.1

6 2 0
                                    

Keesokan harinya, sekolah ramai dengan kegiatan biasanya, namun Amel merasa seolah-olah dia berada dalam gelembung yang terpisah dari keramaian itu. Duduk di pojok kantin, dia memandangi kotak makanannya tanpa selera, pikirannya melayang kembali ke malam sebelumnya.

Rani, dengan langkah yang pasti dan senyum yang hangat, mendekati Amel. Sebagai ketua osis dan teman baik, dia bisa merasakan ada yang tidak beres. "Hei, kamu terlihat seperti sedang membawa beban dunia di pundakmu," kata Rani, sambil duduk di sebelah Amel.

Amel menatap Rani, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku dan Hans," dia berhenti, mencari kata-kata yang tepat.

Rani menggenggam tangan Amel. "Apa yang terjadi dengan Hans?"

Dengan napas yang berat, Amel menceritakan kejadian semalam, tentang bagaimana dia merasa perlu menjalani hidupnya sendiri, tentang bagaimana dia mengakhiri hubungan yang selama ini mereka bina bersama. Rani mendengarkan dengan penuh perhatian.

Rani terkejut mendengar kabar dari Amel. "Apa? Kalian berdua mengakhiri hubungan?" serunya, tidak percaya. "Tapi kalian terlihat begitu sempurna bersama."

Amel menundukkan kepala, merasa berat untuk mengakui kenyataan itu. "Kadang-kadang, apa yang terlihat sempurna di luar tidak selalu sama dengan apa yang kita rasakan di dalam," jawabnya dengan suara yang bergetar.

Rani duduk lebih dekat, raut wajahnya penuh kekhawatiran. "Aku tahu kalian berdua telah melalui banyak hal bersama. Apa yang membuatmu memutuskan ini?"

Amel menghela napas panjang, mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa seperti aku kehilangan diriku sendiri, Rani. Aku perlu menemukan siapa aku sebenarnya, tanpa bergantung pada orang lain."

Rani mengangguk, mencoba memahami. "Itu pasti keputusan yang sulit. Tapi aku mengagumi keberanianmu untuk mengikuti hatimu. Ingat, aku selalu ada di sini untukmu, tidak peduli apa pun."

Amel memberikan senyuman lemah. "Terima kasih, Rani. Itu berarti banyak bagiku."

Dengan dukungan Rani, Amel merasa sedikit lebih kuat. Dia tahu perjalanan untuk menemukan dirinya mungkin akan sulit, tapi dengan teman seperti Rani, dia tidak akan sendirian.

Di lorong sekolah yang ramai, Amel berjalan dengan kepala tertunduk, mencoba menghindari tatapan penasaran teman-temannya. Tiba-tiba, di antara kerumunan siswa, dia melihat sosok yang begitu familiar: Hans. Mereka berdua terhenti, mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh emosi.

Hans, dengan raut wajah yang mencoba tersenyum, tampak ingin mengatakan sesuatu, namun kata-kata itu seolah terperangkap di tenggorokannya. Amel, yang hatinya berdebar kencang, merasakan ribuan kata yang ingin dia ucapkan, namun tak satu pun yang mampu keluar.

Momen itu terasa seperti abadi, namun hanya berlangsung beberapa detik. Amel, dengan segala kekuatan yang dia miliki, memalingkan pandangannya dan mulai berjalan menjauh, langkahnya semakin cepat. Hans, yang masih berdiri di tempat yang sama, hanya bisa menatap punggung Amel yang menjauh, seolah-olah sebagian dari dirinya juga ikut pergi bersamanya.

Amel terus berjalan, meninggalkan lorong sekolah, meninggalkan Hans, dan meninggalkan kenangan yang pernah mereka bagi. Dia tahu ini adalah langkah pertama menuju kebebasan yang dia cari, langkah pertama untuk menemukan dirinya sendiri.

Tidak lama kemudian kelas telah dimulai, dan Amel tenggelam dalam konsentrasi penuh pada lembar ujian di depannya. Di luar jendela, Hans berdiri sejenak, matanya menangkap sosok Amel yang serius. Ada rasa kehilangan yang mendalam saat dia menyaksikan Amel, yang kini terasa begitu jauh meski hanya terpisah oleh kaca.

Dengan hati yang berat, Hans berpaling dari jendela dan melangkah pergi. Dia berjalan tanpa tujuan hingga kakinya membawanya ke lapangan sekolah yang sepi. Sebuah bola basket di tangan, dia mulai bermain sendirian, setiap lemparan bolanya ke keranjang seolah menjadi pelampiasan untuk emosi yang bergejolak dalam dirinya.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang