Kami

6 2 0
                                    

Di luar ruangan rumah sakit, suasana tegang terasa menggantung di udara. Hans, dengan raut wajah yang keras, menatap Dylan dengan mata yang menyala-nyala, penuh tuduhan. "Ini semua salahmu!" teriaknya, suaranya bergema di koridor yang sepi.

Dylan, dengan sikap tenang yang hampir terlihat seperti ketenangan sebelum badai, hanya menatap Hans dan berkata, "Ini adalah kejujuran yang harus dihadapi, Hans. Kita tidak bisa lari dari kenyataan."

Hans mengangkat tangannya, siap mendaratkan pukulan yang telah lama dipendam, namun Nathalie dengan cepat melompat ke antara mereka. "Cukup!" serunya. "Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah ini."

Tiba-tiba, suara lemah terdengar dari balik pintu ruangan Amel. "Hans... Dylan... Nathalie..." Amel mulai tersadar, matanya bergerak lemah, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan dan wajah-wajah yang menatapnya penuh kekhawatiran.

Hans dan Dylan segera melupakan perselisihan mereka dan bergegas ke sisi Amel, sementara Nathalie mengikuti dengan langkah yang tergesa-gesa. Amel menatap mereka satu per satu, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara serak, mencoba mengingat-ingat peristiwa yang telah membawanya ke sini.

Nathalie menggenggam tangan Amel dengan lembut. "Kamu baik-baik saja, Amel. Kamu di rumah sakit," katanya, mencoba memberikan kenyamanan.

Hans, dengan mata yang masih menunjukkan bekas amarah, berusaha menenangkan diri dan berkata, "Kami di sini untukmu, Amel. Kami akan melewati ini bersama-sama."

Dylan, yang masih mempertahankan sikap tenangnya, menambahkan, "Kita semua memiliki bagian dalam cerita kehidupanmu, dan sekarang saatnya kita menemukan jalan keluar bersama."

Amel, masih dengan pandangan yang kabur, mencoba memahami situasi dan perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan untuk memulihkan ingatannya dan mengungkap kebenaran akan menjadi perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan dukungan dari orang-orang yang peduli padanya, dia merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Dylan meraih ponselnya dengan cepat, jantungnya berdebar kencang saat melihat foto yang baru saja masuk. Raka, dengan tatapan tegas, berdiri di belakang Rani yang terikat di sebuah kursi. Cahaya suram dari ruangan itu hampir tidak cukup untuk menerangi wajah mereka, namun cukup untuk menunjukkan keseriusan situasi tersebut.

Hans, yang sudah dipenuhi amarah, tidak bisa menahan diri lagi. "Ini pasti ulahmu, Dylan! Kamu dan permainan kotor mu!" teriaknya, sambil menunjuk ke arah Dylan dengan marah.

Dengan tenang, Dylan menatap Hans dan berkata, "Aku tidak pernah memerintahkan Raka atau siapapun untuk melakukan ini. Ini bukan cara kerjaku."

Amel, yang berusaha menjadi penengah, menarik nafas dalam-dalam. "Hans, Dylan, berhentilah bertengkar. Kita harus fokus pada Rani. Dia yang paling penting sekarang," ucapnya dengan suara yang tegas namun lembut.

Mereka berhenti sejenak, menyadari bahwa waktu mereka terbatas. Dengan cepat, mereka menyusun rencana untuk menyelamatkan Rani. Dylan memberikan petunjuk lokasi yang dia terima dari pesan itu, dan mereka segera bergerak menuju bangunan terbengkalai yang ditunjukkan oleh koordinat GPS.

Sesampainya di lokasi, suasana hening dan angin malam yang sejuk menambah ketegangan. Bangunan itu tampak menyeramkan dengan dinding-dinding yang terkelupas dan pintu-pintu yang berderit setiap kali terbuka.

Dylan memimpin dengan langkah yang hati-hati, sementara Hans mengikuti di belakang dengan Amel yang masih berusaha mengatasi pusingnya ditemani dengan Nathalie. Mereka bergerak melalui koridor yang sempit dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya ponsel mereka.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang