Act XXV

8 2 0
                                    

Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar Dylan, menandakan awal dari hari yang spesial. Ibu Dylan sudah berdiri di samping pintu kamarnya dengan kue ulang tahun yang dinyalakan, senyumnya merekah penuh kasih setelah Dylan keluar dari kamarnya. "Selamat ulang tahun, Nak!" ucapnya dengan suara yang penuh kegembiraan.

Dylan terkejut, matanya berbinar melihat kejutan yang manis ini. Sebelum dia sempat berkata apa-apa, Nathalie dan Amel muncul dari samping, menambah kejutan pagi itu. "Happy birthday, Dylan!" seru mereka berdua.

Hari itu terasa sempurna, penuh dengan tawa dan kehangatan-sampai sang ayah pulang. Langkahnya berat, wajahnya lelah, dan kedatangannya terlambat. Dylan merasakan kekecewaan yang mendalam; ayahnya, meski hadir, tampak seolah-olah jauh.

Ketegangan memenuhi ruangan saat Dylan dan ayahnya saling bertukar pandangan. Kata-kata yang tajam terucap, menunjukkan rasa kecewa Dylan yang telah lama terpendam. "Kenapa kamu selalu terlambat, Ayah? Kenapa kamu tidak pernah ada saat aku butuhkan?" tanya Dylan, suaranya bergetar.

Ayahnya mencoba menjelaskan, tapi kata-katanya terdengar hampa bagi Dylan. Tanpa menunggu lebih lama, Dylan meraih tangan Amel dan berlari keluar rumah, menuju tempat yang selalu menjadi pelarian mereka-taman sakura.

Di sana, di bawah rindangnya pohon sakura, Dylan dan Amel duduk bersama. Dylan membiarkan emosinya mengalir, berbagi kekecewaannya dengan Amel, yang mendengarkan dengan penuh pengertian. "Aku hanya ingin dia ada di sini, Amel. Aku hanya ingin merayakan hari ini bersama keluargaku," ucap Dylan dengan nada yang lirih.

Amel meraih tangan Dylan, memberikan dukungan tanpa kata. "Aku di sini untukmu, Dylan. Kita semua di sini untukmu," katanya.

Dan di tengah kekecewaan, Dylan menemukan kenyamanan dalam persahabatan dan cinta yang diberikan oleh mereka yang hadir. Hari itu, meski tidak sempurna, tetap menjadi kenangan yang akan ia ingat-sebuah pengingat bahwa kebahagiaan terkadang datang dari tempat yang tidak terduga.

Hujan turun dengan tiba-tiba, memaksa Dylan dan Amel untuk berlari mencari tempat berteduh. Mereka menemukan gazebo di taman, tempat yang sempurna untuk melindungi diri dari guyuran hujan. Dylan, dengan cepat melepaskan jasnya dan mengenakannya pada Amel, ingin memastikan dia tidak kedinginan. Mereka saling bertatapan, dan dalam kehangatan gazebo yang sepi, mereka berbagi ciuman pertama mereka, sebuah momen yang akan mereka ingat selamanya.

Sementara itu, Nathalie, yang khawatir akan perseteruan kakaknya dengan sang ayah, mengambil payung dan berjalan keluar rumah untuk mencari Dylan dan Amel. Ketika ia sampai di taman, dari kejauhan, ia melihat siluet mereka berdua di gazebo. Nathalie merasa lega melihat kakaknya bahagia dengan Amel, namun di hati kecilnya, ia khawatir tentang apa yang terjadi di rumah.

Nathalie memutuskan untuk tidak mengganggu momen pribadi mereka dan berharap bahwa kebahagiaan Dylan bersama Amel dapat membawa kedamaian ke dalam hatinya, terutama setelah perseteruan dengan sang ayah. Dengan hati yang berat namun penuh harapan, Nathalie berbalik dan perlahan berjalan kembali ke rumah, bertekad untuk menjadi jembatan antara ayah dan Dylan.

Sesampainya di rumah Nathalie menutup pintu kamarnya dengan perlahan, ketika suara pertengkaran orangtuanya terdengar bergema di telinganya. Di dalam kesendirian, ia membiarkan air mata jatuh bebas, hatinya terasa berat memikirkan konflik yang tak kunjung usai dalam keluarganya. Ia berharap suatu hari nanti, kedamaian akan kembali menyelimuti rumah yang dulu dipenuhi tawa dan kehangatan.

Di sisi lain kota, Dylan dan Amel menikmati kehangatan kafe yang mereka singgahi setelah hujan reda. Mereka berbincang, tertawa, dan berbagi cerita, menciptakan kenangan baru yang akan mereka simpan dalam hati. Namun, saat langit mulai gelap, saatnya untuk berpisah tiba.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang