Différent ; 43. Canny and the Night Sky Full of Stories

1.1K 156 40
                                    

HAPPY READING

Pulang ke Seoul dan meninggalkan Singapura, membuat Canny hampir tak bisa tidur setiap malamnya selama hampir satu bulan ini. Raganya berada di rumah bersama keluarganya, tapi pikirannya masih tertinggal di Singapura, bersama Rora dan kedua kakaknya.

Helaan napas kembali terdengar, bersamaan dengan wajahnya yang menengadah keatas. Langit malam ini terlihat sepi dari malam-malam sebelumnya, entah karena apa. Bahkan tak ada satupun bintang yang ingin menampakkan diri malam ini.

"Kenapa kalian bersembunyi? Aku kesepian di sini."

Udara malam tak membuatnya mengantuk barang sedikitpun. Bahkan untuk sekedar kedinginan, Canny tak merasakan hal itu.

"Aku ingin bercerita, tolong dengarkan, ya."

Canny menyandarkan tubuhnya ke belakang, mencoba mencari posisi ternyaman agar dirinya dapat kembali melanjutkan ucapannya.

"Kalian tahu, kan, jika Dain sedang sakit? Nah, sekarang dia seharusnya sudah sembuh. Tapi masih harus berobat. Aku tidak mempermasalahkan obatnya, hanya tidak terlalu suka saja dengan istilah cuci darah." Canny sedikit mengerucutkan bibirnya lalu berdecak.

"Bukankah itu terdengar mengerikan? Cuci darah. Haish, bagaimana bisa para dokter itu mencuci darah Dain? Apakah digiling di mesin pencuci pakaian? Menggunakan pewangi lalu di gosok dengan setrika?"

Canny menggeleng kecil, "lupakan, bukan seperti itu yang aku maksud."

Hening menyapanya. Canny tahu tidak akan ada yang menyahut ucapannya. Keluarganya tentu sudah tidur, dan malam sangat gelap karena tidak ada penghuninya seperti biasa.

Tapi hal ini sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Hidup dalam lingkungan yang menyakitkan membuatnya tak bisa terus-menerus mengandalkan Rora. Termasuk dalam hal sepele seperti sekarang... berbicara sendiri.

Tidak. Bahkan Canny tak pernah mengaku jika dirinya berbicara sendiri, kecuali sekarang. Canny akan mengatakan jika dia berteman baik dengan bulan dan bintang, yang berarti dia sering berbicara dengan mereka. Hanya saja, sekarang teman-temannya itu sedang istirahat, tapi Canny tetap memaksa untuk bercerita.

"Aku sedih, hampir satu bulan lamanya aku ditinggal oleh Dain sendiri."

"Aku sangat merindukan Dain. Aku rindu suasana rumah seperti dulu."

Bibir Canny bergetar, "jika tidak ada Dain, aku seperti asing dengan rumah ini."

"Dain adalah rumah ku. Sekalipun kami tinggal di bawah jembatan, jika aku bersamanya... aku akan baik-baik saja. Di manapun itu asal dengan Dain, adalah rumah ku, tempatku hidup."

Berkali-kali jika sesuatu yang bersangkutan dengan Rora, Canny tidak bisa untuk tidak menangis. Bagaimanapun juga, dia dan Rora sudah seperti pinang yang dibelah dua. Mereka sama dalam hal apapun.

Tatapannya beralih ke samping, tepat pada sebuah buku polos dengan sampul berwarna kuning cerah. Tangannya meraih buku itu lalu membukanya.

Senyum Canny mulai muncul saat membuka halaman pertama. Lalu membalik ke halaman berikutnya, terus seperti itu. Tidak ada yang membosankan baginya, karena hanya berisi wajah Rora yang ia gambar menggunakan pensil dengan abstrak.

Canny menghela napas panjang, masih ada 2 halaman kosong yang belum dia gambar. Sedangkan ulang tahun Rora hanya tinggal beberapa minggu lagi. Canny harus menyelesaikan gift untuk ulang tahun Rora.

"Menurut kalian, apakah aku bisa menyelesaikan gambar ini?" Canny menatap ke langit.

"Jika tidak ada Dain, aku sulit menggambar wajahnya."

Différent [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang