•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Alan sudah sembuh. Bahkan saat orang tuanya pulang ia sudah bisa mengejek Ayahnya dan berakhir diomeli oleh Lia yang katanya Alan harus lebih menjaga kesehatannya. Bahkan Alan harus menahan malu saat Satya juga Hani ikut-ikutan menggodanya yang katanya tak mau lepas dari Lena.
Begitu Alan tiba di sekolah, ia langsung ditanyai berbagai pertanyaan oleh Lena. Bahkan belum sempat dia duduk, gadis itu sudah bertanya berjuta pertanyaan seperti ...
“Masih pusing enggak?”
“Mual enggak?”
“Udah minum obat belum?”
“Harusnya berangkat dianter aja, gosah nekat pake motor sendiri. Kalo jatuh gimana?”
“Ada perasaan puyeng gitu enggak? Kayak mau pingsan?”
“Lo jangan jajan es sama makanan pedes nanti. Inget lo sakit kemarin enggak?”
“Lan, lo serius udah sembuh?”
“Lan, muka lo enggak pucet lagi. Beneran sembuh lo?”
... ya, begitulah intinya. Sampai teman-teman mereka malah menatap Lena dan Alan dengan tatapan curiga. Apalagi Jehan langsung menatap Lena dengan tatapan mengejek.
Alan mengusap wajahnya dengan perasaan frustrasi. Rupanya tindakan tersebut dikira oleh Lena sebagai tanda kalau Alan pusing. Ia langsung menghampiri Alan dan meletakkan tangannya di kedua pipi Alan seolah memeriksa kondisi Alan. Bahkan ia menatap wajah Alan dengan seksama.
“Whoa. Nanggung, Len. Cium langsung aja!” ucap Jehan sambil bertepuk tangan. Lena yang mendengar itu langsung melepaskan wajah Alan dan menatap Jehan dengan tatapan tajam.
“Bacot. Diem lo, bule kampret!” serunya kepada Jehan.
“Ey? Bule kampret ini pernah bikin hati lo deg-degan tau.” Alan mendelik kesal begitu mendengar Jehan mengatakan hal itu dengan nada mengejek. Ia langsung berdiri dan berlalu pergi.
Lena yang melihat itu tentu saja memilih mengejar Alan. Ia takut pemuda itu malah pingsan di koridor. Kalau dia pingsan, siapa yang repot?
“Taruhan, dalam seminggu mereka jadian.” Jehan membuka suara. Sasa membalas, “sepuluh hari.”
“Eh, dua minggu tau.” Amel ikut-ikutan.
“Weh, apa nih? Taruhan, ya? Ikutan dong! Sebulan!” ucap Jeje.
“Kalau kalah ngapain?” tanya Ajun bertanya dulu sebelum ikut taruhan.
“Apa, ya? Yang kalah kudu bayar seratus ribu ke yang menang. Lumayan tau empat ratus ribu.” Jehan membalas.
“Gue kira karna lo blasteran, lo tuh kaya-raya. Taunya sama aja demen duit juga,” ucap Ajun kepada Jehan. Pemuda itu tertawa dan bertanya, “ikut enggak?”
Ajun mengangguk kecil. “tiga minggu.”
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
Lena menarik tangan Alan ketika pemuda itu akan turun tangga. “Lo mau kemana? Kalo jatuh gimana?” tanya Lena.
“Astaga, lo khawatir apa nyumpahin gue jatuh sih? Gue mau ke kantin beli minum. Seret nih tenggorokan gue,” ucap Alan.
Lena menatap Alan dengan tatapan ragu. Alan yang menyadari itu langsung mengembuskan napas berat dan berkata, “yodah. Lo ikutin aja. Daripada lo mati penasaran gara-gara gue. Mending lo liatin aja gue bahkan sampe gue mau masuk lobang semut, ikutin aja sekalian!”
“Lha? Emang muat? Badan segede gentong gini!” ejek Lena.
“Asu, badan gue enggak kayak gentong. Dahlah. Males gue!” ucap Alan merajuk.
Lena terkekeh kecil dan mengejar Alan. “Jangan marah-marah dong. Makin mirip sama Avin jadinya,” ucapnya sambil menyamakan langkahnya dengan Alan.
“Lha, dia 'kan adek gue? Wajar miriplah! Kalo beda ya kudu dipertanyakan itu anak siapa!” ucap Alan.
“Iya deh, iya. Eh, lucu deh. Lo sama Avin kalo sakit manjanya malah ke gue bukan emak sama bapak lo. Ngidam apaan emak lo dulu waktu hamil sampe anak-anaknya pada nempel ke gue kalo lagi sakit?” ucap Lena setengah bergurau.
“Tau tuh. Ngidam lo jadi mantunya kali!” balas Alan tanpa rem langsung meluncur begitu saja. Lena yang mendengar itu terdiam kaget, bahkan Alan sendiri juga kaget.
“Eh, maksud gue ... ngidam—ah, tau deh. Tanyain sendiri! Pusing gue!” ucap Alan berlari memasuki Kantin.
Lena menghentikan langkahnya dan memegangi dadanya. Ia bisa merasakan bagaimana jantungnya berdebar. Apakah itu tandanya bahwa ia memang jatuh cinta kepada Alan?
“Sialan, kok gue malah degdegan ke dia sih?!” ucap Lena dengan nada lirih.
“LENA! NGAPAIN DI SANA?!” Lena menoleh dan mendapati Alan berdiri di depan pintu Kantin menatapnya dengan tatapan kesal. “Iya, iya. Bawel banget sih!” balas Lena dan menghampiri Alan.
Alan dan Lena berjalan menuju rak dimana banyak camilan dan juga minuman ditata dengan rapi. Alan mengambil satu botol air mineral dan kemudian sebungkus roti. Ia menatap ke arah Lena dan berkata, “ambil aja yang lo mau. Gue yang bayar.”
Lena mengangguk dengan antusias dan mulai mengambil satu susu kotak rasa cokelat dan dua bungkus roti melon. Saat akan mengambil satu bungkus roti melon lagi, Alan menahannya. Pemuda itu mengambil bungkus roti itu dan menatap tanggal kadaluarsanya.
“Ambil yang lain. Ini kadaluarsa besok.” Alan berkata sambil meletakkan kembali bungkus roti itu ke rak. Lena langsung menatap bungkus roti yang ia ambil. Benar, tanggal kadaluarsanya adalah besok. Ia langsung meletakkan roti-roti itu kembali ke rak dengan lesu.
Alan mengambil satu bungkus roti cokelat yang isinya ada tiga. Ia menyerahkannya kepada Lena. “Kadaluarsanya masih seminggu,” ucapnya.
Lena mengambilnya dan mengangguk. Benar, ia bisa melihat tanggal kadaluarsanya dan memang masih seminggu lagi. “Hehe, makasih, ganteng!” puji Lena tanpa sadar.
Alan yang mendengar itu tanpa sadar merona malu. Sialan, Lena memujinya seperti itu apakah ia tak tahu bagaimana jantung Alan berdebar dibuatnya? Alan berdehem kecil mencoba menetralkan degup jantungnya.
“Udah? Itu aja?” tanya Alan. Lena mengangguk. “Eh, lo beli roti apa? Jangan beli roti yang banyak pemanisnya. Nanti batuk. Baru kemarin demam tinggi.” Lena kembali ke mode mengomelnya.
“Bacot deh. Iya, roti tawar biasa ini tuh.” Alan menjawab sambil menunjukkan bungkus rotinya. Lena yang melihat itu langsung mengangguk puas. “Bagus. Anak pinter!” ucap Lena sambil mengusap lembut kepala Alan.
Oke, Alan sekarang malah merona seperti perempuan dibuatnya. Apakah Lena balas dendam karena kemarin dibuat degdegan oleh Alan saat ia sakit? Lena yang melihat Alan terlihat kikuk begitu malah tersenyum geli.
Duh, lucunya. Batin Lena.
“Ekhem, mau sampe kapan nih puk-puk mulu, Kak? Banyak yang jomblo ngantri di belakang nih mau beli roti juga.”
Keduanya menoleh dan mendapati seorang adik kelas perempuan (inget di bab dimana Lena masuk UKS?) sedang menatap mereka dengan tatapan geli.
Alan berdehem kecil dan langsung menarik Lena pergi meninggalkan tempat itu untuk membayar ke kasir. Adik kelas itu hanya bisa terkikik gemas dan bergumam kecil, “emang ya ... benci dan cinta tuh beda tipis. Dulu aja kayak tom and jerry eh sekarang kayak kancut sama pantat. Selalu bersama.”
•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•
•.¸♡ Bab 36
•.¸♡ ditulis oleh girlRin
KAMU SEDANG MEMBACA
[01] Hello, My Dear Enemy ✔
Fiksi RemajaStory 01. [ Hello, My Dear Enemy ] By : @girlRin @TiaraAtika4 ▪︎▪︎▪︎▪︎ Alan dan Lena itu seperti air dan minyak, takkan bisa bersatu. Berharap mereka akur sama saja seperti berharap matahari terbit dari barat. Bertemu setiap hari sejak masih kecil...