BCB 29

3.8K 182 24
                                    

"Jangan karena Tuhan bilang anak Adam tidak luput dari salah dan dosa, lalu kamu semena-mena menyakiti manusia lainnya"

Anggun POV 🍁

Aku membawa mobilku laju menuju rumah sakit Bhayangkara. Ada perasaan takut kalau-kalau waktu tak berpihak dan aku terlambat mendengar suaranya. Aku ingin tahu apa yang akan Papa katakan saat melihatku lagi setelah tujuh tahun tak bertemu.

Karena tadi tak bertanya nomor ruangannya, kini aku berdiri gelisah mengantri didepan meja resepsionis untuk bertanya dimana Papa dirawat.

Aku berkali-kali menatap jam tangan seraya menoleh ke resepsionis, berharap perempuan berambut pendek itu mendahulukan diriku. Benar saja, perempuan itu tersenyum lalu memberi kode agar aku berjalan ke depan. Baru ingin bertanya, perempuan itu menyerahkan secarik kertas lalu kembali melayani orang dihadapannya.

Aku berjalan cepat setelah mendapatkan nomor kamar Papa. Meski masih ada ragu apakah keputusan ku ini benar, menemui mereka yang dulu membuang ku, itu cukup menurunkan harga diri.

Tapi, kalau saja yang tersampaikan adalah kebenaran pada Mama dan Papa, bisa jadi yang keluar rumah malam itu ialah Rangga, mungkin. Karena meskipun aku bukan anak kandung, mereka tak pernah memperlakukan ku berbeda dari Rangga. Bahkan bisa jadi perhatian mereka padaku lebih besar lantaran aku tak mendapatkan hal itu saat bayi.

Karena sibuk dengan isi kepalaku yang tak kunjung berhenti berbincang, aku tak sadar kini sudah berdiri didepan ruangan laki-laki berumur itu dirawat.

Aku berdiri beberapa detik didepan pintu, mematung, lagi-lagi berperang dengan isi pikiran ku yang mengatakan bahwa ini adalah caraku menurunkan harga diri. Tapi hatiku mengatakan hal lain. Bukankah tujuh tahun ini aku berjuang untuk memaafkan mereka, mengikhlaskan apa yang telah terjadi agar ruang masa depanku lebih luas tanpa perlu terpengaruh dengan hal-hal menyakitkan dimasa lalu yang akan terus membelenggu jika dipelihara.

Aku memegang kenop pintu yang terasa begitu dingin. Ku tekan pelan hingga pintu terbuka sedikit tanpa menimbulkan suara sekecilpun.

Lagi-lagi aku hanya berdiri, kembali bertanya apakah artinya detik ini aku telah berdamai. Luka itu mungkin belum sembuh, namun sakitnya tidak terasa karena hatiku jauh lebih luas dari luka yang mereka torehkan.

"Masuk Nggun..." Suara Rangga menyadarkan ku yang masih mematung didepan pintu.

Aku mendorong pintu pelan hingga ranjang rumah sakit dan orang yang ada diatasnya terlihat. Aku tercengang melihat Papa dibantu tabung oksigen. Apa yang terjadi dengannya?

Berjalan kaku mendekati ranjang itu, aku berusaha menahan mataku agar tak melirik Rangga yang duduk ditepi ranjang sebelah kiri.

Papa, entah tidak sadarkan diri atau memang tidur, aku kembali menahan bibirku yang gatal untuk terbuka dan bertanya ia sakit apa.

"Papa kena serangan jantung..." Kata Rangga memberitahu.

Aku menatap laki-laki itu sekilas lalu kembali memandangi Papa, berharap laki-laki itu bangun lalu melihat kehadiran ku disini. Dari dekat, keriput diwajahnya lebih kentara, juga rambut putihnya yang hampir semua bahkan sulit mencari rambutnya yang masih berwarna hitam.

"Dari kapan?" Kataku mencoba melepaskan segala ego harga diri demi mengetahui kondisi Papa.

"Tadi malam..."

Bersama Cahaya Bintang (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang