere. Dia dimana gue nggak tau Se, bisa aja ada disekitar kita tapi gue nggak sadar."

Sama aja Rey lo mikirin dia, batin Sean.

"Kalau lo nggak pernah nemuin dia lagi, gimana?" Tanya Sean, penasaran dengan respon cowok itu selanjutnya.

Pertanyaan Sean mampu membuat Reyhan bungkam beberapa sekon ke depan. Sebelum helaan nafas gusar kembali memusatkan perhatian Sean pada sepupunya.

"Menurut lo gue harus gimana?" Reyhan balas bertanya.

Sean diam, memilih bungkam bukan berarti dirinya tak tahu apa-apa. Dia yakin, seberusaha apapun menyembunyikannya, cepat atau lambat Reyhan akan mengetahui dengan sendirinya. Apakah harus dia beritahu laki-laki yang menjadi rivalnya dalam memenangkan hati masalalu laki-laki itu.

Sean sadar bahwa dia tidak akan jika sampai hal ini terbongkar. Perasaannya harus dikubur lebih dalam lagi.

"Kenapa malah lo yang diem?" Reyhan meninju pelan lengan Sean, menyadarkannya dari lamunan.

"Gue tahu siapa dia, cuman nggak tau deh belum yakin," ujar Sean mengedikkan bahunya acuh. Rasanya dipendampun tak ada gunanya lagi, dia tak akan menang. Sean juga mulai ragu dengan Reyhan.

Reyhan menatap tak percaya, "Ada yang lo curigain kenapa nggak bilang gue?!" tanyanya tak bisa bersabar.

Sean menatap lekat iris gelap didepannya, menerobos masuk mencari sorot apa yang laki-laki itu tunjukkan tapi yang dilihat hanya rasa penasaran Reyhan yang tinggi, pun dengan rasa rindu yang memupuk.

"Gue cuman pernah lihat foto yang ada di kamar lo, sama foto milik dia itu mirip," jelas Sean.

"Dia siapa?! Lo ngomong jangan setengah-setengah bisa?!"

Reyhan ini kenapa jadi ngengas. Jangan dia, gue mohon, batin cowok itu.

"Azharel."

Deg

Azharel (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang