Bab 18

367 31 0
                                    

•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•

Lena berjalan menuju kelasnya sampai netranya tak sengaja melihat Jehan yang juga sedang berjalan sendirian. Merasa ada kesempatan, Lena pun berjalan mendekati Jehan.

“Hai!” sapa Lena. Jehan yang mendapati sosok Lena di dekatnya pun mengangguk membalas sapaan anak teman ayahnya itu.

“Mau kemana? Kelas, ya?” tanya Lena. Jehan menjawab, “iya. Lo juga? Eh, tadi lo kemana? Enggak jadi makan di kantin gitu. Enggak laper lo?”

Lena menggeleng kecil. “Nonton anak kelas 10 main basket. Kalo makanan ya Amel sempet beli ciki gitu sama soda kaleng. Mayan ganjel perut deh,” jawabnya.

Jehan mengangguk dan mengambil sesuatu dari saku celananya. Jehan ternyata mengambil satu chocolate bar dari sana dan menyerahkannya kepada Lena. Gadis itu menatapnya dengan ragu.

“Apaan nih?” tanya Lena. Ia tak mau terlalu percaya diri walau ia berpikir bahwa Jehan ingin ia mengambil cokelat itu.

“Buat lo. Ganjel perut seenggaknya sampe jam istirahat selanjutnya,” jawab Jehan. Lena menerima cokelat itu dengan malu-malu dan kemudian menggumamkan terima kasih.

Jehan yang melihat tingkah malu-malu Lena justru tersenyum terhibur. Ia mengangkat tangannya dan mengusap lembut puncak kepala Lena. Gadis itu tercekat kecil dan melirik Jehan dengan perasaan berbunga-bunga. Bahkan pipi Lena terlihat memerah malu.

“Gemes banget sih. Tadi aja kayak maung waktu ribut sama Alan,” ucap Jehan.

Lena merengut kecil. “Itu si Alannya aja yang ngeselin duluan. Lo tau? Dia tuh suka banget cari masalah sama gue. Tiap hari bahkan tiap jam ada aja yang dia jadiin bahan ribut sama gue. Enggak tau apa kalo gue tuh capek ribut sama dia? Pengen deh rasanya gue tendang trus biarin dia nyemplung got lagi kayak waktu masih bocah!” ucap Lena.

Jehan menautkan alisnya. “Nyemplung got?” tanyanya. Lena mengangguk dengan semangat. “Iya. Lo tau? Dia tuh dulu cengeng banget. Makanya waktu kecil suka gue kerjain supaya nangis. Taunya pas gede dendam banget ke gue. Makanya ribut mulu sama gue. Ngeselin, ’kan?” ucapnya.

Jehan tertawa kecil. “Pasti seru, ya? Coba aja gue udah dari kecil di Indonesia. Pasti gue bisa ikutan main sama kalian,” ucapnya dengan nada iri.

Lena menggandeng lengan Jehan dan berkata, “gapapa. Sekarang lo bisa bantu gue ngerjain Alan. Itung-itung gue biar puas juga ngerjain dia. Secara bokap kita bertiga ’kan temen waktu SMA. Jadi, enggak ada salahnya anak-anaknya pada jailin satu sama lain dong?”

Jehan menggeleng kecil. “Nanti dia ngamuk gimana?” ucapnya.

Lena membalas, “gapapa. Emang baperan aja dia tuh. Gosah dipeduliin.”

Jehan menggeleng geli. “Ada-ada aja deh lo,” ucapnya.

Lena tersenyum kecil dan kemudian mereka sampai di depan kelas. Saat akan masuk, mereka tak sengaja berpapasan dengan Alan yang ingin keluar dari kelas. Netra Alan langsung menyoroti lengan Lena yang memeluk lengan Jehan dengan mesra. Tanpa sadar hati Alan merasa panas dibuatnya.

“Apa pandang-pandang? Iri, ha?” ucap Lena dengan nada ketus. Alan mendelik tajam. “Apaan sih? Iri sama lo? Yang ada bumi udah berubah dari bulat jadi segitiga!” balas Alan dengan nada tak kalah ketus.

Jehan melerai keduanya dan berkata, “udah deh. Kalian nih hobi banget ribut. Nanti malah jodoh, pada kicep kalian.” Alan menatapnya tajam dan membalas, “jodoh sama dia? Cih, mending gue jadi perjaka tua. Lo juga mending jangan mau sama dia. Bisa-bisanya pengang tiap hari telinga lo denger suara toa dia!”

Lena menatap Alan dengan tatapan tajam. “Sembarangan, bocah semprul! Suara emas gue tuh malah disamain sama toa. Heh, suara lo tuh yang kayak tikus kejepit!” balas Lena.

“Seingat gue yang meluk-meluk gue gara-gara takut tikus tuh lo deh, bukan gue!” balas Alan sambil menyeringai.

“Halah, itu mah lo doang yang modus ke gue! Seneng pasti lo gue peluk. Ngaku deh?” tuding Lena.

“Heh! Gue pulangnya langsung mandi tujuh kembang delapan warna sama sembilan minyak wangi, ya. Biar najisnya abis lo peluk tuh ilang!” ucap Alan.

Lena menatapnya dengan tatapan kesal. Jehan yang sudah jengah pun langsung melepaskan tangannya dari gandengan Lena dan kemudian melewati keduanya. Biarlah keduanya ribut sendiri, telinga Jehan rasanya mau pecah dibuat mereka.

“Lo sih ah! Jehan jadi kesel!” ucap Lena menyalahkan Alan.

Alan menatapnya geram. “Kok gue sih? Dia tuh kesel gara-gara suara lo yang kayak toa tuh! Makanya jadi cewek yang kalem jangan kayak reog!” ucapnya tak mau disalahkan.

Lena mendelik tajam. Ia kemudian menunjukkan kepada Alan cokelat yang diberikan oleh Jehan. “Mana ada dia kesel sama gue. Nih buktinya dia ngasih gue cokelat. Dia kasihan sama gue soalnya gara-gara ribut sama lo, gue jadi enggak makan di kantin. Duh, baik banget sih calon pacar gue!” ucapnya dengan nada mengejek kepada Alan.

Alan menatap cokelat di tangan Lena dan kemudian merebutnya sampai membuat Lena menjerit. “ALAN! BALIKIN COKELAT GUE!” seru Lena. Alan berlari sambil mengejek Lena. Ia bahkan sengaja membuka cokelat tersebut dan memakannya untuk menjahili Lena.

“Cokelatnya gue makan! Wleee!” ejek Alan. Lena memerah kesal dan langsung melepaskan sepatunya hanya untuk dia lemparkan kepada Alan. Sepatu itu malah mendarat dengan apik di wajah tampan Alan sampai membuat cokelat yang ia pegang jatuh dan tak sengaja ia injak.

“Aduh! Muka ganteng gue!” ringis Alan.

Lena menatapnya kesal. “Rasain! Dasar anak setan!” serunya.

Alan menatap Lena dengan tatapan tajam. “Bapak gue juga setan dong! Gue aduin bapak gue!” ucapnya membalikkan apa yang sering diucapkan oleh Lena.

“Bodoamat! Gue aduin bapak gue juga lo!” Lena tak mau kalah.

“Ayo! Abis itu kita taruhan, bapak siapa yang menang!” balas Alan.

Lena menepuk keningnya. “Goblok! Kenapa malah adu bapak sih? Dikata bapak kita tuh ayam, ha? Pake diadu segala!” desisnya kesal.

Alan ingin membalas jika saja Jehan tak melerai mereka. Pemuda blasteran itu berdiri di depan pintu kelas dan menatap keduanya dengan tatapan gemas. Jehan rasanya ingin sekali menikahkan keduanya karena pertengkaran yang tak masuk akal menurut Jehan.

Kayak bocah banget sih nih berdua! Batin Jehan lelah.

“Lo berdua kalo ribut mulu, gue laporin guru nih!” seru Jehan.

Lena menatap Jehan dan kemudian merengek kecil. “Cokelat yang lo kasih diinjek sama Alanjing!” adunya kepada Jehan.

Jehan menatap ke lantai dan benar saja ia sudah melihat cokelat yang tak terbentuk lagi wujudnya. Ia pun mengembuskan napas dan berkata, “nanti gue beliin lagi. Udah jangan ribut lo berdua. Gue beliin masing-masing satu. Jangan kayak bocah yang rebutan.”

Alan menatap Jehan kesal. “Sembarangan ngatain gue bocah!”

Lena menatap Alan kesal. “Lo tuh, dibaikin malah ngelunjak!” serunya kesal karena Alan yang terkesan tak tahu terima kasih karena Jehan berbaik hati.

Alan menatap Lena kesal dan kemudian berlalu menuju kelas. Jehan menggeleng kecil dan kemudian mengajak Lena untuk masuk ke kelas juga. Biar bagaimana juga, jam pelajaran akan segera dimulai. Kalau mereka masih berkeliaran di luar kelas dan ketahuan guru, bisa-bisa kena hukum nanti.

Lena yang diajak masuk ke kelas oleh Jehan langsung saja menurut bahkan tersenyum riang. Ia mengekori Jehan seperti anak ayam dan menatap Alan dengan tatapan melotot yang dibalas dengan pelototan yang sama oleh Alan.

•.¸♡ Hello, My Dear Enemy ♡¸.•

•.¸♡ Bab 18
•.¸♡ ditulis oleh girlRin

[01] Hello, My Dear Enemy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang