BCB 53

3K 134 3
                                    

"Aku berhasil menata ulang yang kemarin berantakan. Aku memilih berdamai dengan banyak hal yang tidak bisa aku paksakan. Ada beberapa part yang menyakitkan dalam hidup namun cukup dijadikan pelajaran. Mari mulai hari dengan berharap bertemu hal-hal baik didepan sana"

Anggun POV 🍁

Tak terasa setahun berlalu. Aku sudah menyelesaikan kuliahku dengan IPK cukup memuaskan meski bukan yang tertinggi di jurusan. Bintang dan Cahaya pun kini sudah berada dikelas dua. Mereka sudah mulai bisa membaca meski masih mengeja. Aku jadi semangat mengoleksi beragam buku anak-anak dengan gambar memikat agar mereka semakin semangat.

"Tingkat dua, dindingnya kaca semua..." Kataku pada seorang laki-laki cukup muda sambil membayangkan seperti apa nanti jadinya bangunan itu.

Semenjak menjalin hubungan rutin dengan Yayasan Butterfly, aku semakin percaya bahwa berbagi itu mendatangkan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan bagaimana rasanya. Berbagi tak hanya tentang harga seperti uang atau pakaian, namun juga tenaga, perasaan, motivasi, dan senyuman.

Meski tak mudah, terlebih aku samasekali tak memiliki basic psikologi, namun pengalamanku yang hampir mirip dengan keadaan mereka membuatku berani bersuara. Mencoba memancing naluri mereka agar bangkit, agar sadar bahwa hidup hanya sekali, dan tidak adil untuk diri kita sendiri jika memilih bersembunyi dari tantangan hidup yang lebih keras diluar sana. Aku tahu tak mudah mengembalikan kepercayaan diri ketika diri sendiri saja merasa jijik, merasa bukan lagi wanita terhormat, merasa masa depan hancur, merasa tak adil, merasa Tuhan terlalu kejam dan lain sebagainya. Dulu aku pernah merasakan itu, sama persis dengan yang merasa alami saat ini.

"Makasih yaa Nak, Ibu nggak nyangka mereka akan sadar secepat ini" kata Bu Freya sambil memandang bangga belasan perempuan dari Yayasan Butterfly yang kini mengikuti pelatihan menjahit.

Aku sendiri tengah mempersiapkan cabang butik Cahaya Bintang yang ku khususkan untuk para perempuan di Yayasan Butterfly agar mereka bisa bekerja dan berkarya.

"Oh iyaa, Ibu boleh minta tolong nggak Nak?"

"Apa Bu?"

"Kalau kamu punya temen perempuan yang baik dan belum menikah, Ibu mau ambil mantu..."

"Nanti saya carikan yaa Bu" kataku sambil tertawa mendengar permintaannya. "Emang Pak Devan nggak bisa cari sendiri sampai Ibu harus turun tangan?" Tanyaku penasaran. Oh iya, Bu Freya, pemilik yayasan Butterfly ini ialah Ibu kandung Devan, guru Bintang.

"Dulu nggak mau, sekarang minta Ibu aja katanya yang nyariin istri." Sahut Bu Freya sambil tertawa.

Setelah beberapa menit berbincang hal yang menurutku tak terlalu penting, aku pamit pulang.

Singgah makan siang di restoran, tak lupa aku membeli beberapa bungkus untuk dibawa pulang, juga untuk Rangga yang masih ditahan.

Belum selesai makan, aku syok ketika ada seseorang yang menyentuh  pahaku. Dan lebih terkejut lagi ketika tahu yang melakukannya adalah laki-laki dibawah umur, yang sepertinya baru belajar berjalan.

"Aaa! Hemmm!" Celoteh anak itu menatapku, tangannya yang mungil masih berpegangan dipahaku. Kebetulan aku memang menggunakan gamis brokat yang bercorak bunga-bunga, mungkin itulah yang mengundang perhatiannya.

"Haii kamu anak siapa?" Celotehku seperti orang gila mengajaknya bicara yang sudah pasti tak paham dan tak akan menyahut apa yang ku katakan.

Bersama Cahaya Bintang (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang