.2

6 1 0
                                    

Keesokan harinya dengan langit yang terlihat cerah, kontras dengan kegelapan yang menyelimuti hati Amel. Sekolah telah berakhir, dan seperti biasa, keramaian siswa memenuhi halaman. Namun, Amel merasa terasingkan dari semua itu, pikirannya masih terbayang-bayang mimpi buruk yang menghantuinya semalaman.

Dylan sudah menunggu di gerbang sekolah dengan mobil hitamnya yang mengkilap. Ketika Amel keluar, dia memberikan senyum yang menenangkan. "Ayo, aku akan mengantarmu," katanya, sambil membuka pintu mobil untuk Amel.

Namun bukannya mengantar Amel pulang, Dylan malah mengajaknya menuju kantornya. Dan dalam perjalanan ke kantor itu berlangsung dalam diam dan tenang. Amel menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang pada mimpi buruk yang terus mengingatkannya pada kecelakaan itu. Kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, yang meninggalkannya dalam koma, dan yang sekarang meninggalkan bekas luka yang tidak terlihat.

Sampai di kantor Dylan, mereka berdua duduk di ruang kerjanya yang nyaman. Dylan menatap Amel dengan penuh perhatian. "Kelihatannya seperti ada yang mengganggu pikiranmu. Apakah itu mimpi buruk tentang kecelakaan itu lagi?" tanyanya dengan lembut.

Amel mengangguk, matanya hampir berkaca-kaca. "Aku tidak bisa melupakannya, Dylan. Setiap kali aku menutup mata, aku merasa seperti itu terjadi lagi."

Dylan meraih tangan Amel. "Itu hanya mimpi, Amel. Kamu aman sekarang, dan aku di sini untukmu. Kita akan melewati ini bersama-sama."

Dylan memandangi Amel dengan penuh kepedulian, bertekad untuk melakukan apa pun yang bisa membuatnya merasa lebih baik. "Amel, apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu merasa lebih nyaman?" tanyanya, suaranya penuh dengan niat baik.

Amel melihat sekeliling ruangan kerja Dylan yang modern dan nyaman, merasa sedikit terlepas dari beban pikirannya. "Mungkin... kita bisa mendengarkan musik? Musik selalu membuatku merasa lebih baik," jawabnya, mencoba tersenyum.

Dylan segera berdiri dan menghidupkan sistem suara di ruangannya, memilih playlist yang lembut dan menenangkan. Alunan musik mulai mengisi ruangan, melantunkan melodi yang menenangkan hati. Amel menutup matanya, mendengarkan musik, membiarkan setiap nada membawanya ke tempat yang lebih damai.

"Apakah kamu lapar? Aku bisa memesan sesuatu untuk kita," tawar Dylan, sambil memeriksa ponselnya untuk layanan pengiriman makanan.

Amel mengangguk, "Itu terdengar bagus. Terima kasih, Dylan."

Mereka berdua menghabiskan waktu di kantor Dylan, ditemani oleh musik dan makanan yang lezat, menciptakan momen kecil yang menyenangkan di tengah badai emosi yang dialami Amel. Dengan setiap jam yang berlalu, Amel mulai merasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih mampu untuk tersenyum, dan itu semua berkat kebaikan dan perhatian Dylan.

Momen itu berlanjut dengan hati yang berdebar, Dylan meraih selembar tisu dan dengan lembut membersihkan sisa makanan di sudut mulut Amel. Mereka berdua saling bertatapan, sebuah momen yang penuh dengan ketegangan dan kelembutan yang tidak terucapkan. Namun, sebelum momen itu berkembang lebih jauh, pintu ruangan terbuka dan seorang karyawan masuk dengan tumpukan dokumen di tangannya.

"Maaf mengganggu, pak Dylan, tapi anda perlu melihat ini," kata karyawan itu, tidak menyadari bahwa dia baru saja memutus sebuah momen yang intim.

Dylan menarik napas, menatap Amel dengan permintaan maaf yang tidak terucapkan sebelum berpaling ke karyawannya. "Tentu, mari kita lihat laporannya," jawabnya, sambil mengambil dokumen tersebut.

Amel, yang merasa sedikit canggung dengan gangguan itu, memberikan senyum yang memaklumi. "Aku akan menunggu di sini," katanya, sambil menyesuaikan posisinya di kursi.

Dylan dan karyawannya membahas laporan tersebut, sementara Amel membiarkan pikirannya melayang kembali ke mimpi buruk yang masih menghantuinya. Meskipun gangguan itu tidak diharapkan, dia merasa bersyukur atas kehadiran Dylan yang selalu ada untuknya, bahkan di saat-saat yang tidak terduga.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang