22 - Semesta

152 15 0
                                    

Warning: Semua tindakan dan ucapan kasar disini tidak untuk ditiru. Mohon bijak dalam membaca!

*

Dunia memang selucu itu.

Menurut Raksa, kalimat itu bukan sembarang kalimat. Ada banyak pesan mendalam yang jika ditelusuri, maka manusia bisa saja terkejut.

Malam ini hujan. Udara dingin. Dan Alfamart sepi. Yah, mungkin ini adalah izin agar Raksa dan pegawai lain bisa istirahat. Karena sedari sore tadi, banyak pengunjung yang cukup membuat mereka semua kawalahan.

"Aduh! Gila capek gue!" Celoteh Ari yang sudah mendudukkan diri di lantai. Cowok itu memang terlihat begitu lelah.

Mbak Widia juga ikut duduk di lantai. Entah kenapa di malam yang dingin ini, mereka malah bermanja ria dengan lantai yang tak kalah dingin.

"Sa, sini duduk," panggil mbak Widia.

Merasa tidak sopan jika tidak mengikuti, maka Raksa pun dengan lapang dada duduk juga di lantai.

"Hari ini capek banget!" Gerutu Ari lagi tiada henti. Yah, cukup dimaklumi. Sekolah cowok itu sedang libur hari ini, jadi dia dengan semangat mengambil full day untuk kerja.

"Iya, hari ini emang capek banget!" Balas mbak Widia.

"Nih, kopi dulu!" Mbak Wulan datang dengan empat cangkir kopi. Ia dengan baik hati menyajikan satu per satu.

"Wuihh! Tau aja nih mbak!" Riang Ari yang langsung mengambil jatah kopinya.

Mbak Wulan ikut duduk, membuat mereka berkumpul semua. Dan banyak cerita yang secara langsung mengalir dengan santai.

Raksa hanya diam, mendengarkan sambil menyesap kopi.

"Menurut kalian, seberapa menyebalkannya semesta ini?"

Semua orang termasuk Raksa menatap mbak Wulan yang tiba-tiba saja bertanya. Agak aneh mendengar pertanyaan yang terkesan ambigu seperti itu.

"Semesta, ya?!" Ari termenung sesaat. "Sebenarnya semua itu tergantung setiap sudut pandang. Tapi dalam sudut pandang gue, semesta itu ngak terlalu nyebelin. Tapi hanya terlalu keras dalam bercanda dan melatih manusia!"

Ari menyesap kopinya. "Jadi kalau ditanya seberapa menyebalkannya semesta, ya... Penilaian gue lima puluh lah!"

Unik.

Jawaban Ari cukup unik! Namun, itu tidak salah. Semua kesimpulan tergantung pada masing-masing sudut pandang. Layaknya debat capres yang kini sedang booming. Masing-masing individu punya sudut pandang berbeda terkait siapa yang lebih baik.

"Yah! Kalau dalam sudut pandang gue, semesta itu lebih mengarah ke kejam! Melatih manusia terlalu keras tanpa peduli sakitnya manusia itu," mbak Widia menggeleng-gelengkan kepala, "itu kan jahat! Jadi menurut gue semesta sangat menyebalkan! Seratus persen!"

Mbak Widia punya pandangan akan kejamnya semesta yang memang, kadang ngak ngotak! Raksa tidak akan menampik itu. Karena faktanya saat ini, dirinya menjadi korban akan kekejaman semesta itu.

"Kalau Raksa gimana?" Tanya mbak Wulan. Tertarik untuk mendengar pendapat dari sudut pandang cowok dingin itu.

Raksa termenung. Menurutnya?

ERAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang