Différent ; 17. Forms of Concern

1.4K 211 16
                                    

HAPPY READING

"Kamu serius akan meninggalkan ku sendiri?"

Rami menatap tak percaya pada saudara kembarnya yang tersenyum manis setelah berkata akan pulang hanya dengan Canny. Perlu dipertanyakan kemana hilangnya otak Ahyeon. Padahal mereka tinggal di satu atap yang sama, bahkan berangkat sekolah bersama. Tapi sekarang dia bahkan diminta untuk menunggu jemputan dari kakak kedua.

"Ayolah, kamu bilang ingin langsung pulang, kan? Aku dan Canny akan menjemput Rora. Kak Asa ada kelas sore, dia tidak bisa menjemput Rora." ujar Ahyeon. Dia lantas menepuk pundak Rami sebelum berjalan menuju mobil.

"Kak Pharita sedang dalam perjalanan, bicarakan baik-baik permasalahan kalian. Okay?" Setelah itu, Ahyeon memasuki mobilnya dan membawa kuda besi itu menjauh dari pekarangan sekolah.

Rami menghela napas berat sembari menatap kepergian mobil yang diisi oleh kedua saudaranya. Dengan perasaan kesal, dia berjalan sedikit lesu menuju pos security untuk menunggu sang kakak di sana.

Sejujurnya, Rami masih belum siap jika harus diminta berbicara baik-baik pada sang kakak. Ucapan sang kakak malam itu terlampau menyakitkan untuk dirinya. Meskipun mungkin saja Pharita tidak memiliki maksud tertentu, tapi... mengertilah! Rami adalah tipe orang yang mudah tersinggung dengan ucapan seseorang yang disengaja maupun tidak disengaja.

Terlalu larut dalam pemikirannya, Rami tidak sadar jika sedari tadi suara klakson mobil Pharita telah mengudara. Hingga tepukan pada bahunya, dia baru sadar jika sang kakak telah sampai bahkan memanggilnya dengan nada khawatir.

"Kamu tidak apa-apa?" Rami menggeleng gagap, dia lantas berdiri lalu mencoba bersikap seperti biasa.

"T-tidak, aku tidak apa-apa. Ayo, aku ingin segera pulang." Setelah berucap demikian, Rami bergegas membuka pintu mobil lalu masuk. Meninggalkan Pharita yang menggeleng tak habis pikir.

Selama perjalanan pulang, 2 orang kakak-beradik itu hanya diam saja. Ada rasa kesal pada diri Rami saat Pharita hanya diam. Padahal diam-diam, Rami berharap bahwa tujuan Pharita menjemputnya adalah untuk meminta maaf. Setidaknya membicarakan permasalahan kemarin.

Jalanan kota Seoul akan selalu padat dengan kendaraan-kendaraan yang berjejer disertai kebisingan dari suara klakson yang saling bersahutan. Macetnya Seoul tentu bukan hal baru, apalagi di jam pulang kerja seperti sekarang ini.

"Bagaimana hari mu?" Pharita bertanya setelah mobil yang mereka kendarai berhenti. Mereka terjebak macet, dan Pharita memanfaatkan hal itu untuk sekedar meregangkan otot-otot tangannya.

"Seperti biasa," jawab Rami tak acuh. Ia memandang pada luar kaca mobil, menatap apapun asal bukan wajah Pharita.

Tawa ringan terdengar di rungu Rami, entah apa yang lucu dari jawabannya itu sampai membuat sang kakak tertawa.

Mobil itu kembali melaju, dan kedua orang di dalamnya masih saling diam. Hingga Rami mengernyit saat Pharita membelokkan mobilnya pada toko roti.

"Nah, sudah sampai."

"Aku ingin pulang, bukan ingin memakan roti." Rami berdecak sambil menatap Pharita kesal.

"Iya, nanti. Sekarang ayo turun, aku perlu meminta pendapat kamu." ujar Pharita lalu menarik lengan sang adik untuk keluar.

Mereka duduk pada meja yang tersedia di dalam toko, sembari menunggu pesanan. Suasana dalam toko benar-benar menyenangkan, bau khas roti yang keluar dari oven dapat membuat siapa saja merasa lapar. Saat Pharita melihat pada sekitar, kebanyakan dari pengunjung toko adalah anak sekolah.

"Aku baru tahu ada toko roti di sini. Lain kali aku akan mengajak Canny datang untuk makan roti." ucap Pharita pelan, tapi masih dapat Rami dengar.

"Canny tidak suka roti," sahut Rami pelan. Dia menyibukkan diri dengan bermain ponsel tanpa memperdulikan Pharita.

Différent [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang