Act XXII

2 1 0
                                    

Hari itu, Dylan dan Nathalie dipenuhi dengan kegembiraan. Hasil ujian mereka telah diumumkan, dan kedua saudara itu mendapatkan nilai yang sangat baik. Mereka berdua berdiri di hadapan guru pembimbing yang tengah mengumumkan nama mereka.

"Dylan! Nathalie! Lihat, kalian berdua mendapat nilai A!" seru sang guru dengan bangga. Nathalie tersenyum lebar, merasa lega dan bahagia. Mereka berpelukan, merayakan pencapaian akademis mereka yang luar biasa.

Namun, di tengah kegembiraan itu, ada sedikit kekecewaan yang mengendap di hati mereka. Sang ayah, yang kini sibuk dengan tanggung jawabnya sebagai walikota, tidak ada di sana untuk merayakan bersama mereka ataupun sekedar mengucapkan selamat.

Di rumah, mereka menceritakan kabar baik itu kepada ibu mereka, yang menyambut mereka dengan pelukan hangat dan pujian. "Ayah pasti akan sangat bangga pada kalian berdua," kata ibu mereka, mencoba menghibur hati mereka.

Malam itu, saat Dylan dan Nathalie duduk di kamarnya, mereka mendengarkan suara pesan masuk dari ponsel mereka. Itu adalah pesan video dari sang ayah. Wajahnya tampak lelah tapi senyumnya tulus. "Anak-anakku tercinta, ayah mendengar kabar baik tentang hasil ujianmu. Ayah sangat bangga pada kalian berdua. Maafkan ayah tidak bisa ada di sana, tapi ingat, cinta dan dukungan ayah selalu bersamamu."

Dylan dan Nathalie menatap layar, air mata kebahagiaan mengalir di pipi mereka. Mereka menyadari bahwa meski sang ayah tidak bisa hadir secara fisik, dukungannya tidak pernah berkurang. Dan dengan hati yang penuh cinta, mereka berjanji untuk terus berprestasi, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk membuat sang ayah bangga. Namun tidak untuk Dylan, walaupun ia merasa senang tetapi dalam hatinya menaruh rasa kekecewaan atas ketidakhadiran sang ayah di hari itu.

Keesokan harinya di bawah langit senja yang memerah, Dylan berlari menuju taman sakura yang sedang mekar. Petal-petal sakura yang jatuh menari-nari di udara, seolah-olah mengikuti irama kesedihan yang mengalir dalam hati Dylan. Ia duduk di ayunan yang berayun perlahan, menatap ke kejauhan dengan mata yang berkaca-kaca.

Saat itu, seorang gadis seusianya mendekat. Ia memiliki senyum yang ceria dan mata yang bersinar penuh kelembutan. "Hai, kenapa kamu terlihat sedih?" tanya gadis itu dengan suara yang manis. "Namaku Amel."

Dylan mengangkat wajahnya, terkejut ada seseorang yang menghampirinya. "Hai, Amel. Aku... aku hanya sedikit kecewa karena ayahku tidak ada untuk merayakan prestasiku," jawab Dylan dengan suara yang bergetar.

Amel duduk di ayunan di samping Dylan. "Tapi aku yakin ayahmu juga bangga padamu, meski dia tidak bisa mengatakannya langsung," ucap Amel, mencoba menenangkan Dylan.

"Tapi, kamu belum memberitahukan namamu... siapa namamu?" ucap Amel penasaran.

"Namaku Dylan," jawab Dylan sembari mengusap air matanya.

Dan perlahan, Dylan merasa lebih baik. Percakapan mereka berlanjut, dan tawa mulai menggantikan air mata. Mereka berbincang tentang sekolah, mimpi, dan tentu saja, tentang bunga sakura yang indah.

Seiring waktu, Dylan dan Amel menjadi teman baik. Mereka sering bertemu di taman sakura itu, berbagi cerita dan tawa. Dylan belajar bahwa kebahagiaan bisa datang dari pertemanan yang tulus, dan bahwa ada banyak cara untuk merayakan prestasi—salah satunya adalah dengan teman baru yang dapat mengerti dan mendukungnya.

Pada suatu hari yang cerah, Nathalie merasa ada yang kurang saat ia tidak menemukan Dylan di rumah. Ia memutuskan untuk mencari keberadaan kakaknya itu. Langkahnya membawanya keluar dari rumah, menyusuri jalan-jalan yang familiar hingga akhirnya ia tiba di taman sakura yang sedang mekar.

Di kejauhan, Nathalie melihat sosok Dylan yang sedang berbicara dengan seorang gadis. Rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur menjadi satu. Nathalie menghampiri mereka dengan langkah yang ragu-ragu, namun hatinya merasa lega saat melihat senyum di wajah Dylan.

"Dylan, ternyata kamu di sini," ucap Nathalie dengan nada lega. "Aku mencarimu."

Dylan menoleh dan senyumnya semakin lebar. "Nathalie, aku ingin kamu bertemu dengan temanku, Amel," katanya, memperkenalkan gadis ceria yang berdiri di sampingnya.

Amel menyambut Nathalie dengan hangat. "Hai, Nathalie! Dylan sering bercerita tentangmu. Senang sekali bisa bertemu denganmu," ucap Amel dengan suara yang manis.

Mereka bertiga lalu menghabiskan waktu bersama di taman sakura, berbagi cerita dan tawa di bawah rindangnya pohon-pohon yang mekar. Nathalie merasa senang karena Dylan telah menemukan seorang teman yang baik seperti Amel, dan hari itu, mereka semua merasakan keindahan persahabatan yang baru terjalin.

Keesokan harinya Dylan, Nathalie, dan Amel sedang tertawa bersama di bawah pohon sakura yang mekar ketika sebuah mobil hitam mewah tiba-tiba muncul. Pengawal ayah turun dari mobil dan dengan cepat menghampiri, memberi tahu bahwa mereka harus pulang. Amel, yang ditinggalkan sendirian di taman, menatap kepergian mereka dengan rasa penasaran. Ia tidak pernah mengetahui bahwa teman-temannya adalah anak-anak dari keluarga yang sangat kaya.

Di dalam mobil, suasana menjadi hening. Sang ayah mulai berbicara, "Anak-anak, ayah sekarang punya waktu luang untuk kalian. Ayah ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama kalian." Dylan, yang masih merasa kecewa, tidak bisa menyembunyikan perasaannya. "Tapi Ayah, kenapa baru sekarang? Kenapa Ayah selalu sibuk dan melupakan kami?" tanyanya dengan nada yang penuh emosi.

Air mata mulai mengalir di pipi Dylan. Sang ayah, yang merasa bersalah, memeluk Dylan erat. "Maafkan ayah, Nak. Ayah tahu ayah telah banyak melewatkan momen bersama kalian. Tapi ayah berjanji, mulai sekarang ayah akan ada untuk kalian. Ayah cinta kalian."

Perjalanan pulang itu menjadi momen canggung bagi mereka. Dylan membisu tanpa berkata apapun disepanjang perjalanan. Nathalie mulai merasa khawatir dengan Dylan atas perilakunya tersebut.

Di rumah, suasana makan malam keluarga yang biasanya hangat dan ceria kini terasa berbeda. Dylan duduk di sana, termenung dalam kesunyian, pikirannya jauh melayang. Ibu mencoba memecah keheningan dengan percakapan ringan, sementara Nathalie sesekali menoleh dengan rasa khawatir kepada kakaknya.

Saat hidangan terakhir disajikan, Dylan masih belum mengucapkan sepatah kata pun. Dengan perlahan, ia mendorong kursinya ke belakang dan berdiri. "Maaf," bisiknya, hampir tidak terdengar. Tanpa menatap siapa pun, ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkan keluarga yang bingung dan cemas.

Di kamarnya, Dylan duduk di tepi jendela, menatap keluar memerhatikan langit malam yang bertabur bintang. Di sana, dalam kesendirian, ia membiarkan air mata yang telah ditahannya sepanjang hari mengalir bebas. Meski ia tahu ayahnya mencintai mereka dan berusaha untuk selalu ada bagi mereka, nyatanya rasa kehilangan waktu bersama masih terasa menyakitkan.

Nathalie, yang tidak tega melihat kakaknya seperti itu, menghampiri kamarnya. Dengan lembut, ia mengetuk pintu dan masuk. "Dylan," katanya, duduk di sampingnya, "kita semua merindukan waktu bersama Ayah. Tapi kita juga tahu dia sedang berusaha menjadi walikota yang baik untuk semua orang. Dan dia mencintai kita, selalu."

Dylan menoleh, matanya masih berkaca-kaca. "Aku tahu, Nathalie. Aku hanya... merindukan kita yang dulu," jawabnya dengan suara yang serak.

Nathalie memeluk Dylan. "Aku juga, Dylan. Aku juga," bisiknya.

Malam itu, mereka berdua duduk bersama, berbagi kesedihan dan rasa rindu. Namun, di tengah kesunyian itu, mereka juga menemukan kekuatan dalam ikatan keluarga mereka yang tak tergoyahkan.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang