Act XXI

4 1 0
                                    

Keesokan harinya, langit cerah menaungi halaman rumah Dylan yang luas. Dylan sedang asyik bermain sendiri, menciptakan dunia imajinasinya sendiri dengan mainan-mainannya, ketika tiba-tiba sebuah bola meluncur masuk ke halaman. Bola itu bergulir perlahan mendekati kaki Dylan, menghentikan permainannya.

Dylan melihat keluar pagar dan melihat sekumpulan anak-anak seusianya yang tampak kebingungan mencari bola mereka. Dengan senyum ramah, Dylan mengambil bola tersebut dan berjalan menuju gerbang. "Ini bola kalian, ya?" tanya Dylan sambil mengulurkan bola itu kepada anak-anak tersebut.

"Terima kasih banyak!" seru salah satu dari mereka, mata mereka bersinar gembira. "Apakah kamu mau main bersama kami?" tawar anak itu dengan antusias.

Dylan tidak perlu berpikir dua kali. "Tentu, aku senang bisa bermain bersama kalian!" jawabnya dengan semangat. Anak-anak itu menyambutnya dengan tawa dan sorak, seolah-olah Dylan adalah teman lama yang telah lama mereka nantikan.

Mereka bermain berbagai permainan, dari sepak bola hingga petak umpet, dan Dylan merasa seolah-olah ia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—persahabatan dan kebersamaan. Tawa dan sorak mereka mengisi halaman, dan untuk sesaat, Dylan lupa akan dunia mewahnya. Ia hanya seorang anak yang menikmati kegembiraan bermain bersama teman-teman baru.

Hari itu, Dylan belajar bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal sederhana seperti bermain bola dengan teman-teman. Ia pulang dengan hati yang penuh senyuman yang tak lepas dari wajahnya, membawa kenangan indah yang akan ia simpan selamanya.

Sore itu Dylan merasa kesakitan saat kakinya menendang kursi dan ia terjatuh. Rasa sakit itu membuatnya meringis, dan Nathalie yang mendengar segera berlari mendekat. Ia mengambil peralatan obat dan memeriksa luka di kakinya.

"Nathalie, kamu benar-benar pandai merawat orang," ucap Dylan sambil menahan rasa sakit. "Seharusnya kamu menjadi seorang dokter, bukan malah menyukai kuliner."

Nathalie tersenyum. "Dylan, kebaikan bisa datang dalam berbagai bentuk. Aku mencintai seni kuliner karena itu adalah cara aku mengekspresikan cinta dan kebahagiaan. Tapi merawatmu juga adalah bentuk kebaikan yang sama pentingnya."

Dylan mengangguk, merenung. Ia menyadari bahwa Nathalie adalah pahlawan dalam hidupnya, tanpa jubah atau stetoskop. Ia hanya seorang adik perempuan yang selalu ada untuknya, siap membantu dan merawat. Dan mungkin, hanya itu yang sebenarnya diperlukan untuk menyebarkan kebaikan di dunia ini.

Dan malam itu Dylan merasa bersemangat dengan imajinasinya sebagai seorang superhero. Di kamarnya yang gelap, ia menggambar dirinya memakai jubah dengan simbol "K" di dadanya—simbol kebaikan yang ia ciptakan sendiri. Dalam pikirannya, ia menebarkan kebaikan di seluruh kota, membantu orang-orang yang membutuhkan, dan melindungi yang lemah.

Namun, tiba-tiba, panggilan alam datang. Dylan ingin buang air kecil dan bergegas pergi ke kamar mandi. Di sana, dalam kegelapan malam, ia melihat sosok perempuan yang menyelinap ke dapur. Hatinya berdebar, dan dengan langkah perlahan, Dylan mengikuti sosok itu.

Tiba-tiba, sosok itu berbalik. Dylan terkejut ketika ia menyadari bahwa itu adalah Nathalie, adiknya. Nathalie tampak terkejut juga, matanya membesar. "Dylan!" bisiknya dengan cepat. "Aku hanya lapar, jangan bilang siapa-siapa!"

Dylan menahan tawanya. "Nathalie, kamu ini seperti pencuri malam!" balasnya dengan senyum. "Tapi tenang saja, rahasia ini aman dengan superhero K di sini." Ia menunjuk ke dadanya dengan bangga.

Nathalie menggelengkan kepala, tapi wajahnya berbinar. "Baiklah, superhero K, mari kita cari camilan bersama-sama."

Mereka berdua berjalan ke dapur, dan dalam kebersamaan itu, Dylan merasa bahwa kebaikan tidak hanya ada dalam imajinasinya sebagai superhero. Kebaikan ada di antara mereka, dalam momen-momen sederhana seperti ini—bersama adiknya yang lapar di tengah malam.

Keesokan harinya, keluarga Nathalie dan Dylan berjalan bersama di tengah kota yang ramai. Langit biru dan sinar matahari mengiringi langkah mereka. Di antara kerumunan orang, Dylan melihat seorang gadis seusianya yang pulang dari sekolah. Gadis itu tertawa bersama kedua orangtuanya, wajahnya berbinar-binar.

Dylan memerhatikan mereka dengan rasa kagum. "Ayah," katanya, menarik lengan sang ayah, "aku juga ingin sekolah seperti anak itu. Aku ingin belajar dan tertawa bersama teman-teman."

Sang ayah tersenyum. "Tentu, Nak," jawabnya. "Pendidikan adalah hak setiap anak. Kita akan memastikan kamu dan Nathalie mendapatkan kesempatan yang sama."

Dan begitulah, sang ayah membiayai pendidikan Dylan dan Nathalie. Mereka menempuh bimbingan pendidikan dengan guru panggilan privat dari rumah. Setiap hari, mereka belajar bersama, mengejar mimpi dan pengetahuan. Nathalie mengeksplorasi dunia kuliner, sementara Dylan memperdalam ilmu pengetahuan dan seni.

✧⌔✧⌔✧⌔✧⌔✧⌔✧


Satu bulan berlalu dan sang ayah kini mencalonkan diri untuk menjadi walikota. Kampanye berlangsung sibuk, dengan poster-poster besar yang menghiasi setiap sudut kota. Dylan dan Nathalie, bersama dengan ibu mereka, mengikuti setiap acara kampanye. Mereka melihat bagaimana sang ayah berbicara dengan semangat tentang perubahan yang ingin dia bawa ke kota ini.

Pada hari pemilihan, keluarga itu duduk di depan televisi dengan hati berdebar. Suara-suara dari berbagai tempat pemungutan suara mengalir masuk. Dan akhirnya, berita yang mereka tunggu-tunggu datang: sang ayah memenangkan pilihan rakyat dan terpilih menjadi walikota.

Dylan dan Nathalie melompat kegirangan. Mereka merasa bangga dan bahagia melihat sang ayah yang kini akan memimpin kota mereka. Di tengah kebahagiaan itu, mereka tidak menyadari satu hal: sang ayah akan disibukkan dengan pekerjaannya yang baru. Pertemuan keluarga akan menjadi lebih jarang, dan waktu bersama akan berkurang.

Namun, Dylan dan Nathalie menghargai itu. Mereka tahu bahwa sang ayah memiliki tanggung jawab besar untuk memimpin kota ini. Dan meski waktu bersama berkurang, mereka tahu bahwa kebaikan yang sang ayah bawa ke kota akan mempengaruhi banyak orang. Seperti superhero yang melindungi kota, sang ayah adalah pahlawan bagi mereka dan bagi banyak orang lain.

Setelah sang ayah terpilih menjadi walikota, kini rumah dipenuhi dengan kegembiraan. Mereka memutuskan untuk mengadakan acara kecil di rumah untuk merayakan pencapaian besar ini. Ibu dan Dylan sibuk di dapur, mempersiapkan hidangan favorit keluarga, sementara Nathalie membantu dengan menata meja makan dengan dekorasi yang indah.

Dylan, dengan semangat yang tak terbendung, menghias ruangan dengan balon dan pita berwarna-warni. Musik mengalun lembut di latar belakang, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan. Ketika sang ayah pulang, ia disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai dari keluarganya.

"Selamat, Ayah!" seru Dylan dan Nathalie bersamaan. Sang ayah tersenyum lebar, matanya berkilauan dengan rasa terima kasih dan cinta. "Terima kasih, anak-anakku. Ini semua berkat dukungan kalian," ucapnya dengan suara yang penuh emosi.

Mereka duduk bersama di meja makan, menikmati hidangan lezat yang telah disiapkan dengan penuh cinta. Setiap suapan adalah perayaan dari perjalanan yang telah mereka lalui bersama. Mereka berbagi cerita dan tawa, mengingat kembali momen-momen kampanye dan mimpi-mimpi yang kini menjadi kenyataan.

Acara kecil itu menjadi simbol dari kebersamaan dan dukungan yang tak tergoyahkan. Meski sang ayah akan sibuk dengan tanggung jawab barunya, mereka tahu bahwa ikatan keluarga mereka akan tetap kuat. Dan di malam yang penuh bintang itu, mereka bersulang untuk masa depan yang cerah, di mana kebaikan dan cinta akan selalu menjadi pusat dari segala tindakan.

Forgotten LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang