Act XXIII

5 1 0
                                    

Dua tahun telah berlalu, dan pohon-pohon sakura di taman kota kembali mekar, menandai perubahan musim dan waktu. Dylan dan Nathalie kini telah tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan penuh semangat. Namun, kehidupan mereka juga mengalami perubahan yang signifikan—ayah mereka, yang dulunya walikota, kini telah naik jabatan menjadi gubernur.

Dengan jabatan baru itu, sang ayah menjadi lebih sibuk dari sebelumnya. Tanggung jawabnya terhadap warga negara dan komitmennya untuk memajukan wilayahnya membuatnya harus bekerja lebih keras dan lebih lama. Rumah yang dulunya penuh dengan tawa dan kebersamaan kini sering terasa sepi dan hening.

Dylan, yang selalu merindukan kehangatan dan bimbingan ayahnya, sering kali merasa kecewa dan marah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya harus begitu sibuk, mengapa pekerjaan selalu menjadi prioritas utama. Pertengkaran antara Dylan dan ayahnya menjadi hal yang semakin sering terjadi.

"Kenapa kamu selalu sibuk, Ayah? Kenapa pekerjaanmu lebih penting daripada keluargamu sendiri?" teriak Dylan suatu malam, ketika sang ayah pulang larut dan melewatkan makan malam bersama keluarga lagi.

Sang ayah, dengan wajah yang lelah, mencoba menjelaskan. "Dylan, pekerjaan ayah ini penting. Ayah ingin membuat perubahan yang baik untuk banyak orang. Tapi itu tidak berarti ayah tidak mencintai kalian."

Namun, bagi Dylan, kata-kata itu terasa hampa. Ia merasa ditinggalkan, seolah-olah ia dan Nathalie tidak cukup penting bagi ayah mereka. Air mata kekecewaan sering kali menjadi teman Dylan di malam hari, saat ia berbaring di tempat tidurnya, merindukan masa-masa ketika ayahnya masih ada untuk mereka.

Nathalie, yang selalu berusaha menjadi perekat dalam keluarga, mencoba untuk mengerti kedua belah pihak. Ia tahu bahwa ayahnya bekerja keras untuk alasan yang baik, tetapi ia juga merasakan kesedihan yang sama dengan Dylan. Ia berusaha untuk menjadi pendengar yang baik bagi kakaknya, sambil tetap memberikan dukungan kepada ayah mereka.

Keluarga itu, meski diuji oleh waktu dan tanggung jawab, terus berusaha untuk menemukan keseimbangan antara cinta dan tugas. Mereka belajar bahwa kehidupan tidak selalu mudah, dan kadang-kadang, cinta harus diperjuangkan dengan lebih keras lagi.

Suatu hari Dylan tengah berjalan menuju taman sakura, tempat yang selalu membawa kenangan masa kecil. Di sana, di ayunan yang sama tempat mereka dulu sering bermain, seorang gadis duduk sendirian tengah membaca buku, rambutnya bergerak lembut tertiup angin. Ketika gadis itu menoleh, wajahnya yang manis dan cantik terpapar oleh sinar matahari yang menembus dedaunan. Itu adalah Amel, temannya yang dulu, yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang manis dan mempesona.

Mata mereka bertemu, dan sejenak, waktu seolah berhenti. "Amel?" kata Dylan dengan suara yang hampir tidak terdengar, takut bahwa ia salah mengenali.

Amel tersenyum, matanya menyala mengenali sosok di depannya. "Dylan? Wah, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Dan kamu... semakin tampan," serunya dengan suara yang ceria.

Dylan merasa pipinya memanas, terpesona oleh kecantikan Amel yang semakin terlihat. Ia merasa malu-malu, namun senang bisa bertemu lagi dengan teman lamanya. "Kamu juga, Amel. Kamu... kamu sangat cantik," kata Dylan, kata-katanya tersendat-sendat karena rasa malu.

Mereka berdua tertawa, memecah kecanggungan awal pertemuan itu. Percakapan mengalir dengan mudah, seolah tidak ada waktu yang terlewatkan antara mereka. Di bawah pohon sakura yang mekar, persahabatan lama mereka kembali bersemi, dan Dylan merasakan kehangatan yang telah lama ia rindukan.

Di keesokan hari yang cerah itu, Dylan dan Nathalie berjalan bersama menuju toko buku favorit mereka. Di persimpangan jalan, mereka bertemu dengan Amel yang kebetulan juga ingin membeli buku. Mereka pun berjalan bersama, bercerita dan tertawa, menuju toko buku tersebut.

Di dalam toko, Amel melihat sebuah buku yang terletak tinggi di atas rak. Ia mencoba meraihnya, tapi buku itu terlalu tinggi baginya. Dylan, yang melihat kesulitan Amel, segera menawarkan bantuan. "Biarkan aku membantumu," katanya sambil berdiri di ujung jari kakinya dan meraih buku tersebut.

Tepat saat Dylan hampir mendapatkan buku itu, seseorang yang terburu-buru menabraknya dari belakang. Dylan terdorong ke depan, dan tubuhnya hampir bersentuhan dengan Amel. Mereka berdua terkejut dan saling bertatapan dengan dekat, mata mereka terkunci dalam momen yang tak terduga.

Nathalie, yang menyaksikan kejadian itu, tidak bisa menahan tawanya. "Wah, kalian berdua akan cocok menjadi pasangan," godanya dengan canda.

Dylan, yang merasa malu dengan situasi yang tidak terduga itu, dengan cepat menjauh dari Amel. Wajahnya memerah, dan ia tersendat-sendat mencari kata-kata. "Maaf, Amel. Aku tidak... maksudku..." katanya, berusaha mengatur kata-katanya.

Amel hanya tersenyum dan menepuk pundak Dylan dengan lembut. "Tidak apa-apa, Dylan. Terima kasih sudah membantuku," ucapnya, menenangkan Dylan yang masih terlihat malu.

Momen itu, meski singkat, meninggalkan kesan yang mendalam bagi Dylan. Ia menyadari bahwa perasaannya kepada Amel mungkin lebih dari sekadar persahabatan. Dan mungkin, hanya mungkin, Nathalie mungkin benar tentang mereka berdua.

✧⌔✧⌔✧⌔✧⌔✧⌔✧
 

Setelah kejadian di toko buku, suasana di antara Dylan dan Amel menjadi canggung. Nathalie, yang memperhatikan hal ini, tersenyum dalam hati. Ia memiliki ide yang sempurna untuk memberikan kesempatan kepada mereka berdua agar bisa lebih dekat.

"Kalian tahu, aku ingat ada sesuatu yang harus aku lakukan," kata Nathalie tiba-tiba, sambil melirik jam tangannya yang sebenarnya tidak menunjukkan apapun yang mendesak. "Dylan, Amel, kenapa kalian tidak lanjutkan jalan-jalan? Aku akan menyusul nanti."

Dylan menatap Nathalie dengan pandangan yang bertanya-tanya, tapi sebelum dia bisa protes, Nathalie sudah berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua.

Dylan dan Amel saling pandang, lalu tertawa kecil. "Nathalie selalu punya cara untuk membuat kejutan," kata Dylan, mencoba meredakan ketegangan.

Amel mengangguk, senyumnya merekah. "Iya, dia memang begitu. Jadi, apa kabarmu, Dylan? Sudah lama kita tidak berbicara banyak," ucap Amel, memulai percakapan.

Mereka berdua kemudian melanjutkan jalan-jalan mereka, berbicara tentang banyak hal, dari buku-buku yang mereka beli hingga mimpi dan harapan mereka untuk masa depan. Dylan merasa lega dan bersyukur atas keberanian Nathalie yang memberikan mereka kesempatan ini. Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang indah.

Di bawah pohon sakura yang mekar, Dylan dan Amel berjalan berdampingan, percakapan mereka mengalir seperti sungai yang tenang. Taman itu, dengan bunga-bunga sakura yang jatuh perlahan, menjadi saksi bisu dari momen yang akan mengubah segalanya.

Dylan menghentikan langkahnya, menarik napas dalam-dalam. "Amel," katanya dengan suara yang serius, "aku ingin mengatakan sesuatu. Aku... aku menyukaimu. Lebih dari sekedar teman."

Amel menatapnya, kejutan dan kehangatan bercampur dalam pandangannya. Mereka berdua terdiam sejenak, dunia seakan berhenti berputar. Kemudian, dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan, Amel menjawab, "Dylan, aku juga memiliki perasaan yang sama. Aku telah menyukaimu sejak kita masih kecil."

Dylan terkejut, kata-katanya tersendat. "Benarkah? Kamu... kamu serius?" tanyanya, tidak percaya bahwa kenyataan bisa seindah ini.

Amel mengangguk, senyumnya merekah. "Ya, Dylan. Aku serius."

Di tengah taman sakura, di antara petal-petal yang berdansa tertiup oleh angin, dua hati remaja bertemu. Mereka berbagi senyuman, berbagi harapan, dan mungkin, berbagi masa depan. Dan saat matahari terbenam, langit berwarna jingga menjadi saksi dari awal cerita baru mereka.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang