Akhir

11 2 0
                                    

Kini satu minggu telah berlalu, dan malam itu, aula sekolah berubah menjadi lautan cahaya dan warna untuk malam perpisahan. Hans sedang merapikan sepatunya ketika tiba-tiba dia merasakan kehadiran seseorang.

Dia menoleh dan matanya melebar saat melihat Rani dengan gaun selutut yang elegan, kecantikannya memancar di antara keramaian. "Rani," katanya dengan kagum, "kamu terlihat... luar biasa."

Rani tersenyum, matanya berbinar. "Aku mencarimu," katanya. "Dan sepertinya aku menemukanmu di waktu yang tepat."

Mereka berdua tertawa, suasana hati mereka ringan dan penuh sukacita. Namun, tawa mereka terhenti ketika Amel muncul, gaunnya mengalir indah mengikuti setiap langkahnya, keindahan yang memukau seluruh siswa yang hadir.

Hans terpesona oleh penampilan Amel, dan dia tahu dia tidak sendirian—semua mata tertuju padanya. Malam perpisahan itu, yang seharusnya menjadi malam penuh tarian dan musik, sejenak menjadi panggung bagi Amel untuk bersinar.

Meskipun banyak yang mengajaknya berdansa, Amel menolak dengan sopan, senyumnya tidak pernah luntur. Dia berjalan dengan anggun menuju Rani dan Hans, yang sudah menunggunya.

Rani tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Amel, kamu... wow, kamu terlihat seperti bintang malam ini," katanya dengan tulus.

Hans hanya bisa mengangguk, kata-kata terperangkap di tenggorokannya oleh kekaguman yang sama.

"Apakah Dylan akan datang?" tanya Rani, penasaran.

Amel mengangguk. "Dia bilang dia akan datang sebentar lagi," jawabnya dengan senyum yang mengandung sedikit misteri.

Dan seolah-olah waktu berhenti sejenak, pintu aula terbuka dan Dylan masuk. Aura kewibawaannya langsung terasa, dan semua mata di ruangan itu tertuju padanya. Siswa-siswa lain berbisik satu sama lain, penuh kekaguman pada sosok Dylan yang tampak seperti dia baru saja melangkah keluar dari sebuah cerita.

Dylan berjalan melewati kerumunan dengan auranya yang tak terbantahkan, seperti pangeran dari negeri dongeng yang telah memasuki kenyataan. Dia menemukan Amel, yang sudah menunggu dengan sabar bersama Hans dan Rani.

Tanpa ragu, Amel mengaitkan lengannya di lengan Dylan, sebuah isyarat yang menunjukkan kedekatan mereka. "Bagaimana kabarmu?" tanya Dylan kepada mereka semua, suaranya hangat dan menyenangkan.

Setelah beberapa saat berbincang dan tertawa bersama, Dylan menoleh pada Amel dengan tatapan yang penuh arti. "Maukah kamu berdansa denganku?" tanyanya.

Amel hanya bisa mengangguk, senyumnya lebar dan mata berbinar. Rani, yang telah menyaksikan pertukaran itu, memberikan senyuman canggung namun tulus. "Pergilah," katanya kepada Amel. "Ini malammu."

Dengan itu, Dylan dan Amel melangkah ke lantai dansa, dikelilingi oleh pandangan penuh kekaguman dari siswa lainnya. Musik mulai mengalun lembut, dan mereka berdua mulai berdansa dengan langkah yang seirama.

Hans berjalan menjauh dari keramaian, langkahnya terukur menuju meja jamuan. Dia mengambil segelas minuman, mencoba menemukan kedamaian dalam kesendirian sementara.

Rani, yang menyadari ketidakhadiran Hans, segera mengikuti dan menemukannya berdiri sendiri. "Kamu pasti cemburu melihat Amel dengan Dylan," godanya dengan senyum nakal.

Hans menoleh ke arahnya, matanya tidak mengungkapkan apa-apa. Dia hanya meneguk minumannya, membiarkan diamnya menjawab pertanyaan yang tidak diucapkan. Rani bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam kesunyian Hans, sebuah perasaan yang mungkin terlalu rumit untuk diungkapkan di malam seperti ini.

Hans menatap ke arah lantai dansa, di mana Amel dan Dylan tengah berdansa. "Amel sudah bahagia sekarang bersama Dylan," katanya dengan nada yang tenang. "Dan itu membuatku senang."

Rani mengangguk, matanya mengikuti gerakan pasangan itu. "Mereka seperti cinta lama yang bersemi kembali," ujarnya. "Dan lihatlah mereka, mereka terlihat lebih dewasa dibandingkan siswa lainnya malam ini."

Hans hanya mengangguk, senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Aku sudah tahu itu sejak lama," katanya.

Rani menoleh kepadanya dengan keterkejutan. "Kamu selalu selangkah lebih maju, ya?" katanya, setengah bertanya dan setengah mengagumi. Hans hanya tersenyum, meneguk minumannya sekali lagi, dan membiarkan musik dansa mengisi keheningan antara mereka.

Rani memandang ke lantai dansa dengan mata berbinar. "Aku berharap aku bisa berdansa dengan pangeran tampan seperti Dylan," katanya dengan nada berandai.

Hans menanggapi dengan nada gurauan, "Yah, teruslah berharap, karena itu tidak akan pernah terjadi."

Rani mengerucutkan bibirnya dalam cemberut, "Oh, benarkah? Kalau begitu, kamu harus berdansa denganku," tantangnya.

Hans menggeleng, "Aku bukan pangeranmu," katanya sambil beranjak pergi.

Namun Rani tidak menyerah, dia menarik lengan Hans dan memaksanya ke lantai dansa. Hans akhirnya menyerah dan mulai bergerak mengikuti irama musik bersama Rani.

Sementara itu, Dylan dan Amel terus berdansa dengan manis, lengkungan tangan mereka sempurna dan langkah kaki mereka seirama. Mereka tampak begitu alami bersama, seolah-olah mereka diciptakan untuk momen ini.

Momen dansa yang manis itu tiba-tiba berubah menjadi sorakan penuh kegembiraan. Musik berhenti, dan semua mata tertuju pada Dylan yang berlutut di depan Amel, mengeluarkan sebuah kotak cincin dari sakunya.

Dengan suara yang penuh emosi, Dylan berkata, "Amel, apakah kamu mau menjadi pasanganku selamanya?"

Perasaan terkejut penuh haru membanjiri Amel, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Dia mengangguk dengan cepat, "Ya, aku mau," jawabnya.

Rani bersorak paling kencang di antara kerumunan, sementara Hans bertepuk tangan dengan senyum lebar. Malam itu, malam perpisahan yang seharusnya hanya menjadi kenangan indah masa muda, berubah menjadi momen yang akan dikenang selamanya oleh semua yang hadir—malam di mana dua hati bersatu dalam janji cinta.


╭┉┉┅┄┄•◦ೋ•◦❥•◦ೋ
           Kehidupan yang dulu hilang dan terlupakan kini menemukan jalannya kembali pada kehidupan baru yang penuh dengan kebahagiaan, kehidupan yang takkan pernah tergantikan hingga maut memisahkan. ʚ♡⃛ɞ                

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang