Act XIV

1 0 0
                                    

Hari itu, langit mulai menguning saat Hans duduk sendirian di kantin, menikmati kesendirian yang jarang ia dapatkan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut memecah kesunyiannya, "Hai, bolehkah aku duduk di sini?" Hans menoleh dan melihat seorang siswi berdiri di sampingnya dengan sebotol minuman di tangan.

Dia memperkenalkan diri sebagai Rani, siswi kelas 2, dengan senyum yang lembut namun mata yang penuh keberanian. "Aku lihat kamu selalu sendiri, jadi aku pikir mungkin kamu haus," lanjutnya, sambil menyodorkan botol minuman itu. Hans, yang biasanya tidak terlalu peduli dengan perhatian, merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Rani. Ada ketenangan dalam caranya yang membuat Hans tidak merasa terintimidasi atau terbebani.

Rani melangkah ragu menuju meja kantin tempat Hans sedang makan, membawa sebotol minuman sebagai alasan untuk mendekat. "Hai, Hans," sapa Rani dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Aku pikir kamu mungkin haus, jadi aku bawa ini untukmu." Dia menyodorkan botol itu dengan tangan yang gemetar sedikit.

Hans menoleh, matanya yang cokelat tajam menangkap sosok Rani yang berdiri dengan penuh harap. Sejenak, ada kilatan kelembutan yang melintas di wajahnya, tapi segera dia menutupinya dengan topeng ketidakpedulian yang biasa. "Tidak perlu," jawabnya singkat, suaranya datar dan tanpa emosi. "Aku tidak butuh itu."

Rani merasa kecewa, tapi dia tidak menunjukkannya. "Baiklah, kalau begitu," katanya, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang mulai menggumpal di dadanya. "Aku hanya ingin berbaik hati." Dia berbalik untuk pergi, meninggalkan Hans dengan kesendirian yang dia pilih.

Hans, yang kembali pada makanannya, merasakan tatapan Rani yang mundur. Ada bagian dari dirinya yang ingin berteriak, memanggilnya kembali, tapi dia menolak. Dia telah memilih jalan ini, jalan kesendirian, karena dia percaya itu lebih aman—tidak ada yang bisa menyakitinya jika dia tidak membiarkan siapa pun mendekat. Namun, dalam kesunyian kantin itu, Hans mulai bertanya-tanya apakah mungkin dia telah salah.

Sepulang sekolah, Rani mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mendekati Hans yang berjalan sendirian di koridor sekolah. Langkahnya yang mantap dan tatapan yang fokus membuat siswi lain yang ingin mendekati Hans merasa cemburu dan iri. Mereka berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang membuat Rani begitu berbeda sehingga dia berani mengabaikan tembok dingin yang Hans bangun di sekelilingnya.

Namun, Hans tetap tidak tergoyahkan. Setiap sapaan dan percakapan yang Rani tawarkan hanya dijawab dengan kata-kata singkat dan nada yang datar. "Hai, Hans," sapa Rani dengan suara yang ceria, mencoba menembus kebekuan yang ada. "Bagaimana harimu?"

Hans hanya menoleh sejenak, matanya yang tajam menangkap sosok Rani sebelum dia menjawab, "Biasa saja," tanpa emosi yang terlihat. Rani tidak menyerah, dia terus berbicara, mencoba menemukan celah dalam armor Hans, tetapi setiap usahanya hanya kembali dengan respon yang sama—dingin dan terukur.

Meski demikian, Rani tidak kehilangan harapan. Dia yakin bahwa di balik sikap dingin Hans, ada hati yang hangat yang hanya perlu waktu untuk mencair. Dan mungkin, suatu hari, Hans akan membalas sapaannya dengan senyum yang tulus, bukan hanya anggukan singkat yang biasa dia berikan.

Langit mendung yang selama ini menggantung di atas SMA Negeri 1 akhirnya pecah, menumpahkan hujan yang lebat. Rani, yang baru saja keluar dari gerbang sekolah, terhenti, menyadari bahwa dia tidak membawa payung. Air hujan mulai membasahi rambut dan seragamnya, membuatnya merasa kedinginan dan sedikit putus asa.

Hans, yang melihat Rani dari kejauhan, menghela napas berat. Meski sikapnya selalu dingin dan terkesan tak peduli, dia tidak bisa membiarkan Rani basah kuyup dalam hujan. Dengan langkah yang berat dan hati yang terpaksa, dia mendekati Rani. "Naik," katanya singkat, menawarkan tempat di belakang motornya.

Rani menatap Hans dengan keterkejutan dan rasa terima kasih yang mendalam. Dia ragu sejenak, tapi kemudian naik ke belakang motor Hans, memegang pinggangnya dengan hati-hati. Mereka berdua melaju melewati jalan-jalan yang basah, hujan yang turun menjadi saksi bisu atas momen yang tidak terduga ini—momen di mana Hans, si "bad-boy" yang selalu dingin, menunjukkan secercah kepedulian yang mungkin, hanya mungkin, adalah awal dari sesuatu yang baru.

Motor Hans melaju di bawah guyuran hujan yang semakin deras, suara gemuruhnya menyaingi denting air di atas helm mereka. Rani, yang duduk di belakang, sesekali membiarkan rasa kagumnya terhadap Hans terucap, "Kamu benar-benar baik, Hans, membawaku pulang seperti ini," katanya, suaranya hampir tenggelam oleh hujan.

Hans hanya mengangguk singkat, matanya tetap fokus pada jalan yang licin di depannya. "Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan," jawabnya, suaranya terdengar datar melalui deru angin.

Ketika mereka tiba di depan rumah Rani, gadis itu cepat-cepat menawarkan, "Mau masuk sebentar? Untuk menghangatkan diri." Namun, Hans hanya menggeleng, sikapnya masih dingin dan tak tergoyahkan. "Tidak, aku harus pergi," ujarnya, dan tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, dia memutar gas motor dan meluncur pergi, meninggalkan Rani yang berdiri di bawah naungan, menatap punggung Hans yang menjauh, bertanya-tanya apakah suatu hari, es di hati pemuda itu akan mencair.

Malam itu, Rani duduk di meja makannya, tapi pikirannya melayang jauh dari semangkuk sup hangat di depannya. Gambaran Hans yang berdiri di bawah hujan, menawarkan tumpangan pulang, terus berputar dalam benaknya. Setiap kali dia mencoba mengalihkan perhatiannya—saat membersihkan diri atau bahkan saat mengerjakan pekerjaan rumah di kamarnya—kenangan tentang kebaikan tak terduga Hans hari itu kembali menghantui pikirannya.

Rani merenung, menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam pada Hans daripada yang terlihat oleh mata. Sikap dinginnya, yang selama ini menjadi tembok antara dia dan dunia, tampaknya mulai retak, meskipun hanya sedikit. Rani merasa ada kehangatan di balik es itu, dan dia bertekad untuk menemukannya.

Dengan setiap detik yang berlalu, Rani semakin percaya diri. Dia yakin bahwa dengan kesabaran dan kelembutan, dia bisa menunjukkan kepada Hans bahwa dunia tidak selalu tempat yang dingin dan sepi. Dan mungkin, hanya mungkin, dia bisa menjadi alasan bagi Hans untuk akhirnya membuka hatinya.

Dan malam itu, Hans mengendarai motornya melintasi jalanan yang basah, lampu-lampu jalan menciptakan pantulan cahaya yang berkelip di genangan air. Pikirannya kosong, tidak ada bayangan Rani atau siapa pun—hanya kesunyian dan suara hujan yang menemani perjalanannya. Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul dari kegelapan, dan sekelompok remaja menghadang jalan, menantangnya dengan tatapan penuh provokasi.

"Hey, Hans! Kita tahu kamu yang tercepat di sini. Bagaimana kalau tunjukkan lagi?" salah satu dari mereka berteriak, suaranya tenggelam dalam hujan yang masih turun perlahan.

Hans menatap mereka, matanya yang tajam menyala dalam remang-remang cahaya. Sebagian dari dirinya tergoda oleh adrenalin yang selalu mengalir dalam darahnya setiap kali mesin motor bergema.

Dengan suara yang rendah namun tegas, Hans menjawab, "Tidak malam ini, teman-teman. Aku tidak tertarik." Ejekan dan cemoohan pun bermunculan dari mulut remaja-remaja itu, "Apa? Hans payah? Takut kalah?"

Hans hanya menghela napas, sikapnya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Panggil aku apa saja yang kalian suka. Itu tidak akan mengubah keputusanku." Dia memutar gas motornya, meninggalkan remaja-remaja itu dalam kebingungan dan kemarahan, sementara dia melaju menjauh, memilih jalan yang lebih tenang—jalan yang membawanya menjauh dari kegilaan dan lebih dekat ke kedamaian yang dia cari.

Namun Hans merasakan detak jantungnya berpacu saat dia mendengar deru motor di belakangnya. Sekumpulan remaja itu tidak terima dengan penolakannya dan memutuskan untuk mengejarnya. Hans memacu motornya, berbelok ke jalan-jalan yang lebih sempit, berharap bisa menghindar dari mereka. Namun, nasib membawanya ke sebuah jalan buntu.

Dengan langkah yang mantap, Hans turun dari motornya, menghadapi remaja-remaja itu. "Sepertinya kalian ingin pelajaran ya?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh otoritas. Remaja-remaja itu mendekat, sikap mereka menantang, tetapi Hans tidak bergeming. "Baiklah jika kalian memaksa." Dengan gerakan yang cepat dan terukur, dia menunjukkan keterampilan bela dirinya, bukan untuk melukai, tetapi cukup untuk memberi mereka peringatan.

"Aku tahu kalian kuat, tapi kekuatan bukan untuk digunakan sembarangan," kata Hans, sambil menatap mereka satu per satu. "Gunakanlah untuk melindungi, bukan untuk menakut-nakuti." Remaja-remaja itu, sekarang dengan rasa hormat yang baru, mengangguk dan perlahan mundur, meninggalkan Hans sendirian di jalan buntu itu.

Hans kembali ke motornya, merenung sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Malam itu, dia tidak hanya mengajarkan pelajaran kepada mereka, tetapi juga kepada dirinya sendiri—bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk memilih kapan harus bertarung dan kapan harus berjalan pergi.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang