Act XIX - Lomba (Hans route)

2 1 0
                                    

Keesokan harinya, matahari terbit membawa harapan baru, tapi pikiran Hans masih dipenuhi dengan kekacauan kemarin. Meski lomba akan segera berlangsung, dia memutuskan untuk menyempatkan diri membeli minuman di kantin sekolah.

Di sana, dia bertemu dengan Rani, si ketua osis. Rani mendekati Hans dengan langkah ragu, matanya mencari-cari tanda-tanda empati. "Hans," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, "aku... aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu."

Hans menatapnya, matanya kosong. Dia menghargai kepedulian Rani, tapi dia tidak bisa membiarkan dirinya terbawa emosi. "Rani, aku menghargai itu, tapi aku tidak punya waktu untuk ini," jawabnya, suaranya dingin.

Rani tampak terluka, tapi dia tidak menyerah dan mencoba melangkahkan kakinya lebih dekat pada Hans. "Aku tahu kamu sedang menghadapi banyak masalah, Hans. Aku hanya ingin membantu..."

Hans merasa frustrasi. Dia tidak ingin melibatkan Rani dalam masalahnya. Dengan gerakan cepat, dia menyudutkan Rani di dinding sekitar hingga wajah mereka hampir bersentuhan. "Dengar, Rani," katanya dengan tegas, "aku tidak punya waktu untuk ini. Ada hal-hal yang lebih besar yang sedang aku hadapi."

Rani menatap Hans dengan mata berkaca-kaca. "Aku hanya ingin membantu, Hans. Dengan segala upaya aku membantumu, apakah kamu menghargai itu? Aku menyukaimu, Hans,"

Hans menghela napas. "Aku tahu, dan aku menghargai itu. Tapi sekarang bukan waktunya." Dia meninggalkan Rani di sana, dengan hati yang berat dan pikiran yang penuh dengan pertanyaan.

Saat Hans berjalan menjauh, dia tahu bahwa dia harus tetap fokus. Lomba akan segera dimulai, dan dia harus siap. Tapi di sudut hatinya, dia merasa bersalah telah menyakiti Rani, meski itu untuk melindungi dirinya sendiri dan teman-temannya.

Hans berjalan keluar dari sekolah, pikirannya masih terganggu oleh pertemuan dengan Rani. Dia hampir tidak menyadari langkah cepat Rani yang mencoba mengejarnya, memanggil namanya dengan suara yang penuh kekhawatiran.

Namun, sebelum Hans bisa bereaksi, sejumlah mobil hitam mewah tiba-tiba berhenti di depan mereka. Terlihat pria berjas hitam rapih turun dari mobil, diikuti oleh beberapa pengawal berpakaian serupa. Mereka langsung menghadang Rani, menariknya ke samping dan mengancamnya dengan senjata.

Hans, yang biasanya tenang dan terkendali, merasakan amarahnya meledak. Karena ternyata dihadapannya adalah seorang pria yang ia hadapi kemarin. Dia melompat ke arah pengawal, pukulannya cepat dan kuat, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Setiap kali dia menjatuhkan satu, yang lain menggantikannya. Hans berjuang dengan gigih, tapi akhirnya, kelelahan dan jumlah lawan yang banyak mengambil alih, dan dia terjatuh, terluka dan tidak berdaya.

Pria itu mendekati Hans yang terkapar, tersenyum sinis. "Kau tidak bisa melawan kami, Hans. Kau sudah kalah sekarang. Kau hanya seorang anak sekolah biasa," katanya dengan nada merendahkan.

Rani berteriak, berusaha melepaskan diri, tapi sia-sia. Pengawal menyeretnya ke dalam mobil, dan dengan cepat, mereka melaju pergi, meninggalkan Hans yang terluka dan penuh keputusasaan diatas trotoar.

Hans terbaring di sana, napasnya terengah-engah, matanya menatap langit yang mulai menggelap. Dia tahu dia telah gagal melindungi Rani, dan sekarang, dia harus menemukan cara untuk menyelamatkannya. Tapi bagaimana? Dan siapa pria berjas hitam itu? Kenapa dia kembali dan menangkap Rani? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikirannya saat dia berusaha bangkit, bertekad untuk tidak menyerah. Permainan belum berakhir, dan Hans tidak akan membiarkan Rani menjadi korban.

Hans mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk bangkit. Setiap gerakan terasa menyakitkan, tapi tekadnya untuk tidak menyerah lebih kuat dari rasa sakit itu. Dia berjalan kembali ke sekolah, berharap masih ada kesempatan untuk bertindak, tapi ketika dia sampai, dia mendapati lomba sudah berakhir. Semua orang telah pergi, dan sekolah terlihat sepi.

Dengan langkah yang berat, dia menuju tempat dia memarkir motornya, berharap bisa segera pulang dan merencanakan langkah selanjutnya. Namun, apa yang dia temukan hanya menambah beban di hatinya. Motornya, yang biasanya terparkir dengan gagah, kini tergeletak tak berdaya, dirusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Hans merasa dunia seakan berputar. Motornya bukan hanya alat transportasi biasa, tapi juga simbol kebebasan dan kekuatannya. Sekarang, dengan motornya hancur, dia merasa seolah kekuatannya telah direnggut darinya.

Dia berdiri di sana, menatap puing-puing motornya, sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan pulang. Langkahnya gontai, tidak hanya karena kelelahan fisik tapi juga karena beban emosional yang dia pikul. Hans tahu bahwa hari ini dia telah mengalami banyak kekalahan, tapi dia juga tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya.

Saat dia berjalan pulang, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan. Siapa pria berjas hitam itu? Mengapa Rani harus terlibat? Dan yang paling penting, bagaimana dia bisa menyelamatkan Rani dan mengembalikan keadaan?

Hans mungkin terjatuh hari ini, tapi dia bertekad untuk bangkit lagi. Ini adalah awal dari perjuangan yang lebih besar, dan Hans tidak akan menyerah sampai dia menemukan jawaban atas semua pertanyaan itu.

Hans berjalan pulang dengan pikiran yang kacau, tubuhnya lelah dan hatinya penuh kekhawatiran. Di tengah keputusasaannya, dia melihat sosok yang ia kenal di kejauhan. Itu Amel, kekasihnya, yang turun dari sebuah mobil hitam mewah. Hans merasa ada sesuatu yang tidak beres. Hans pernah melihat mobil itu, dan cara dia turun dari mobil itu ditemani oleh seorang pria berjas hitam, menambah rasa curiga Hans.

Dia memerhatikan mobil itu sesaat, mencoba mengingat setiap detail, sebelum mobil itu melaju pergi, meninggalkan debu di belakangnya. Dan dugaannya benar, Mobil mewah itu dan seorang pria yang turun dari mobil itu adalah Dylan. Hans mengumpulkan semua pikirannya menjadi satu dan mengungkapkan bahwa sekumpulan pria berjas hitam yang menyerangnya dan menculik Rani adalah anak buah yang diperintahkan oleh Dylan.

Setelah memastikan keadaan dan tanpa berkata apa-apa, Hans menghampiri dan memeluk Amel dari belakang, mencoba memberikan kenyamanan. Amel terkejut sejenak, tapi kemudian tubuhnya rileks dalam pelukan Hans.

Mereka berdiri di sana, dalam pelukan, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi badai yang akan datang. Hans tahu bahwa perjuangannya belum berakhir, dan sekarang, dengan Amel di sisinya, dia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang dilemparkan kepadanya.



~°❀•°✮°•❀°~

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang