Di sekolah, Allen sedang duduk di kelasnya ketika istirahat. Remaja itu tidak keluar jajan seperti siswa lainnya. Dia ingin menyelesaikan makalah fisika yang diberikan oleh pemimpin olimpiade tadi pagi.
"Len, Len. Lo tau gak?" Heboh teman Allen yang baru masuk ke dalam kelas.
"Apa?" Tanya Allen datar. Remaja itu masih berkutat dengan kertas soalnya.
"Ada yang kecelakaan," ucap teman Allen misterius.
"Siapa?" Tanya Allen acuh tak acuh.
"Itu senior kelas 2, kak Vio yang jadi kakel di kelompok lo waktu ospek," jawab teman Allen.
Deg!
Tangan Allen yang memegang pena bergetar. Matanya membelalak dan bibirnya mendadak kelu. Allen hanya bisa menatap temannya untuk melihat apakah dia sedang bercanda sekarang.
Teman yang dipandangi Allen itu berpikir jika Allen tidak percaya akan ucapannya.
"Serius gue. Lo sih tadi gak keluar. Rame banget di depan, katanya kecelakaannya parah.. Len! Allen! Mau kemana?"
Allen tidak menunggu kelanjutan dari perkataan temannya. Dia hanya ingin berlari lebih cepat agar dapat segera mengetahui kejadian yang sebenarnya sedang terjadi.
Allen akhirnya tiba di tempat Viona kecelakaan. Di sana Allen melihat police line dan beberapa polisi yang masih berjaga.
Jantung Allen berdegup kencang, pandangannya kabur dan lututnya lemas.
"Permisi, pasien kecelakaan di sini dibawa kemana?" Tanya Allen kepada salah seorang siswa yang berada di sana.
"Kayanya dibawa ke rumah sakit Central House," jawab siswa yang ditanyai Allen.
Mendapat nama rumah sakit tempat Viona dibawa, Allen segera berlari dan menghentikan taksi di ujung jalan.
*Rumah sakit*
1 jam sudah keluarga Hermawan menunggu di depan ruang operasi, namun belum ada tanda-tanda operasi akan berakhir.
Selina berbaring lemas di pundak Adit, menyandarkan seluruh tubuh lelahnya ke tubuh suaminya.
"Ma.. mama istirahat di kamar aja ya?" Ajak Adit yang kasihan melihat kondisi istrinya.
Selina menggelengkan kepalanya. "Nggak pa. Mama mau tunggu adek keluar," kekeuh Selina.
Rendi bangun dari kursi dan berjalan bolak-balik di depan pintu ruang operasi. Pria itu sudah tidak sabar untuk melihat keadaan adiknya.
"Ren. Duduk gih. Gue pusing lo muter-muter terus," keluh Radit.
Wajah Radit terlihat pucat dengan mata sembab. Tidak terhitung beratnya rasa gundah yang sedang dirasakan Radit sekarang.
"Udah, diem kalian. Papa pusing dengar kalian ribut," omel Adit.
Ketika Rendi akan mencoba membela diri, lampu merah di ruang operasi padam. Mereka sontak menahan nafas sambil berdiri dari kursi tunggu. Adit mendukung Selina yang sudah lemas.
Beberapa menit kemudian, dokter Aman yang menangani operasi Viona keluar. Beliau membuka maskernya dan tersenyum ke arah keluarga Hermawan yang menatapnya penuh harap.
"Operasi telah berhasil dilakukan. Viona sudah melewati masa kritisnya. Namun, tolong nanti salah seorang anggota keluarga untuk menjumpai saya di ruangan," instruksi dokter.
Adit, Selina, Radit, dan Rendi sontak tersenyum lega saat mendengar jawaban yang memuaskan setelah 1 jam lamanya menanti.
Selina langsung menangis haru di dalam pelukan Adit. Ketiga pria dewasa itu juga ingin sekali menangis untuk mengungkapkan rasa lega yang mereka rasakan, namun berusaha mereka tahan.
"Kapan kami bisa melihat adek dok?" Tanya Radit.
"Sebentar lagi pasien akan dibawa ke dalam ruang rawat inap," jawab dokter. "Kalau begitu saya permisi. Tolong satu orang menjumpai saya ke dalam ruangan dalam 30 menit," tambah dokter sebelum pergi.
Mereka duduk kembali di kursi tunggu, menunggu adek dikeluarkan oleh perawat.
15 menit kemudian, Viona keluar dari ruang operasi. Gadis kecil itu terlihat pucat, bibir pink alaminya berubah putih. Tubuh kecilnya terlihat ringkih di atas bed dorong. Mata Viona terpejam, seolah-olah dia sedang tidur nyenyak.
Tangis Selina pecah saat melihat putrinya yang biasanya ceria kini sangat lemah. Sampai-sampai mereka takut angin akan membawa tubuh kecilnya pergi.
Adit menggigit bibirnya erat-erat, mencegahnya meraung membenci takdir yang telah merenggut semangat putri kesayangannya.
Radit diam-diam menyeka matanya ketika melihat mata Viona yang terpejam erat. Dia sangat takut mata indah itu tidak akan lagi terbuka. Dia takut adik kecilnya akan membenci dunia yang membuatnya merasa sakit hingga akhirnya enggan membuka matanya lagi.
Rendi menangis sesenggukan kala melihat tubuh kurus Viona. Adik kecilnya seakan semakin kecil saat dipakaikan baju rumah sakit. Kepala kecil Viona dililit perban tebal, pinggang ramping adiknya dipasangkan gips, dan tepak tangan mungilnya ditusuk jarum infus. Membuat Rendi hilang akal dan bersumpah tidak akan membiarkan pelakunya hidup tenang.
Adit sudah membuat laporan penyelidikan untuk kasus kecelakaan Viona. Mereka bertekad akan membuat pelakunya dihukum dengan seberat-beratnya tidak peduli apa penyebab kecelakaan itu terjadi.
Rendi dan Radit membantu perawat mendorong bed Viona, sedangkan Adit berjalan di sisi bed bersama Selina di pelukannya.
Mereka naik lift menuju lantai 7 tempat kamar VVIP berada. Mereka masuk ke satu-satunya kamar di lantai itu.
Ruangannya mirip seperti apartemen. Dengan 2 kamar yang dilengkapi kamar mandi di dalam tepat di depan bed pasien. Terdapat ruang tamu besar di dekat pintu masuk, dapur lengkap di ujung, ruang makan di samping dapur, dan ruang keluarga di samping bed pasien.
Mereka cukup puas dengan kamar di rumah sakit ini, meskipun tidak terlalu besar seperti di rumah sakit Hermawan. Mereka berencana untuk mencoba tinggal di sini dulu dan akan pindah ke rumah sakit sendiri jika pelayanan di sini kurang memuaskan.
Viona dibaringkan di atas satu-satunya bed di sana. Gadis kecil itu masih setia menutup matanya.
"Kapan adek saya bangun sus?" Tanya Rendi kepada perawat.
"Menurut hasil pemeriksaan, pasien akan bangun nanti malam. Kalau gitu kamu permisi," pamit perawat setelah selesai mengatur bed dan infus Viona.
Adit membaringkan Selina di kamar utama. Pria itu menyentuh lembut rambut istrinya.
"Mas.." protes Selina.
"Shh.. kamu istirahat aja ya. Nanti ketika kamu udah mendingan baru liat adek. Kalau kamu sakit, adek gimana yang? Istirahat dulu ya," pinta Adit dengan suara lembut. Pria itu menatap istrinya dengan sayang.
Selina berpikir sebentar dan mengiyakan saran Adit. Benar kata Adit, jika dia sakit bagaimana dia akan menjaga adek?
Selina kemudian tertidur lelap dalam kenyamanan Adit.
Di luar, Rendi dan Radit menemani Viona.
Rendi memegang tangan kecil adiknya yang tidak diinfus. Mengusapnya lembut saat merasa tangan Viona sedikit dingin.
Radit membetulkan selimut Viona agar adik kecilnya tidak masuk angin. Pria dengan mata yang masih merah itu dengan hati-hati memijat kaki adiknya.
"Dek, cepat sembuh ya! Padahal tadi abang bawain adek chicken katsu lho. Tapi adek tidur terus," keluh Rendi dengan suara sengau.
Radit ikut mengusap matanya yang mulai berair lagi. Pria tangguh itu banyak menangis hari ini. "Adek cepat bangun ya! Abang kangen cerita-cerita sama adek," pinta pria itu dengan suara yang sangat lembut.
Adit keluar dari kamar. Pria yang tampak sangat berantakan hari ini itu mendatangi putrinya yang masih tidur. Adit dengan lembut mengecup dahi putrinya yang terbalut perban.
"Sayang, papa keluar dulu ya! Nanti papa kembali buat nemenin adek. Mama lagi istirahat di kamar. Sayangnya papa cepat sembuh ya! Cup!" Adit mengecup kembali dahi Viona sebelum keluar dari ruangan.
"Papa mau ke ruangan dokter dulu. Kalian jagain adek," perintah Adit sebelum keluar dari kamar rawat Viona.
KAMU SEDANG MEMBACA
Viona (END)
Teen FictionBagaimana jadinya kehidupan Viona, seorang gadis kecil yang hanya hidup bersama sang mama tiba-tiba punya papa baru dan 3 abang tiri? akankah hidupnya lebih bahagia atau justru makin pelik? Dan bagaimana kehidupan gadis cantik itu ketika cinta datan...