Act IV

18 2 0
                                    

Keesokan harinya Amel merasa lelah setelah seharian belajar di sekolah. Ia masih bingung dengan banyak hal yang berubah dan hilang di sekitarnya, termasuk teman-temannya dulu yang kini sudah tumbuh dewasa. Ia juga tidak ingat apa-apa tentang masa lalunya sebelum kecelakaan itu.

Ia berjalan menuju gerbang sekolah dengan tasnya yang ringan. Ia tidak punya banyak buku atau alat tulis karena ia masih mengikuti program khusus untuk siswa yang mengalami trauma. Ia berharap bisa segera sampai di kediamannya dan beristirahat di kamarnya yang nyaman.

Tiba-tiba, ia melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depannya. Mobil itu tampak sangat mahal dan berkilau di bawah sinar matahari. Ia tidak mengenal siapa pun yang memiliki mobil seperti itu. Ia berpikir mungkin itu salah satu orang tua dari siswa lain yang datang menjemput anaknya.

Namun, ia terkejut ketika pintu mobil terbuka dan seorang pria tampan berumur 22 tahun keluar dari dalamnya. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan rambutnya disisir dengan sempurna. Ia memiliki wajah yang tampan dan tatapan yang tajam. Ia berjalan dengan percaya diri menuju Amel.

"Amel, apa kabar?" pria itu menyapa dengan suara yang lembut dan hangat.

Amel terdiam. Ia tidak mengenal pria itu sama sekali. Ia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Ia merasa bingung dan takut. Siapa pria itu? Apa yang ia inginkan darinya?

"Siapa Anda?" Amel bertanya dengan suara gemetar.

Pria itu tersenyum. Ia tampak tidak terkejut dengan reaksi Amel. Ia seolah sudah tahu bahwa Amel tidak mengingatnya.

"Maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Dylan. Saya teman lama Anda. Saya senang sekali Anda sudah bangun dari koma. Saya sangat khawatir dengan Anda," pria itu menjelaskan dengan sabar.

Amel semakin bingung. Teman lama? Bagaimana mungkin? Ia tidak ingat pernah berteman dengan pria seperti itu. Apalagi memiliki hubungan yang dekat dengannya. Ia merasa ada yang aneh dengan pria itu.

"Maaf, saya tidak ingat Anda. Saya tidak ingat apa-apa tentang masa lalu saya. Saya hilang ingatan karena kecelakaan 5 tahun lalu," Amel berkata dengan jujur.

Dylan mengangguk. Ia tampak sedih mendengar pengakuan Amel. Ia memahami betapa sulitnya bagi Amel untuk menghadapi situasi ini.

"Saya tahu, Amel. Saya tahu Anda hilang ingatan. Tapi, saya harap Anda percaya pada saya. Saya tidak bermaksud buruk. Saya hanya ingin membantu Anda. Saya ingin membawa Anda ke tempat yang dulu pernah kita datangi. Mungkin itu bisa membantu Anda mengingat sesuatu," Dylan menawarkan dengan lembut.

Amel ragu. Ia tidak yakin apakah ia bisa mempercayai Dylan. Ia tidak tahu apa motif sebenarnya dari pria itu. Tapi, ia juga merasa penasaran dengan apa yang dikatakan Dylan. Apa yang ada di tempat yang dulu pernah mereka datangi? Apa hubungan mereka sebenarnya?

"Tempat apa itu?" Amel bertanya dengan hati-hati.

Dylan tersenyum lagi. Ia tampak senang bahwa Amel mau mendengarkannya.

"Tempat itu adalah taman bunga yang indah. Tempat itu sangat berarti bagi kita berdua. Tempat itu adalah tempat di mana kita pertama kali bertemu. Tempat di mana kita jatuh cinta," Dylan menjawab dengan penuh perasaan.

Amel terkejut. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia dan Dylan jatuh cinta? Bagaimana mungkin? Ia tidak merasakan apa-apa terhadap Dylan. Ia bahkan tidak mengenalnya.

"Tidak, itu tidak mungkin. Anda pasti salah. Saya tidak pernah mencintai Anda. Saya tidak pernah bertemu dengan Anda. Anda pasti mengacaukan saya dengan orang lain," Amel menolak dengan keras.

Dylan menggeleng. Ia tampak yakin dengan apa yang dikatakannya.

"Tidak, Amel. Saya tidak salah. Saya tidak mengacaukan Anda dengan orang lain. Anda adalah cinta pertama dan satu-satunya saya. Saya tidak pernah berhenti mencintai Anda. Saya tidak pernah berhenti menunggu Anda. Saya tidak pernah berhenti berharap Anda akan kembali ke pelukan saya," Dylan bersikeras dengan penuh emosi dan harapan.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang