Act XVIII

4 1 0
                                    

Satu minggu kemudian, Hans berada di bengkel sekolah, memperbaiki motor miliknya. Bau oli dan suara mesin mengisi udara. Namun, pikirannya terus terbuai oleh Dylan, pria berjas hitam yang misterius. Apa yang sedang terjadi? Apa yang Mr. L rencanakan?

Tiba-tiba, Rani muncul. Dia menanyai kabarnya dengan wajah cemas. Namun, Hans tetap bersikap acuh dan dingin. "Aku baik-baik saja," ucapnya singkat.

Rani menggigit bibirnya, mencoba menembus tembok emosi Hans. "Hans, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa kau begitu terfokus pada Dylan?"

Hans menatap Rani, matanya tajam. "Ini bukan urusanmu," katanya. "Aku harus mencari tahu sendiri."

Rani terdiam, tetapi tekadnya tidak goyah. Dia tahu ada lebih banyak yang tersembunyi di balik semua ini. Dan ketika Hans melangkah pergi, dia bertekad untuk mengungkap kebenaran.

Dalam langkahnya, Hans melihat Amel tengah sendirian di koridor sekolah. Hatinya berdebar, dan dia memutuskan untuk mendekatinya. "Amel," sapanya dengan senyum lebar, "kau tahu, aku seperti bunga matahari yang selalu mengikuti matahari. Dan kau, Amel, adalah matahariku."

Amel menatapnya, wajahnya tidak menunjukkan rasa tertarik. "Hans, aku tidak tertarik pada gombalanmu."

Hans tidak patah semangat. "Tapi tunggu, ada lagi! 'Amel, jika cinta itu seperti motor yang rusak, aku ingin menjadi montir yang memperbaikinya. Karena kau telah merusak mesin hatiku.'"

Amel menggeleng. "Hans, gombalanmu terlalu klise."

Hans mengangkat alisnya. "Baiklah, bagaimana dengan ini? 'Amel, kau seperti bintang di langit malam. Setiap kali aku melihatmu, hatiku berdetak lebih cepat daripada mesin bengkel.'"

Amel menggigit bibirnya, mencoba menahan kesal. "Hans, kau benar-benar..."

Hans tersenyum. "Aku tahu, gombalanku aneh. Tapi aku akan terus berjuang, Amel. Karena aku ingin kau tahu, aku tertarik padamu."

Amel mengangkat alisnya. "Tertarik, ya? Sayangnya aku tidak tertarik padamu". Ucap Amel seraya pergi meninggalkan Hans.

Hans yang mendapatkan tanggapan dingin dari Amel, kini melanjutkan langkahnya menuju kelas. Mengakhiri hari itu seperti biasanya dengan senyuman di wajahnya.

Sesaat Hans mengendarai motornya pulang dari sekolah, angin sore menyapu wajahnya. Dia merasa bebas setelah seharian belajar di kelas. Namun, tiba-tiba, sebuah mobil hitam mewah muncul dari belakang, melaju dengan kecepatan tinggi. Hans terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan dari motornya.

Motor Hans berputar, dan dia dengan susah payah mengendalikannya. Mobil hitam itu melesat di sampingnya, hampir menabraknya. Hans melihat ke dalam jendela mobil dan terkejut melihat wajah seorang pria yang mengenakan kacamata hitam. Pria itu tersenyum sinis, lalu menginjak gas dan menghilang di kejauhan.

Hans menghentikan motornya sejenak, nafasnya terengah-engah. Dia tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Mengapa mobil mewah itu mengejarnya? Apa yang pria itu inginkan darinya?

Dengan hati-hati, Hans melanjutkan perjalanan. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada rahasia yang lebih dalam di balik insiden ini? Hans bertekad untuk mencari tahu dan mengejar mobil tersebut.

Deru motor Hans meraung melintasi jalan-jalan kota, mengikuti mobil hitam yang mewah. Hans merasa adrenalin memuncak.

Mobil hitam itu berbelok tajam, meluncur masuk ke lorong sempit. Hans mengikutinya, motornya meliuk-liuk di antara kendaraan lain. Bau aspal dan suara klakson mengisi udara. Hans merasa seperti sedang dalam film aksi.

Mobil hitam terus mempercepat lajunya. Hans mengejar, matanya fokus pada pria di balik kemudi. Siapa dia? Apa yang dia inginkan darinya?

Tiba-tiba, mobil hitam berhenti mendadak. Hans hampir menabraknya, tapi dia berhasil menghindar. Dari dalam keluarlah pria itu menatapnya, wajahnya dingin. "Kau pasti Hans," katanya, "kau mencari jawaban, bukan?"

Hans mengangguk. "Siapa kau?"

Pria itu tersenyum sinis. "Kita berada dalam permainan yang lebih besar, Hans. Dan kau sudah masuk kedalam permainan."

Hans menggigit bibirnya. "Apa maksudmu?"

Pria itu menunjuk ke arah sebuah toko yang familiar bagi Hans. Itu adalah kafe milik temannya yang sudah ditutup. "Di sana. Kau tahu tempat itu, bukan? Tempat itu akan menjadi milik kami dan kau tidak bisa berbuat apapun."

Hans merasa darahnya mendidih. Dia mengepalkan tangannya, menggenggam kemarahannya. Pria berjas itu masih menatapnya dengan senyum sinis, seolah merasa di atas angin.

Tanpa ragu, Hans melangkah mendekati pria itu. "Kau pikir kau bisa mengambil kafe temanku begitu saja?" desisnya, suaranya penuh dengan amarah.

Pria itu tidak bergeming. "Semua ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar, Hans. Kau hanya sebutir pasir di pantai."

Hans mengabaikan kata-kata pria itu. Dia tahu dia harus bertindak. Dengan cepat, dia melompat ke arah pria itu. Terkejut, tapi sebelum dia bisa bereaksi, Hans sudah menarik kerah kemeja miliknya.

"Kau ingin bermain, kan?" Hans berkata sambil menatap mata dingin pria itu. "Ayo kita bermain."

Tanpa menunggu, Hans memberikan pelajaran yang tak terlupakan. Pukulan demi pukulan menghantam tubuh pria berjas itu. Hans tidak peduli siapa dia sebenarnya. Yang penting, kafe temannya harus aman.

Orang-orang di sekitar mulai berkumpul, menonton pertarungan ini. Hans merasa seperti pahlawan dalam film aksi. Dia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil apa yang menjadi miliknya.

Akhirnya, pria berjas itu terkapar di tanah. Wajahnya penuh luka. Hans menatapnya dengan tegas. "Jangan pernah kembali," katanya.

Pria itu tersenyum pahit. "Kau belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik layar, Hans."

Hans mengabaikannya. Dia tahu dia telah memberikan pelajaran yang pantas. Kafe temannya akan tetap aman, dan dia siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Namun Hans merasa adrenalinnya kembali memuncak ketika beberapa mobil hitam mewah tiba dan menghentikan aksinya. Dari salah satu mobil, pintu terbuka perlahan, dan keluarlah seorang pria berjas hitam yang tampak rapih. Wajahnya tenang, tapi matanya menyiratkan kebijaksanaan dan kekuatan.

"Hentikan, Hans," kata pria itu dengan suara rendah. "Itu sudah cukup,"

Hans terdiam sembari mengepalkan tangannya ketika namanya disebut oleh seorang pria berjas rapih tersebut. "Kau tahu siapa aku, kan?"

Pria itu hanya tersenyum tenang. "Tentu saja aku tahu siapa kamu, karena kamu dikenal oleh seisi sekolah dimana kamu berada, Hans. Dan pastinya kamu tahu siapa aku, benar?. Aku Dylan. Aku bertanggung jawab atas semua permasalahan yang terjadi di kafe temanmu itu."

Hans menatap Dylan dengan pandangan tajam. Dia tahu bahwa pria ini bukan sembarang lawan. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya, suaranya penuh dengan ketegangan.

Dylan tersenyum. "Kita berada dalam permainan yang lebih besar, Hans. Kafe ini hanya bagian kecil dari skema yang lebih luas."

Hans menggigit bibirnya. "Apa maksudmu?"

Dylan mengangkat bahu. "Kamu tahu, Hans, dunia ini tidak selalu hitam dan putih. Ada kekuatan yang bergerak di balik layar, mengatur segalanya. Kafe itu hanyalah pion dalam permainan mereka."

Hans merasa marah. "Aku tidak peduli dengan permainan apa pun. Kafe itu milik temanku, dan aku akan melindunginya."

Dylan mengangguk. "Aku menghargai semangatmu, Hans. Tapi ingatlah, ada harga yang harus dibayar untuk melawan kekuatan yang lebih besar."

Tanpa menunggu, Dylan mengeluarkan kartu bisnisnya dan memberikannya pada Hans. "Jika kamu ingin tahu lebih banyak, hubungi nomor ini. Kita bisa bekerja sama."

Hans menatap kartu bisnis itu dengan perasaan campur aduk. Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar? Dan apakah dia siap untuk menghadapinya?

Dylan berbalik, masuk ke dalam mobil hitamnya. Sebelum pintu ditutup, dia menoleh sekali lagi pada Hans. "Ingat, Hans, pilihanmu akan menentukan nasib kafe itu."

Mobil hitam itu melaju dengan cepat, meninggalkan Hans dalam kebingungan dan pertanyaan yang belum terjawab. Dia tahu bahwa permainan ini baru saja dimulai, dan dia harus memilih dengan bijaksana. Kafe temannya dan masa depannya ada di tangan Hans sekarang.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang