BCB 15

7.3K 221 7
                                    

"Jangan menyerah, kamu sudah terlalu jauh melangkah. Siapa tahu sebentar lagi garis finisnya..."

🍁 Anggun POV 🍁

Gara-gara kejadian tadi malam, aku hari ini bangun kesiangan. Tidak mungkin mengurus diriku yang sudah pasti terlambat ke kantor, aku membangunkan Bintang dan Cahaya agar mandi untuk bersiap ke sekolah. Sementara mereka mandi, aku menyiapkan bekal dan sarapan pagi secepat mungkin.

"Mudahan Kak Rangga nggak masuk lagi hari ini..." Batinku tanpa sadar sambil mengaduk susu coklat dan stroberi.

Melirik jam dinding, aku bergegas kembali ke kamar untuk melihat apakah Bintang dan Cahaya sudah selesai mengenakan seragam mereka.

"Abang sama adek mama tunggu di dapur yaaa..." Kataku pada mereka yang ternyata sudah mengenakan seragam.

Mungkin kalian bertanya-tanya apakah Bintang dan Cahaya benar semandiri itu? Jika anak kecil seusia mereka biasanya masih diurus orang tua atau pengasuh, kedua anakku sudah ku latih sejak kecil agar bisa melakukan hal-hal kecil seperti mandi, makan dan pakai seragam tanpa harus mengharap bantuan orang lain. Bukan tak tega, tapi aku ingin mereka paham bahwa berharap pada orang lain adalah hal yang paling menyakitkan. Itulah kenapa selagi bisa melakukan sendiri, aku ingin mereka tak bergantung pada siapapun.

Tak lama Pak Harto datang, aku bergegas keluar untuk membukakan pintu gerbang. Bintang dan Cahaya yang juga mendengar suara klakson segera menghabiskan sarapannya.

Setelah anak-anak berangkat, tersisalah aku seorang diri yang berdiri didepan gerbang menatap jalanan hingga mobil itu menghilang.

Belum mandi, belum makan, dan belum-belum yang lainnya, aku rasanya belum sanggup bertemu orang-orang diluar sana setelah moment menegangkan malam tadi. Entah itu menakutkan atau memalukan, yang pasti aku merasa apa yang Bu Farah katakan akan terjadi dalam waktu dekat ini. Keberadaan Michelle membuat Rangga lebih mudah mengetahui bagaimana kehidupanku.

"Aku harus nikah..." Bisikku pada diriku sendiri berusaha menyemangati. Setidaknya setelah aku memiliki suami, Rangga tidak akan memiliki akses untuk menguak masa lalu yang membuatku muak.

Menatap wajah dicermin itu, mungkin aku sekarang harus lebih berani berekspresi. Toh semua orang pasti memiliki masa lalu pahit, masing-masing pernah melalui episode kehidupan yang tidak pernah mereka inginkan, namun mau tidak mau harus tetap dilewati karena itulah tanda bahwa kita hanyalah hamba yang memerankan takdir yang telah tertulis sekian lama.

Jika biasanya aku hanya menggunakan pelembab bibir tanpa warna, hari ini mungkin aku harus menambahkan sedikit merah muda layaknya perempuan diluar sana dan mungkin sedikit taburan bedak padat diatas suncreen.

Menatap jam tangan dipergelangan, aku menarik nafas mencoba tetap tenang meski waktunya sudah lewat hampir setengah jam.

Ditambah bensin motor ku yang sisa sedikit, sepertinya aku harus ke pom dulu hingga total keterlambatan ku akan pas setengah jam atau mungkin lebih jika nanti mengantri.

Dan masalah tadi malam, sudahlah tak perlu terlalu ku pikirkan. Bu Seroja mungkin berpikir bahwa anak yang dimaksud Michelle adalah anak panti yang sering ku ajak ke rumah, namun Rangga. Ah sudahlah...

Sampai di kantor aku bergegas meski rada aneh dan tidak enak ketika mendapati orang-orang seperti tengah menatapku. Mencoba mengabaikan orang-orang yang tak ku kenal itu, aku menghubungi Clara lewat WhatsApp untuk menanyakan apakah Rangga sudah datang atau kembali meliburkan diri seperti kemarin. Namun hingga sampai didepan ruangan Rangga, Clara juga tak membalasnya. Aku jadi menebak-nebak dan merasa bersalah jika saat ini anak itu tengah sibuk mengerjakan banyak hal seorang diri.

Bersama Cahaya Bintang (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang