.3

8 1 0
                                    

Keesokan harinya, langit cerah menandakan awal yang baru. Amel berdiri di tengah kerumunan yang berkumpul di alun-alun kota, hatinya berdebar dengan semangat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Spanduk dan yel-yel memenuhi udara, namun suara hatinya lebih keras daripada teriakan massa.

Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahunya. Amel menoleh dan melihat Rani, dengan sorot mata yang sama bersemangatnya seperti kemarin. "Kamu datang," kata Rani dengan senyum lebar. "Aku tahu kamu tidak akan tinggal diam."

Amel mengangguk, tersenyum kembali. "Ini tentang masa depan kota," jawabnya. Mereka berdua kemudian bergabung dengan barisan terdepan, siap untuk membuat suara mereka didengar.

Saat mereka berjalan bersama, Amel merasakan ikatan persaudaraan yang menguatkan. Hari ini, mereka bukan hanya sekedar teman sekolah, tapi rekan dalam perjuangan untuk keadilan dan masa depan yang lebih baik.

Namun di tengah-tengah kerumunan yang semakin memanas, suara megafon memecah kebisingan. "Bubarkan! Ini adalah perintah!" teriak seorang wakil gubernur, berusaha menembus barisan pendemo dengan garis polisi di belakangnya.

Namun, kelompok pendemo tidak gentar. "Kami tidak akan pergi sampai suara kami didengar!" teriak seorang pemuda dengan lantang, mewakili semangat yang menyala di hati setiap orang di sana.

Amel merasakan adrenalin mengalir deras. Dia dan Rani berpegangan tangan, menunjukkan solidaritas mereka. "Gubernur hanya memikirkan dirinya sendiri!" teriak Amel, suaranya bergabung dengan suara penolakan yang lain.

Saat itu, Rani menarik Amel lebih dekat. "Kita harus tetap bersama," bisiknya. "Kita lebih kuat bersama."

Dan dengan itu, mereka berdiri teguh, simbol dari perlawanan yang tidak akan mudah dihancurkan.

Ketegangan meningkat ketika deru mesin motor yang garang membelah kerumunan. Semua mata tertuju pada debu yang terbang dan mesin yang meraung, saat Hans bersama anggota gengnya muncul layaknya pasukan kavaleri di medan perang.

Hans, dengan rambut hitamnya yang berantakan dan jaket kulitnya dengan pin rajut berbentuk mawar, melompat dari motornya dengan aura pemberontak yang tak terbantahkan. Matanya sekejap menangkap sosok Amel di antara kerumunan, memberikan tatapan yang sulit diartikan sebelum fokusnya beralih.

"Dengarkan aku!" teriak Hans dengan suara yang memotong kebisingan. "Kita di sini bukan untuk berperang, tapi untuk berdiri bersama melawan ketidakadilan. Tetapi jika suara kita tidak didengarkan, maka aku akan nyatakan perang terhadap pemerintahan!"

Dia mengangkat tangannya, memberikan isyarat yang jelas kepada teman-temannya. Dengan gerakan yang terkoordinasi, mereka mulai merobohkan barisan penjagaan, dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan.

Amel merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. Hans, si bad boy yang selalu tampak acuh kepada teman-temannya, kini berada di sisi mereka, berjuang untuk tujuan yang sama. Ini adalah momen persatuan yang akan mereka ingat selamanya.

Ketika Hans dan pasukannya mendorong maju, suasana menjadi kacau. Teriakan dan dorongan mengisi udara, dan apa yang dimulai sebagai demonstrasi damai kini berubah menjadi kekacauan yang nyata.

Dari kejauhan, gubernur mengamati dengan ekspresi tegang. Dengan isyarat tangan yang tegas, dia memerintahkan pengetatan penjagaan. Segera, barisan polisi tambahan turun ke lapangan, mendorong kerumunan dengan perisai dan pentungan.

Amel merasakan ketakutan yang nyata saat dia dan Rani terjebak dalam arus manusia yang panik. Tiba-tiba, sebuah tangan yang kuat menarik mereka ke samping. Hans, dengan kecepatan dan ketenangan seorang pemimpin alami, membawa mereka menjauh dari pusat kerusuhan.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang