• BUNDA KARIN

948 89 0
                                    

Sesampainya di depan pintu utama, afan membukanya dan langsung masuk ke ruang tengah sambil berteriak,

   "Afann anakmu yang ganteng ini pulang!"
Devi mengeratkan genggamannya pada afan.

Sedikit muak saat mendengar teriakan afan barusan. Tapi, rasa gugupnya lebih mendominasi saat ini.

Namun tak lama, terdengar suara langkah kaki dari lantai atas rumah itu terdengar. Dan muncul lah seorang anak kecil dengan tangan memegang sebuah bola berwarna-warni.

   "Aa!" teriaknya, lalu menuruni tangga dengan terburu-buru.

   "Pelan-pelan, nanti jatoh," ujar afan. Tak lama, anak kecil itu sampai di lantai dasar, lalu berlari memeluk kaki afan.

    "A kenapa balu pulang?" tanyanya. Afan melepas genggaman tangan devi, kemudian berjongkok menyamakan tingginya dengan anak kecil yang bernama Raffa.

   "Kenapa? Kangen?" tangannya mencubit gemas pipi Raffa sampai Raffa meringis kesakitan.

Rasanya kurang afdol saja, kalau tidak membuat adiknya itu kesal atau menangis.

   "A'a ke mana aja? Affa gak punya temen tau," ujarnya membuat afan gemas, lalu mengacak puncak kepala adik kesayangannya yang baru berumur empat tahun.

   "Bunda mana?" Raffa tak menjawab, ia malah melihat ke arah devi dengan pandangan bingung.

   "Oh ya, Raffa ini namanya Teh Devi." Devi ikut berjongkok di samping afan.

   "Halo ganteng. Nama aku devi, kamu siapa?" sapa devi.

   "Affa, Teh," jawabnya. Devi gemas mendengar jawaban dari bocah kecil itu lalu mencubit Gemas pipinya.

   "Teteh pacalnya A'a, ya?" tanya Raffa dengan mata bulatnya.

   "Raffa, masih kecil udah ngomong pacar-pacaran ya!" suara Karin, bunda afan, tiba-tiba turun dari tangga.

   "Eh, Bunda. Happy birthday My Super Woman!" seru afan langsung memeluk bundanya.

   "Telat banget kamu! Ulang tahun Bunda udah lewat tiga hari yang lalu juga!" ujar Karin, namun ia tetap mengambil paper bag di tangan afan.

   "Hehe yang penting kan masih inget sama bundanya." Afan hanya cengengesan saat dirinya merasa disindir oleh bundanya.

   "Wah, Siapa nih A?" tanya Karin yang penasaran akan cewek di samping anaknya.

   "Pacar, Bun. Cantik, kan?" Afan merangkul pinggang devi mesra di depan bundanya.

Devi yang salah tingkah sekaligus malu, langsung mengempas tangan afan.

   "Maaf Tante, afan suka ngawur kalo ngomong," ujar devi tak enak hati. "Aduh, malu-malu segala. Panggil Bunda aja biar akrab," sahut Karin.

Devi ditarik Karin untuk duduk di sofa ruang keluarga. Sementara afan dan raffa mengekor di belakangnya.


   "A bilang Bibi sana siapain minum, sekalian masak yang banyak malam ini," perintah Karin. Afan pun alangsung berjalan menuju dapur.

   "Tapi Tan, eh Bunda. Gak usah repot-repot aku gak lama pulang kok," ujar devi yang mengerti maksud Karin.

   "No, no, no. Baru dateng masa langsung pulang, sih? Makan malam dulu di sini. Kalo enggak mau, ya gak boleh pulang."

Devi baru menyadari sifat pemaksa afan, ternyata dari bundanya. Tiba-tiba terdengar suara hujan dari luar jendela,

menandakan hujan turun dengan derasnya. Seperti tak mendapat izin pulang, akhirnya devi pasrah mengikuti kemauan Karin.

Afan tersenyum samar saat mendapati devi menggangguk pasrah. Karin menyuruhnya untuk tinggal sampai hujan berhenti.


                                          ****

Devi sangat menyukai sifat Karin yang hangat padanya. Saat ini, mereka tengah berbincang layaknya sudah kenal lama.

Devi merasa nyaman saat berbincang dengan Karin, seperti tengah berbincang dengan mamanya sendiri.

Andai mamanya tak sesibuk sekarang, sudah pasti rasanya akan sama seperti saat ini.

   "Jadi, afan itu Kakak Kelas kamu ya di sekolah?" tanya Karin penasaran. Dalam hatinya selalu saja

membangga-banggakan afan putranya, yang memiliki pacar secantik dan sesopan devi.

  "Iya, Bun," jawab devi malu-malu. Sementara itu, afan kini tengah bermain dengan Raffa, karena dari tadi adiknya merengek ingin bermain bersamanya.

Padahal afan penasaran akan topik yang dibicarakan devi dengan bundanya.

   "Bunda jadi inget zaman-zaman SMA dulu. Bunda juga sama ayahnya afan dulunya senior-junior,"cerita Karin.

Pandangannya lurus ke depan seperti tengah mengingat masa-masa sekolahnya.

   "Oh, ya?" Devi mulai tertarik akan topiknya saat ini. Entahlah menurutnya cerita cinta orangtua zaman dulu terasa lebih romantis.

   "Dulu tuh Bunda punya geng gitu terus sering ribut sama ayahnya afan. Padahal dulu ayah afan

itu kelas dua belas,bunda kelas sepuluh. Tapi Bunda gak ada takut-takutnya tuh sama kakak kelas."

"Mungkin karena keseringan ribut jadi gak sadar sebenarnya dulu tuh saling memperhatikan satu sama lain.

Emang benar ya kata orang tuh, jangan terlalu benci sama orang nanti jadi cinta. Bunda jadi ngerasain sendiri sekarang," lanjutnya.

Devi mendengarnya dengan saksama. Seperti sedang menonton reka ulang adegan Karin, ia sampai membayangkan dirinya dan afan yang

sama persis dengan cerita Karin. Setelah lama mendengarkan kisah cinta Karin, lalu Karin sendiri menanyakan perihal hubungannya dengan afan.

"Kamu sendiri gimana sama afan? Dia gak jailin kamu, kan?"

"Apaan Bun, tiap hari aku dijailin sama dia," adu devi.

"Hahaha, maklum ya dia anaknya emang usil dari kecil. Waktu itu, Bunda pernah dikunciin di WC gara-gara pernah ngelarang dia main terus."

Hah? Gila tuh anak. "Terus Bunda gimana abis itu?" Devi semakin tertarik dengan cerita Karin.

Penulis cerita
Ig: chelseamelaniputri_

Next ?
Jangan lupa ikuti
Minimal Hargain dongg kalo udah baca votee and comen

DEFAN COUPLE GOALS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang