HAPPY READING
"Kak?"
Ruka mendongak, mendapati Pharita yang mendatanginya dengan sebotol air mineral ditangannya. Ia tersenyum, menggeser sedikit tubuhnya dan membiarkan sang adik ikut duduk disebelahnya.
"Ini, minumlah. Kamu juga harus punya tenaga."
"Terimakasih,"
Ruka menerima itu dengan baik dengan senyum kecilnya. Tatapannya tak pernah lepas dari pintu ruang operasi, berharap agar lampu hijau di sana segera padam dan dokter keluar dengan kabar gembira.
Sedangkan Pharita yang melihat itu tersenyum kecut, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mengelus lembut punggung Ruka. Tatapannya lantas tertuju pada ruang operasi di depan mereka. Sudah hampir 2 jam lamanya, tapi lampu ruang operasi bahkan masih menyala.
"Kamu sudah sarapan?" Pertanyaan itu membuat Pharita tersentak. Ia lantas mengangguk.
"Sudah. Sekarang giliran kakak, aku yang akan berjaga di sini. Tenang saja, aku pasti akan mengabari kalian jika seandainya operasi sudah selesai." ucap Pharita.
Ruka hanya bisa mengangguk pasrah. Tak rela rasanya meninggalkan tempat itu, tapi adiknya juga pasti akan tetap memaksanya untuk pergi sarapan. Dengan berat hati, Ruka beranjak dari sana menuju kantin. Ia akan bergantian menunggu Rora bersama dengan Pharita.
"Baiklah, aku akan pergi sebentar."
"Hm,"
Pharita menyandarkan tubuhnya ke belakang. Sejujurnya dia lelah. Lelah tubuh dan lelah otak. Ada banyak sekali hal tak terduga dalam hidupnya. Dan ini adalah salah satunya.
"Jung Rora," lirihnya.
Pharita menelan salivanya kasar. Ingatannya tentang sang adik kembali, dan jujur itu membuatnya sakit hati. Ditatapnya ruang operasi di depan, Pharita begitu penasaran apa yang para medis itu lakukan di dalam sana.
Hingga lampu ruang operasi berganti warna menjadi merah, membuat Pharita yang awalnya bersandar kini langsung menegakkan tubuhnya. Dadanya bergemuruh, ia berdiri dan hendak masuk ke dalam sebelum kesadarannya kembali.
"Tuhan, apa yang terjadi?" lirihnya.
Lampu ruang operasi berganti merah, yang menandakan jika ada gangguan di dalam sana. Pharita takut, tubuhnya limbung ke lantai. Ketakutan terbesarnya sedang terjadi, Pharita menangis kembali.
Jungwon yang baru saja dari kantin, dikagetkan dengan keadaan sang kekasih yang sedang menangis di lantai depan ruang operasi. Laki-laki itu dengan segera berlari menuju Pharita.
"Pharita, ada apa?"
Jungwon tentu khawatir, apalagi melihat wajah pujaan hatinya yang pucat. Sebenarnya bukan hanya Pharita yang pucat, seluruh keluarga Jung juga pucat. Mereka kurang tidur, dan makan hanya beberapa suap saja.
Tatapan Jungwon lantas tertuju pada ruang operasi di depannya, ia tercekat. Apalagi saat melihat lampu di sana yang berwarna merah, tubuhnya bergetar hebat.
"A-apa yang terjadi?" Jungwon benar-benar terkejut, dengan cepat dirinya membawa Pharita duduk meskipun tubuhnya sendiri lemas bukan main.
Tidak, ini mimpi buruk. Jungwon tahu terjadi sesuatu di dalam sana. Warna merah itu... jelas ada gangguan pada Rora.
"Jungwon, Rora... hiks, adikku, Jungwon."
Jungwon menoleh, "tenanglah, tenanglah."
Bahkan Jungwon sendiri tidak bisa tenang. Dengan inisiatif sendiri, Jungwon merogoh ponselnya dan menekan panggilan pada nomor Yoshi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Différent [✓]
Fanfiction❝Life is based on differences between two people with different bodies❞ © matchavesper, 2023.