•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Makan malam di kediaman Bani dan Lia malam itu terasa tenang. Tidak seperti biasanya. Avin, si anak bungsu sesekali terkikik kecil saat Bani tak sengaja menyuapi pipinya alih-alih mulutnya. Lia juga sesekali melirik anak sulungnya yang tumben sekali tenang bahkan makan dengan tanpa suara. Lia merasa aneh dengan suasana setenang ini di rumahnya. Biasanya anak sulungnya ini akan mengoceh panjang mengenai kekesalannya terhadap Lena.
Lia menoleh dan menyenggol pelan lengan suaminya yang masih asyik dengan kegiatannya menyuapi Avin. Bani yang disenggol oleh sang istri pun menoleh dan menautkan alisnya seolah bertanya ada apa kepada Lia. Wanita itu melirik Alan yang malah asyik menambah nasi ke piringnya. Bani yang melihat itu tentu bingung. Lia berdecak kecil karena suaminya malah tak memahami kodenya sama sekali. Alhasil, wanita itu pun berinisiatif membuka suara lebih dulu.
“Tumben. Biasanya ngomel. Kenapa?” tanya Lia kepada anaknya.
Alan yang ditanya begitu langsung menatap Ibunya dengan tatapan bingung. “Mama nanya Alan?” tanya Alan sambil menunjuk dirinya sendiri.
Lia memutar bola matanya jengah. “Mama nanya tukang sapu depan rumah.”
Alan mengangguk paham yang mana malah membuat Lia berdecak kesal. “Mama nanya kamu dong, Lan. Masa iya Mama nanya tukang sapu beneran.”
“Oh, bilang dong. Alan mana paham kode-kode begitu. Alan ’kan laki, mana paham kode-kode cewek. Memang kenapa sih, Ma? Alan ribut salah, Alan diem juga salah. Heran deh. Salah mulu laki-laki tuh di mata perempuan. Apa Alan ganti kelamin aja jadi cewek biar enggak salah lagi di mata Mama?” balas Alan dengan nada bercanda.
Lia langsung melotot tajam. “Mama coret kamu dari kartu keluarga!”
“Alan cari keluarga baru aja. Gampang,” balas Alan sambil menyeringai lebar.
Lia mengembuskan napas panjang dan kemudian menatap Bani. “Anak kamu tuh!” ucapnya sambil menggendong Avin yang memang kebetulan sudah selesai makan.
Bani menatap kepergian anak bungsunya dan sang istri dengan tatapan geli. Ia kemudian menatap Alan dan berkata, “hobi banget bikin kesel. Anak siapa sih?”
Alan malah tertawa kecil. “Anaknya Bani sama Lia.”
Bani terkekeh geli. “Mama kamu bener lho. Biasanya kamu ngomel mulu ngomongin Lena yang bikin kamu kesel. Sekarang kok tumben adem-ayem?” tanya Bani yang juga penasaran.
Alan mengangkat bahunya acuh. “Capek mungkin. Lagian Papa enggak bosen dengerin Alan ribut mulu sama anaknya Om Satya?” balas Alan bertanya.
“Capek sih. Lagian kamu sama Lena tuh waktu kecil lengket kayak perangko. Gedenya malah ribut mulu.” Bani bercerita.
“Papa halu nih. Enggak mungkin Alan sama Lena waktu kecil lengket. Emang dikasih lem nasi, ya?” ucap Alan tak terima.
“Bener tau. Dulu waktu kami reunian SMA dan bawa anak-anak, Lena mana mau deket-deket sama anak temen-temen kami yang lain. Nempel sama kamu mulu. Pernah deh anaknya temen Papa tuh nyoba dideketin ke Lena eh malah si Lena tabok pake dot. Nangis deh,” ujar Bani.
“Wah, biang kerok dari kecil.” Alan mengomentari.
Bani mendelik kecil. “Kamu juga sama. Pas Lena ulang tahun yang kelima, kamu malah niup lilin ulang tahunnya dia. Sampe nangis si Lena. Orang tua pada kerepotan tenangin dia eh malah waktu kamu ajak nyari berudu, diem tuh anaknya. Memang prik sejak dini kalian berdua tuh.”
“Prik gini ya cetakan dari mana? Dari Papa dong! Alan prik, ya berarti gara-gara Papa.” Alan menyahut.
“Dih, nyaut aja anaknya Lia.” Bani membalas.
“Si lakinya Lia malah enggak mau kalah,” balas Alan.
“Apa sih anaknya Lia, lakinya Lia. Mau tidur di luar, ha?”
Keduanya menoleh dan mendapati Lia sedang menatap mereka sambil berkacak pinggang.
“Eh, Avin mana, sayang?” tanya Bani mencoba mengalihkan pembicaraan. Lia mendelik kecil. “Udah bobo. Kalian beresin meja makan gih,” ucapnya dengan nada ketus.
Bani langsung berdiri dan memeluk pinggang Lia. “Nganggur nih. Sabi kali, yang?” ucap Bani yang mana membuat Alan pura-pura muntah.
Lia menatap anaknya dan kemudian berkata, “kamu beresin nanti, ya. Papa sama Mama mau ada urusan.” Alan memutar bola matanya jengah saat menatap kepergian Lia juga Bani.
“Udah tua masih aja hobi berkuda,” desis Alan.
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Keesokan harinya, Alan berlari menyusuri koridor sekolah. Hari ini ia terlambat bangun karena semalam ia hampir tak bisa tidur karena suara-suara haram yang berasal dari kamar orang tuanya. Koridor terasa sepi karena sudah jam pelajaran. Alan berdoa semoga saja guru yang mengajar di kelasnya belum masuk.
“Sialan. Mana jam guru killer lagi!” desis Alan sambil menaiki tangga. “Ini siapa sih yang ngide kelasnya di lantai dua? Capek banget. Kagak ada lift gitu?” dumel Alan.
Begitu tiba di lantai dua, ia tak sengaja melihat ada guru yang seharusnya mengajar ke kelasnya sedang keluar dari kelasnya dan berjalan menuju toilet. Alan menarik napas dalam-dalam dan segera berlari masuk ke dalam kelasnya yang mana murid-murid di sana sedang mengerjakan tugas yang ada di papan tulis.
Alan segera duduk dan langsung menatap Ajun yang kini menatapnya dengan tatapan geli. “Udah absen belum?” tanya Alan.
Ajun menggeleng. “Sama Pak Basuki biasanya absen di akhir, ’kan? Lo tumbenan telat.” Ajun menjawab.
“Adalah pokoknya. Tugas dikumpul apa dikerjain di rumah?” tanya Alan sambil grasak-grusuk mencari buku tugasnya.
“Dikerjain sebisanya trus pas bel istirahat dikumpul,” jawab Ajun. Alan mengangguk paham dan langsung mengerjakan tugasnya dengan secepat yang ia bisa.
Tak lama guru tadi kembali masuk. Suasana kelas kembali tegang sampai Lena membuka suara.
“Pak, Alan tadi baru dateng waktu Bapak ke toilet.”
Alan memejamkan matanya dan mengumpat. “Anjing,” desisnya dengan nada pelan.
Guru tersebut langsung menatap Alan dengan tatapan tajam. “Bener, Alan?” tanyanya dengan nada ketus.
Alan mendongak dan mengangguk pelan. Guru tersebut langsung menyuruh Alan untuk maju ke depan dan berdiri di pojok ruangan sambil mengangkat satu kakinya. Alan menurut dan menatap Lena dengan tatapan tajam.
Awas aja lo, Len! Batin Alan kesal.
Lena yang ditatap pun menjulurkan lidahnya tanda mengejek. Alan semakin menajamkan tatapannya dan mengumpat di dalam hati.
Ajun dan Jeje yang melihat pun hanya bisa menggelengkan kepala mereka dengan pelan. Tak ada habisnya memang pertengkaran antara Lena dan Alan tuh. Sampai kapan coba?
Amel menyenggol lengan Lena dengan pelan hingga gadis itu menoleh dan menatap Amel dengan tatapan bertanya. “Enggak kasian, Len?” tanya Amel sambil berbisik.
Lena membalas sambil berbisik juga, “ngapain kasian? Siapa suruh telat masuk?”
Amel menggelengkan kepalanya dan kemudian kembali fokus dengan tugasnya. Sasa yang mengamati dari tadi juga pasti paham apa yang dibicarakan kedua temannya itu.
Kayaknya berharap mereka baikan tuh mirip berharap bulan jadi dua, ya? Batin Sasa nelangsa.
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
•.¸♡ Bab 11
•.¸♡ ditulis oleh girlRin
KAMU SEDANG MEMBACA
[01] Hello, My Dear Enemy ✔
Novela JuvenilStory 01. [ Hello, My Dear Enemy ] By : @girlRin @TiaraAtika4 ▪︎▪︎▪︎▪︎ Alan dan Lena itu seperti air dan minyak, takkan bisa bersatu. Berharap mereka akur sama saja seperti berharap matahari terbit dari barat. Bertemu setiap hari sejak masih kecil...