12 - Broken Fell

230 20 1
                                    

Warning : Semua tindakan dan ucapan kasar disini tidak untuk ditiru. Mohon bijak dalam membaca!

*

Saat kaki Raksa menapaki koridor kelasnya, bel pulang bergema nyaring. Menimbulkan suara gaduh dan krasak-krusuk para murid.

Raksa langsung saja masuk ketika guru di dalam kelas sudah keluar. Ia segera meraih tasnya dan langsung berbalik untuk pulang.

Raksa tidak seperti biasanya.

Cowok itu tergesa-gesa. Ia ingin pergi ke suatu tempat. Menemui seseorang yang sangat spesial. Yang namanya tidak pernah luntur dari hatinya. Satu-satunya manusia yang selalu mendukungnya, dulu.

Di kejauhan, Nara melihat langkah buru-buru cowok itu. Ia penasaran. Jujur, Nara ingin tau dimana rumah si cupu. Jadinya, dia langsung ke parkiran motor untuk mengambil motornya.

Dirinya ingin mengikuti Raksa.

"NARA! MAU KEMANA LO?"

Itu suara Saski. Cewek itu berteriak saat melihat Nara terburu-buru ke parkiran.

Nara tidak menjawab. Ia hanya melambaikan tangan ke atas tanpa berbalik. Nara tidak ingin membuang waktu dan berakhir kehilangan jejak Raksa.

"Sialan si Nara! Mau kemana sih?!" gerutu Saski kesal.

"Mau balapan mungkin," ucap Vera sambil memperhatikan kulitnya. Cewek itu masih tidak terima.

Saski mengerutkan kening. Ini masih siang. Nara yang dikenalnya tidak pernah mau balapan di siang hari. Cewek itu terlalu malas dengan udara yang panas.

"Mustahil," gumam Saski.

*

Tangan Raksa menggenggam sebungkus bungan dan sebotol air yang dibelinya dari penjual bunga di sekitar sini. Kakinya melangkah memasuki area pemakaman umum.

Sampai pada satu gundukan beratas namakan seorang wanita yang semasa hidupnya selalu memberikan cinta dan dukungan untuk Raksa.

Sifabella Ulani.

Mama, batin Raksa. Ada perih yang berdenyut sakit di hati Raksa. Ada rindu yang sampai saat ini membuncah hebat dalam dirinya.

Raksa duduk di samping makam. Tidak ia pedulikan celana sekolahnya yang akan kotor. Tangannya membersihkan makam sang mama. Ia kirimkan banyak doa. Setelahnya ia taburkan bungan dan menyiraminya dengan air.

Setelah semua selesai, Raksa menatap makam sang mama dengan sendu. Tidak ada air mata yang jatuh. Raksa sudah melewati masa dimana ia membuang air matanya dengan sia-sia.

Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Padahal banyak hal yang ingin dia ucapkan, tapi semua itu seolah menguap hilang entah kemana.

Tiupan angin menerjang tubuh Raksa. Menerbangkan daun-daun kering yang tergeletak di tanah. Menggoyangkan rimbunya pohon sehingga menciptakan suara gemericik yang setidaknya sedikit menenangkan hati Raksa.

Raksa menarik napas. Berusaha menghilangkan sesak di dada. Tangannya mengelus nisan sang mama.

"Ma... Maaf karena lama ngak datang," tutur Raksa pelan. Tenggorokannya tercekat.

Raksa menghela napas. Ia bangkit berdiri. Ia sunggingkan senyum tipis di bibir. "Raksa pergi dulu. Assalamualaikum ma!"

Setelahnya Raksa berjalan meninggalkan makam tersebut. Tanpa ia sadari kalau ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh.

ERAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang