•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Keesokan harinya, Lena berangkat ke sekolah dengan perasaan lesu. Usai diantar pulang oleh Alan kemarin, Lena menghabiskan waktunya untuk menangis dan menelpon Sasa juga Amel. Bahkan keduanya datang malam-malam ke rumah Lena untuk menenangkan gadis itu dan baru pulang sekitar jam setengah sepuluh malam, padahal sudah ditawarkan menginap oleh Hani.
Lena melangkah menyusuri koridor dengan perasaan berat. Rasanya ia ingin menghilang dari bumi sekarang, ia enggan untuk bertatap muka dengan Jehan. Apalagi usai bagaimana perasaannya tak bersambut oleh pemuda blasteran itu.
"LENA!" Gadis itu menoleh dan mendapati Jehan berlari menghampiri dirinya. Tepat saat Jehan berada di depannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya juga.
"Woi, Len! Sini bentar!" Lena dan Jehan menoleh hanya untuk mendapati sosok Alan berdiri di ujung koridor dengan tatapan kesal. Lena langsung berlari menghampiri Alan dan keduanya berjalan menuju kelas bersama-sama meninggalkan Jehan yang malah menatap keduanya dengan tatapan bingung.
"Sejak kapan mereka akrab? Biasanya ribut terus," ucap Jehan bergumam. Tiba-tiba saja pemuda itu tersenyum geli dan menggeleng kecil. "Apa jangan-jangan mereka udah sadar sama perasaan mereka masing-masing, ya?" Jehan kembali bergumam.
Di sisi lain, Lena melangkah dalam diam di samping Alan. Pemuda itu juga tak mengatakan apapun setelah memanggil gadis di sampingnya itu untuk mengikutinya.
"Makasih," ucap Lena dengan nada lirih. Alan tak mendengarnya. Ia hanya menatap Lena dengan tatapan bertanya-tanya, "ha?"
Lena berdehem kecil dan kemudian menjawab, "gue bilang tumben."
Alan menautkan alisnya seolah bertanya apa maksud Lena. Gadis itu menjelaskan, "tumben berangkat pagi-pagi. Biasanya berangkat agak siang lo."
Alan mengangguk paham. "Avin ngamuk gara-gara cokelat dia gue makan semalem. Jadi, waktu sarapan tadi dia malah ngelemparin gue pake sayur yang ada di piring dia. Daripada gue yang udah rapi gini malah jadi macem gembel, mending gue kabur aja." Alan menjelaskan.
"Dih, ganteng dari mananya lo? Buluk kayak pantat panci gini juga," balas Lena.
"Heh! Pantat panci tuh item, masa lo samain gue yang putih begini? Gue tuh putih nurun emak gue tau. Bapak gue juga putih, enggak item. Dari mananya gue kayak pantat panci?" ucap Alan dengan nada kesal.
"Dari pandangan gue. Kenapa? Mau protes?" balas Lena tak mau kalah. Alan mengerang kesal dan kemudian berjalan mendahului Lena. Gadis itu tertawa melihat Alan yang merajuk. Ia jadi teringat masa kecil mereka dimana dia selalu menggoda Alan sampai anak itu marah dan kemudian menangis karena tak bisa membalas Lena.
"Jangan nangis, Lan! Bapak lo kagak ada buat gendong dan nenangin lo!" ejek Lena sambil menyamai langkahnya dengan Alan.
"Bacot, Len!"
Lena tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Alan melirik sejenak dan kemudian bersyukur dalam hati. Ia senang Lena kembali ceria. Semalam Hani menelponnya dan menanyakan kenapa Lena murung bahkan menangis. Alan menjelaskan kepada Hani dan perempuan itu hanya bisa meminta Alan untuk membantu Lena agar kembali seperti semula. Apalagi Alan dan Lena sudah kenal sejak kecil dan rumah mereka juga bersebelahan.
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Jeje menatap Alan dengan tatapan serius. Alan yang sedang membaca buku pun memutar bola matanya jengah dan kemudian menatap Jeje dengan tatapan bertanya ada apa.
"Kok Lena sama lo hari ini tumbenan enggak cakar-cakaran? Padahal kalian dalam radius jarak yang deket. Apalagi tadi waktu istirahat lo malah ngajak Lena sama dua temennya duduk bareng kita. Ada apa nih? Gue ketinggalan apa?" tanya Jeje. Ajun di sampingnya juga menunggu jawaban Alan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[01] Hello, My Dear Enemy ✔
Ficção AdolescenteStory 01. [ Hello, My Dear Enemy ] By : @girlRin @TiaraAtika4 ▪︎▪︎▪︎▪︎ Alan dan Lena itu seperti air dan minyak, takkan bisa bersatu. Berharap mereka akur sama saja seperti berharap matahari terbit dari barat. Bertemu setiap hari sejak masih kecil...