46. Dr. Rendi Hermawan

5.3K 419 20
                                    

Setelah menghabiskan waktu satu Minggu di Indonesia, Viona dan kedua orangtuanya sudah kembali ke Amerika. Sedangkan Rendi dan kedua abangnya menetap untuk bekerja. Rendi yang baru lulus juga bekerja sebagai dokter umum di Hermawan Hospital.

Hari ini adalah hari kedua dia bekerja. Wajahnya yang tampan dan otaknya yang encer menjadikannya segera populer di kalangan rekan kerja. Terlebih lagi, statusnya sebagai anak pemilik rumah sakit membuat tidak ada orang yang berani menyinggungnya.

Rendi baru saja selesai melakukan kunjungan pasien ketika melihat seorang "kenalan". Pria itu mendecakkan lidahnya. Matanya berubah dingin dan senyum sinis tercetak di bibir tipisnya.

"Ck. Dunia emang kecil banget ya? Gue kira ini orang udah gone," batinnya.

Pria ini adalah Vino, ayah kandung Viona yang sempat bertemu 7 tahun yang lalu. Sebenarnya, Rendi sudah melupakan kejadian tidak mengenakan itu. Namun, perjumpaannya kali ini membuatnya mengingat kembali setiap detil kejadian itu dengan baik. Seolah-olah baru saja terjadi kemarin.

Saat Rendi melihat pria itu, pria itu juga melihat Rendi. Vino juga mengenali Rendi. Vino buru-buru menghampiri Rendi seolah-olah sedang menghadapi sedotan penyelamat hidup terakhir.

"Halo, saya ayah Viona. Kita pernah bertemu dulu," ujar Vino dengan tatapan berharap.

Rendi memasang senyum terasing di wajahnya. "Iya saya tahu," jawabnya dingin.

"Saya minta maaf soalnya yang hari itu. Istri saya cuma terkejut melihat Viona dan Selina. Dia tidak bermaksud mengucapkan kata-kata kasar," jelas Vino.

Rendi hanya melihat datar tanpa berniat menanggapi.

Vino yang tahu strateginya gagal, hanya bisa mengutarakan tujuannya secara langsung.

"Begini nak. Bisa gak saya minta informasi kontak Selina atau Viona?" Pinta Vino.

Rendi menyipitkan matanya. Mata tajamnya bersinar berbahaya. Pria itu bisa merasakan gelagat yang tidak beres dari pria di depannya ini.

"Kenapa anda butuh kontak mama dan adik saya?" Tanya Rendi sambil menyandarkan punggungnya di tembok.

"Saya.. adik laki-laki Viona sedang sakit. Dia butuh bantuan Viona," jelas Vino ragu-ragu.

Rendi terkekeh lucu karena perkataan Vino. Pria itu tersenyum sinis. "Ha? Adik? Adik dari mana nih? Perasaan mama belum ngelahirin adik lagi buat kita," skak mat Rendi.

Vino gelagapan. Dia tentu mengerti maksud Rendi. "Maksudnya.. anak saya dengan istri lain," jelas Vino dengan suara kecil.

Melihat pria itu begitu terpuruk saat ini, Rendi merasa sangat ironis. Pria itu sangat menghawatirkan putranya, tapi hingga saat ini dia bahkan belum mendengar pria itu menanyakan kabar adik kecilnya.

Rendi tetap diam menunggu pria itu melanjutkan perkataannya.

"Anak saya menderita gagal hati. Dia membutuhkan donor. Kami sudah tes, namun tidak ada satupun dari kami yang cocok. Saya.. ingin meminta tolong untuk bisa mengetes kecocokan hati Viona dengan adiknya.."

Mendengar perkataan pria tua ini, darah Rendi seakan mendidih. Pria itu mengangkat tinjunya dan meninju pipi pria itu.

Para petugas medis yang melihat kejadian ini membalikkan badan mereka, berpura-pura tidak melihat apa-apa.

Selesai meninju pria tidak tahu malu ini, Rendi mengangkat kerah kemejanya.

"Apa maksud lo? Lo yang gak pernah menganggap adek gue sekarang minta tolong ke adek gue buat nyelamatin anak lo itu? Lo waras? Ngapain adek gue harus ngorbanin dirinya untuk orang yang gak penting kaya kalian? Bahkan, untuk orang yang penting sekalipun, kita gak bakalan izinin adek nyakitin dirinya buat siapapun itu!" Bentak Rendi dengan mata merah.

Memikirkan betapa tidak tahu malunya orang ini, membuat Rendi ingin muntah dan mencincang orang ini hidup-hidup.

Vino berusaha melepaskan cengkraman tangan Rendi. Setelah akhirnya terlepas, Vino berusaha menyampaikan retorikanya dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Kamu.. seorang dokter, pasti tau betapa pentingnya menyelamatkan sebuah nyawa. Saya sudah bertanya ke dokter yang merawat anak saya, kata dokter prosesnya tidak sakit dan tidak akan meninggalkan gejala sisa untuk pendonor," kata Vino.

Rendi sangat marah hingga giginya terasa gatal.

"Gue saranin lo cabut sekarang, jangan buat gue ngelakuin hal yang bakalan lo sesali," ancam Rendi.

Namun, Vino yang pipinya lebam masih tidak ingin menyerah. "Kamu seorang dokter, seharusnya bisa mengerti betapa pentingnya donor ini. Nyawa anak saya bisa dalam bahaya jika tidak segera menemukan hati yang cocok.

Bagaimanapun, Viona adalah bagian dari keluarga saya. Kami hanya punya satu anak laki-laki, dia harus membantu menjaganya agar ada yang melindungi jika diganggu nanti. Saya juga akan bayar berapun yang diminta Viona!" Seru Vino. Dia ingin semua orang tau agar dapat menekan Rendi dengan menggunakan opini publik.

Seorang dokter tidak boleh diberi kedok tidak mengutamakan pasien dan Vino ingin menggunakan ini untuk membuat Rendi setuju. Namun sayang, dia salah sasaran.

Rendi yang sudah diambang batas, berkata ke arah udara kosong. "Tarik dia dan keluarganya keluar dari rumah sakit ini," Perintah Rendi dingin.

Setelah ucapan Rendi keluar, 2 orang pengawal datang. Mereka segera menyeret Vino sesuai perintah Rendi.

"Apa.. apa.. nih? Kamu gak bisa ya seenaknya gini?!" Protes Vino yang lengannya dipegangi oleh pria-pria berbadan kekar.

Rendi menatap Vino dengan dingin. "Mulai sekarang, lo dan keluarga lo gak diizinkan injek tanah rumah sakit ini dan rumah sakit-rumah sakit yang ada kaitannya dengan Hermawan," tegas Rendi dan berlalu pergi dari sana.

"Hei!!!"

Di belakangnya, Vino masih meronta-ronta. Pria itu tidak tahu kekacauan apa yang telah disebabkannya.

Rendi menelpon Radit saat sudah masuk ke dalam ruangan dokter.

"Bang. Tadi gue ketemu ayah kandungnya adek. Dia.." Rendi menjelaskan semuanya kepada Radit.

Radit di ujung sana terdiam dan sesekali terdengar dengusan rendah dari seberang.

"Oke, abang tau. Abang akan suruh orang untuk awasi keluarga mereka. Abang pastikan tidak ada dari mereka yang akan bertemu adek lagi," ujar Radit sebelum menutup telpon mereka.

Sempat terjadi keributan karena istri dan anak perempuan Vino menolak untuk pindah. Mereka juga memanggil-manggil nama Viona seolah-olah gadis kecil itu bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa putra mereka.

Namun setelah itu, kabar keluarga mereka tidak lagi diketahui. Hal terakhir yang Rendi dengar dari Radit adalah anak laki-laki mereka gagal diselamatkan karena hampir semua rumah sakit terbaik di negara ini menggunakan alat-alat medis yang diproduksi oleh perusahaan Hermawan. Sehingga mereka ditolak berobat di mana-mana.

Ibu pria itu yang dulunya membenci Viona dan Selina juga terkena stroke ketika mendengar cucu laki-lakinya telah meninggal dunia.

Setelah kejadian ini, Vino akhirnya tau siapa yang telah disinggungnya. Pria itu memutuskan untuk menjauh dan membawa keluarganya pindah ke kota kecil. Terlebih lagi, perusahannya yang sudah bermasalah dari 7 tahun lalu akan segera gulung tikar.

Sandy merasa saat cemburu ketika mengetahui bahwa Selina telah menikah dengan sangat baik. Seolah-olah dia telah membuka jalan untuk wanita itu dengan mengambil pria tidak berguna ini.

Putri mereka juga sangat cemburu hingga giginya masam. Dia tidak mengerti mengapa orang yang tidak diinginkan papa dan neneknya bisa memiliki kehidupan yang begitu bahagia dan mewah.

Gadis remaja itu juga memaksa bahwa meninggalnya abangnya adalah karena Viona. Gadis itu seharusnya membantu abangnya karena hanya abangnya lah satu-satunya anak laki-laki di keluarga mereka.

Awalnya gadis itu tidak ingin pergi ke kota kecil, dia ingin tinggal di Jakarta yang glamor dan penuh kemewahan. Namun, papanya memaksa karena dia tau keluarga Hermawan tidak akan pernah melepaskan mereka.





Viona (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang