BCB 13

6.6K 223 5
                                    

🍁Anggun POV 🍁

Setelah tahu kalau calon suami Michelle adalah Rangga, aku jadi pusing sendiri mencari cara agar perempuan itu mau pengerjaan gaunnya diurus oleh karyawan, atau kalau bisa Michelle tidak jadi membuat gaun di butikku, itu jauh lebih melegakan.

Meskipun ini adalah projek besar, mengingat Michelle termasuk anak konglomerat yang bisa dibilang circle kehidupannya ada di kelas tertinggi, itu tentu sangat menguntungkan kemajuan butikku untuk mendobrak brand-brand luar negeri yang saat ini lebih banyak di gemari orang-orang kaya di Indonesia ketimbang produk buatan dalam negeri. Tapi tetap saja, kehadirannya membuatku benar-benar tak tenang.

"Please... Aku maunya gaun aku hasil karya dari tangan Mbak Anggun sendiri... Aku bakal bayar dua kali lipat... Yaahhh" kata Michelle memohon dengan tangan bertangkup didepan wajahnya kemarin.

"Ini bukan soal uang, tapi saya emang lagi ada banyak kesibukan." Sahutku tak enak karena sudah berjanji dan menyanggupi permintaan Michelle diawal bertemu. Kalau saja dari awal aku tahu siapa dia, aku mungkin menolak membuat gaunnya.

"Mbak Anggun please... make me a dress from your fingers..." Mohon Michelle lagi kali ini menggenggam jemariku.

Aku terdiam seraya melepaskan genggamannya. Mengangguk pelan untuk membuatnya berhenti memaksa. "Nanti saya pikirin lagi yaa..." Kataku diakhir pertemuan sia-sia kami.

Malamnya aku terkejut ketika Serena menelfon dan mengatakan bahwa ada surat ajakan kerja sama dari sebuah perusahaan ternama yang tak lain Elia Mediatama. Itu artinya hasil karyaku akan masuk ke dalam majalah fashion dan aku memiliki kesempatan untuk berkompetisi membawa karya anak bangsa ke kancah yang jauh lebih luas.

Lagi-lagi disisi lain aku menyadari bisa jadi itu bukan keinginan pihak perusahaan, melainkan keinginan Michelle, anak dari pemilik perusahaan.

Karena ingin mengamankan Bintang dan Cahaya dari siapapun, terutama Rangga, aku minta tolong pada Wulan agar menemani kedua anakku itu setelah pulang sekolah. Jadi mereka tak perlu ke butik, dan orang-orang tak akan menanyakan mereka siapa.

"Mama hari ini pulangnya malam. Abang sama Adek nanti nggak usah ke butik yaa... Dirumah ada Tante Bulan sama temen-temen dari panti. Jadi dirumah nggak sepii... Oke..." Kataku pada Bintang dan Cahaya yang tampak senang mendengar anak panti akan datang ke rumah.

"Okeeeee Maa!!!" Ucap keduanya bersamaan lalu meninggalkan ku sendirian yang sebentar lagi juga akan berangkat ke kantor untuk melanjutkan hari-hari magang yang penuh cobaan.

Setelah bersiap aku memanaskan motor sebentar dan berangkat. Disepanjang jalan aku memikirkan bagaimana caranya agar dalam waktu dekat ini aku bisa dekat dengan seseorang, merasa nyaman, jatuh cinta, lalu menikah dan hidup bahagia. Meski mustahil berjalan mulus, bukankah tak ada salahnya aku mencoba? Meskipun mungkin kunci gembok hatiku sudah berkarat saking lamanya tak pernah dibuka.

Di parkiran aku bertemu dengan Clara yang ternyata juga baru sampai. Kami pun berjalan beriringan menuju ruangan.

Rangga belum datang, aku dan Clara mengobrol ringan.

Sejam, dua jam, tiga jam, hingga masuk waktu makan siang, Rangga tak juga datang. Aku berusaha tak peduli meski sadar didalam hati bertanya-tanya kenapa laki-laki itu tak masuk kerja tanpa kabar. Untungnya tak ada yang datang mencari, sehingga kami tak perlu menyahut tidak tahu, atau terpaksa berbohong untuk nama baiknya sebagai Pimpinan Redaksi yang disiplin waktu.

Hingga sore dan waktu pulang tiba, Rangga benar-benar tak muncul batang hidungnya. Aku menebak-nebak ada apa dengannya.

Entah dapat bisikan dari jin apa, aku dengan ringan membelokkan stang motorku menuju jalan raya yang seharusnya tak akan ku lewati lagi. Dan kini aku berhenti seperti orang tersesat tak tahu jalan hanya untuk menatap sebuah rumah bertingkat yang tak berubah sedikitpun kecuali pohon palem yang bertambah tinggi.

Bersama Cahaya Bintang (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang