Act XXVI

4 2 0
                                    

Pagi itu, langit masih menyimpan sisa-sisa kelabu dari hari sebelumnya. Dylan memasuki rumah sakit dengan langkah yang berat, hatinya penuh dengan kekhawatiran dan kesedihan. Ia berdiri di samping ranjang dimana Amel terbaring, memerhatikan wajahnya yang damai dalam tidur yang dalam. Mesin di sekelilingnya berbunyi dengan ritme yang teratur, menjadi latar belakang yang memilukan dalam keheningan pagi.

Tidak lama kemudian, Nathalie tiba, membawa semangat dan kehangatan matahari pagi. Ia menemukan Dylan yang tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan dengan lembut, ia mendekatinya.

"Dylan," kata Nathalie dengan suara yang penuh kelembutan. "Amel akan mendengar kita, aku yakin. Kita harus tetap kuat untuknya."

Dylan menoleh, matanya yang sembab bertemu dengan pandangan penuh kasih dari adiknya. "Aku hanya merasa... ini semua salahku, Nat. Aku seharusnya ada di sana untuknya," ucapnya dengan suara yang bergetar.

Nathalie meraih tangan Dylan, menggenggamnya dengan erat. "Ini bukan salahmu. Kita tidak bisa mengendalikan segalanya. Yang terpenting sekarang adalah kita di sini untuk Amel, dan kita akan melewati ini bersama-sama."

Mereka berdua duduk di samping Amel, saling memberikan dukungan. Di tengah kesedihan yang mendalam, mereka menemukan kekuatan dalam kebersamaan, dan dengan setiap detik yang berlalu, mereka semakin yakin bahwa cinta dan harapan akan membawa mereka melalui badai ini.

Dylan melangkah keluar dari ruangan, pikirannya masih terbayang-bayang wajah Amel yang terbaring lemah. Di ambang pintu, matanya tertumbuk pada sosok sang ayah yang berdiri dengan ekspresi terkejut. Mereka saling beradu pandang, mata sang ayah menunjukkan kegugupan yang tidak biasa.

Tanpa kata, sang ayah berbalik dan bergegas meninggalkan rumah sakit. Dylan, yang penuh dengan pertanyaan dan emosi yang membara, segera mengejar. Di luar rumah sakit, di bawah sinar matahari pagi yang terasa dingin, Dylan berhasil menghentikan langkah sang ayah.

"Ayah, kita perlu bicara," desak Dylan, suaranya tegang.

Sang ayah, yang terpojok, mencoba mempertahankan ketenangannya. "Ini bukan tempatnya, Dylan," katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, Ayah. Kita akan bicara di sini dan sekarang," tegas Dylan. "Apa yang terjadi pada Amel bukan hanya 'kecelakaan biasa'. Kamu bertanggung jawab atas ini, ayah."

Sang ayah mengelak, "Kamu tidak mengerti, Dylan. Ini adalah situasi yang rumit. Kecelakaan itu—"

"Kecelakaan? Atau kesalahan yang kamu coba tutupi?" potong Dylan, matanya menyala dengan kemarahan dan kesedihan. "Amel terbaring koma karena ayah, dan ayah hanya berpikir untuk melarikan diri?"

Sang ayah terdiam, konflik internal terlihat jelas di wajahnya. "Dylan, ayah—"

"Tidak ada lagi alasan, Ayah. Kita harus menghadapi ini. Kita harus benar-benar bertanggung jawab," Dylan memotong, suaranya bergetar dengan emosi yang kuat.

Mereka berdiri di sana, di tengah keheningan yang tiba-tiba, menatap satu sama lain. Ini adalah momen kebenaran, saat di mana masa lalu harus dihadapi dan masa depan harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Dylan menunggu, menunggu sang ayah untuk membuat pilihan yang akan menentukan arah hidup mereka selanjutnya.

Lalu sebuah mobil hitam mewah datang dengan tiba-tiba, menghentikan percakapan yang tegang antara Dylan dan sang ayah. Ternyata itu pengawal sang ayah yang turun dari mobil, sikapnya menunjukkan urgensi dan kewaspadaan.

"Ayah, kita belum selesai," kata Dylan, suaranya penuh dengan emosi yang belum terurai.

Sang ayah, dengan pandangan yang terpecah antara pengawal dan anaknya, menghela napas berat. "Dylan, ayah harus pergi. Ada tugas yang harus ayah lakukan," katanya, suaranya mencoba menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya.

Dylan melangkah maju, ingin menghentikan ayahnya, namun Nathalie menarik lengannya, menggelengkan kepala dengan lembut. "Biarkan dia pergi, Dylan. Ini tidak akan mengubah apa pun sekarang," bisiknya.

Dengan rasa frustrasi yang memuncak, Dylan menatap sang ayah yang mulai menjauh. Emosi yang telah ditahannya meledak, dan dalam tangisannya, ia berteriak, "Ini belum selesai, Ayah! Kamu tidak bisa terus lari dari masalah!"

Sang ayah berhenti sejenak, tampaknya terguncang oleh kata-kata Dylan, namun kemudian melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam mobil yang langsung melaju pergi.

Dylan berdiri di sana, dengan Nathalie di sisinya, menatap mobil yang menjauh hingga tidak terlihat lagi. Air mata mengalir bebas di wajahnya, dan dalam pelukan Nathalie, ia merasakan dukungan yang ia butuhkan untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.

Mereka berdua tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Mereka akan terus mencari keadilan untuk Amel, dan mereka akan menghadapi konsekuensi dari kebenaran yang akan terungkap.

Kembali di ruangan yang sunyi, Dylan dan Nathalie berdiri di samping ranjang terbaringnya Amel. Dylan menggenggam tangan Amel yang dingin, dan dengan suara yang penuh emosi, ia membisikkan janji padanya.

"Amel, aku akan selalu ada untukmu, tidak peduli apa yang terjadi. Aku akan menunggumu, sampai kau bangun dan kita bisa melanjutkan cerita kita bersama," ucap Dylan, janji itu adalah ikatan yang tidak akan pernah ia langgar.

Ketika hari mulai gelap, Dylan dan Nathalie meninggalkan rumah sakit, langkah mereka berat namun penuh dengan tekad. Mereka berjalan pulang, berpegangan tangan, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.

Namun, saat mereka tiba di rumah, suasana yang mereka temukan jauh dari kedamaian yang mereka harapkan. Sang ayah dan ibu terlibat dalam pertengkaran yang hebat, suara mereka bergema di seisi rumah.

Sang ibu dengan mata yang berkaca-kaca menyalahkan sang ayah, "Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi! Ini bukan hanya 'kecelakaan biasa'!"

Sang ayah, dengan wajah yang tegang, mengelak, "Aku sudah bilang, ini adalah kecelakaan. Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi."

Pertengkaran itu semakin memanas, dan dalam suasana yang penuh dengan emosi yang mentah, kata-kata yang tidak bisa diambil kembali terucap, "Mungkin sudah saatnya kita berpisah."

Dylan dan Nathalie hanya bisa menyaksikan, hati mereka hancur melihat keluarga mereka terpecah. Mereka berdiri bersama, dalam diam, menyadari bahwa perjuangan mereka masih jauh dari selesai. Mereka tahu bahwa mereka harus tetap kuat, tidak hanya untuk Amel, tetapi juga untuk memperbaiki keretakan yang telah terjadi dalam keluarga mereka.

Malam itu, cahaya bulan menyelinap masuk melalui jendela kamar Dylan, menciptakan bayangan yang tenang. Nathalie mengetuk pintu, suaranya lembut, "Dylan, bisakah kita bicara?"

Dylan, yang terbaring di tempat tidurnya dengan mata terbuka, memandang langit-langit yang gelap. "Masuk, Nat," jawabnya.

Nathalie duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Dylan, apa yang akan kita lakukan sekarang? Tentang Ayah dan Ibu... tentang Amel..."

Dylan duduk, menarik napas dalam-dalam. "Kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi antara Ayah dan Ibu, tapi kita bisa melakukan sesuatu untuk Amel. Kita harus mencari keadilan, Nat, tidak peduli seberapa sulitnya."

Nathalie mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku takut. Jika kita berpisah, apa yang akan terjadi pada kita? Pada keluarga kita?"

Dylan meraih tangan adiknya, memberikan kekuatan. "Kita mungkin harus berpisah, tapi itu tidak akan mengubah apa yang kita miliki. Kita selalu akan menjadi keluarga, dan kita akan melewati ini bersama-sama."

Mereka berdua berbagi momen hening, merenungkan masa depan yang tidak pasti. "Kita akan melalui ini, Nat. Untuk Amel, untuk kita, untuk kebenaran," ucap Dylan dengan tekad yang tidak tergoyahkan.

Malam itu, mereka berdua berjanji untuk tidak menyerah, untuk terus berjuang, dan untuk selalu mendukung satu sama lain, tidak peduli apa pun yang terjadi.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang